Mohon tunggu...
Yuniarto Hendy
Yuniarto Hendy Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Lepas di China Report ASEAN

Youtube: Hendy Yuniarto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Pemilihan Lurah Margomuljo

29 Januari 2020   20:23 Diperbarui: 2 Februari 2020   19:55 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lurah tidak pernah dipilih, melainkan turun-temurun, seperti pangeran yang menggantikan sultan, tanpa campur tangan atau melalui campur tangan penjajah. 

Kini setiap orang memilih siapa yang akan menjadi Lurah, di Margomuljo, desa gemah ripah loh jinawi, diberkahi tanah subur dan air melimpah, tak pernah kekeringan. 

Dari generasi ke generasi sudah menanam padi, sayur, dan rumput untuk sapi dan kambing. Margomuljo mendapat giliran pemilihan Lurah, baru yang pertama kali, disebut pesta oleh pak Bupati, meskipun warga ingin anak pak Lurah mengganti. 

Sayang, anak pak Lurah memilih bekerja di pabrik, di Karawang, dengan UMR empat kali lipat dibanding di desanya, dan masih kurang karena cicilan motor. Dua kandidat terdaftar, pak Jono dan pak Yanto, berlomba merebut simpati warga dengan berbagai cara. 

Berjas apik, kedodoran, setiap hari berkeliling dari RT ke RT lalu dusun ke dusun, menyapa, menebar senyum, yang tidak pernah dilakukannya namun tulus.

Bersalaman dengan warga yang sedang merumput, melintas pematang sawah, melinting celana kainnya, menceburkan diri ke selokan irigasi, kembali bersalaman, memberikan kartu nama, dan berbasa basi tentang cara penangkalan hama wereng.

"Bagaimana padi di musim ini pak Karjo ? tanya pak Jono dengan suara mantap.

"Ya seperti biasa pak..harus disemprot terus setiap hari, ini sedang banyak wereng." Keluh pak Karjo sambil menunjukkan cacat pada beberapa tanamannya.

"Besok akan ada bantuan dari Dinas Pertanian pak, alat semprot, ini disimpan dulu kartunya, besok pilih nomor urut ini, insyaallah saya bersama petani Margomuljo." Janji pak Jono terdengar sampai ke beberapa petani lain yang sedang membersihkan rumput.

"Jono menang Margomuljo makmur." Timpal Jono percaya diri.

 "Jangan lupa traktornya juga pak, sapi kami sudah malas membajak lagi". Sahut pak Karjo.

Pak Jono tentu paham tentang ilmu pertanian, meskipun tidak berpendidikan formal, berbekal ilmu titen dari bapaknya, petani panutan yang memiliki 2 hektar sawah. 

Beberapa petak sawahnya, tentu dari warisan leluhurnya, telah dijual untuk kuliah anak pak Jono di kota, jurusan pertanian, yang kini bekerja sebagai teller di bank swasta, non syariah. 

Pak Joko memiliki cara yang unik selain blusukan setiap harinya. Dibantu anaknya serta tim suksesnya, pak Joko mempunyai beberapa akun di sosial media.

Pengikutnya sudah 50 ribuan, jauh melebihi penduduk desa yang 6000an saja. Beberapa anak muda desa tertarik menjadi follower akun resminya, selebihnya adalah follower yang dibeli. 

Beberapa vlog pun dibuat oleh tim kreatif yang disewa, merekam kegiatan blusukan, tanya-jawab, visi misi, debat dengan preman desa, cover lagu dangdut dan campursari, serta tutorial memetik hasil panen. Beribu like diberikan dan dikomentari oleh para remaja pegiat medsos, ingin berkolaborasi dengan calon lurah Margomuljo, demi konten dan like juga.

Melihat strategi politik pak Joko yang lincah nan kekinian, pak Yanto tidak ingin kalah langkah. Kesenian desa yang tak tersentuh kini dibangkitkan. Gamelan di pendapa desa kembali dimainkan, tari-tarian, ketoprak, sampai wayang kulit dihidupkan kembali, dengan uang kantong pak Yanto pribadi, dari hasi menjual 300 meter sawah. 

Pak Yanto ingin menarik simpati lewat kesenian daerah. Sebagian pemuda kurang tertarik melihat kesenian karena dinilai kurang modern dan tidak cocok dengan nilai-nilai milenial. 

Sebagian pemuda desa Margomuljo memang sedang gandrung dengan dangdut koplo dan musik hip hop. Bahkan pada suatu upacara pernikahan, beberapa pemuda sangat menghayati musik hip hop yang disuguhkan. Namun sebagian pemuda menyukai kesenian tradisional, mulai belajar menabuh gamelan, belajar menembang, menari, dan bermain ketoprak.

"Sekarang saatnya kita bisa nguri-uri budaya kita, kalau bukan kita siapa lagi ?," teriakna kepada pemuda persatuan cinta seni Margomuljo (disingkat PCSM), organisasi sayap tim sukses pak Yanto.

"Lha betul itu pak, masak orang asing itu pada bisa nggamel dan bahasa kita dengan lancar, tapi kita malah lupa dan malu untuk belajar." Sahut Ratih, ketua organisasi PCSM yang idealis, baru saja terpilih secara rapat tertutup.

Kedua calon bersaing dengan sengit memperebutkan kursi Margomuljo 1, berkedudukan di kantor desa, selama 5 tahun ke depan, menandatangani surat-surat penting warga, segala keperluan ada, waktu pengerjaan tergantung biaya administrasi, dibayar langsung lewat rumah. 

Keduanya harus memastikan para pengikutnya memilih dengan membuat daftar dan tanda-tangan persetujuan. Kedua timses calon dari hari ke hari sibuk, berkeliling desa, mencari warga dan memastikan keputusan memilih, menghitung dan merekap ulang. Uang kedua calon semakin menipis. 

Pak Jono menjual 2 sapi dan 1 kambingnya, yang rencananya akan dikorbankan waktu Idul Adha, sementara pak Yanto menjual  petak sawah keduanya, kepada saudara sepupunya yang masih merantau di ibukota.

Kampanye kedua calon terus dilakukan. Sebuah panggung didirikan kubu pak Jono, lengkap dengan sound system, kelompok dangdut koplo, dan penyanyi hip hop ibukota yang dibayar kontan. 

Para warga dengan antusias datang meskipun hujan. Para pemuda desa girang berjoget, sebagian naik berjoget bersama biduan serta memberi saweran, sebagian lagi berjoget di tiang panggung sambil memutar kaosnya yang dicopot searah jarum jam. Para warga yakin bahwa pemuda itu sedang mabuk kecubung atau jamur tai sapi. 

Ada juga pemuda yang saling baku hantam gara-gara tidak terima biduannya dicolek pahanya. Botol ciu 53 persen yang dibeli langsung di Bekonang dilemparkan, berterbangan ke sana kemari.

Semua ibu-ibu lari menjauh, sedangkan kamtibmas datang menyemprit, melerai, dibantu biduan dangdut. Sesaat kemudian kekacauan terkendali dan kendang dangdut dimainkan lagi, pantat biduan kembali bergeol memutar berlawanan arah jarum jam.

Pak Yanto, dengan persiapan pidato yang matang, memberikan visi, misi, dan janjinya kepada hadirin yang sudah capek bergoyang dan saling pukul.

"Margomuljo harus makmur, swasembada pangan." Diikuti tepuk tangan tim sukses dan hadirin yang menonton.

"Untuk itu marilah satukan tekad pilih nomor 1, Yanto peci..". Tepuk tangan kembali riuh, kali ini pak Yanto memperkenalkan ikon barunya, yaitu Yanto peci, karena foto di kertas pemilu mengenakan peci.

"Aja lali, bulan depan, coblos yang ada pecinya, Yanto Peci.." warga semakin riuh bukan karena ajakan coblosan, namun uang sepuluh ribu yang disebarkan dari panggung oleh timsesnya.

Melihat dan mendengar riuh kampanye, pak Yanto tidak ingin kalah. Sebuah pertunjukkan kesenian diadakan di halaman rumah penggilingan padi. 

Panggung kesenian beserta gamelan perunggu lengkap disewa, juga para penabuh, penari, pemain ketoprak, dan dalang wayang kulit kondang dari Surakarta didatangkan. Pesta pertunjukan kesenian yang dimulai dari sore hingga pagi hari penuh sesak dihadiri oleh warga Margomuljo dan sekitarnya. 

Parkir yang disediakan sampai memanjang sepanjang jalan masuk desa. Tidak cukup tempat parkir, beberapa sawah nekat dijadikan tempat parkir sementara, merusak tanaman berumur tiga minggu. 

Para penjual makanan yang datang membangun lapaknya di pinggir sawah. Seringkali membuang sampah-sampahnya di persawahan warga. Sesaat sebelum pertunjukan wayang kulit dimulai pak Yanto memberikan janji-janji jika terpilih sebagai lurah.

"Bulan depan sudah tinggal beberapa hari lagi. Jangan lupa jika ingin kesenian Margomuljo lestari dan memakmurkan warga, pilih kumis Yanto !", tepuk tangan disertai tetabuhan gamelan menggema.

Pidato pak Yanto sangat singkat dan gending pembuka dimainkan, tanda wayang kulit semalam suntuk oleh Ki Mrono Mrene dimulai. Dengan lakon yang menyimbolkan tentang kewajiban seorang pemimpin, terkadang dalang menyelipkan pesan-pesan untuk mengajak warga memilih pak Yanto.

Beberapa hari sebelum pencoblosan lurah, pak Jono berusaha mendapatkan suara dengan lebih intensif. Keduanya menyiapkan serangan fajar dan senja. Serangan senja mungkin masih asing, namun dianjurkan oleh para timsesnya bahwa strategi itu sangat manjur. Beragam kebutuhan pokok seperti beras, minyak, gula dan mi instan disiapkan, juga amplop-amplop yang diisi uang bergambang Soekarno dan Hatta. 

Setelah waktu maghrib para timses mulai melancarkan serangan senja, mengetuk pintu setiap rumah memberikan sembako yang sudah terbungkus kardus rapi, dilampirkan dengan kertas petunjuk memilih, coblos peci pak Jono !. Pagi harinya timses pak Jono kembali melalukan serangan, serangan fajar setelah waktu subuh, kembali mengetuk pintu rumah-rumah warga memberikan pesan lewat amplop.

Pagi hari menjelang pemilihan, beberapa warga menagih amplop kepada pak Yanto. Mendengar per kepala keluarga mendapat selembar Soekarno Hatta, pak Yanto kaget dan merasa ketinggalan langkah, kalah strategi. Warga yang menagih kurang puas kepada pak Yanto.

"Biasanya kalau di kantor kelurahan ngurus surat harus bayar, mosok mau dipilih ora ono amplope," gerutu simbok-simbok berdaster.

Mendengar keluhan itu, pak Yanto hanya pasrah. Menunggu sampai waktu pemilihan selesai sore harinya, petugas pemungut suara menghitung hasil pemilihan. Banyak warga yang jadi saksi penghitungan. Para timses berteriak, bersorak hore setiap nama calon yang dicoblos dibacakan. Suara demi suara dibacakan keras-keras, disambut sahutan pengikutnya. 

Kedua calon panas dingin menyimak setiap rekap suara dihitung. Pak Jono sudah mejual  4 petak sawah miliknya, ternak, dan meminjam sejumlah uang ke koperasi desa. Sementara pak Yanto sudah menjual 3 petak sawah dan meminjam uang saudaranya yang janji diangsur begitu masa panen padi tiba, tiga bulan sekali.

Pengumuman lurah terpilih dibacakan, pak Jono meraup suara lebih banyak daripada pak Yanto. Itu sudah pasti, pak Yanto kalah strategi, serangan fajar bahkan senja tak disadari adalah cara ampuh mendapat suara instan. 

Tak ada warga yang tanpa pamrih mendukung hanya karena visi misi, namun realistis karena kebutuhan rumah tangga yang semakin melonjak. Dengan tubuh lunglai Pak Yanto mundur, pulang teratur. Pendukung pak Jono bersorak kegirangan, menagih pesta 3 hari 3 malam dengan hiburan organ tunggal.

Di pagi yang sunyi, di kantor desa yang pegawainya masih minum teh tubruk dan gorengan, setelah membuka semua jendela ruangan kepala desa, pak Jono melihat 2 petugas berperawakan tegap namun tambun, datang mencari kepala desa. Dengan bergetar dan berkeringat pak Jono menemuinya dan menerima surat. Tuduhan penggelapan dana desa ternyata benar, dan menjadi berita, di stasiun televisi lokal. 

Digiring ke mobil, pak Jono tak sempat menoleh ke belakang, kepada para pegawai kantor desa dan para warga. Beton selokan irigasi yang dianggarakan ternyata tidak mencapai target, malah sebagian sisi ambrol. 

Pak Yanto pun sadar bahwa menjadi lurah ternyata memerlukan biaya besar, namun sesungguhnya tidak akan menerima gaji yang diharapkan, malah mengorbankan kepentingan warga untuk mengembalikan modal. Seperti biasa, bahkan makin getol, pak Yanto mencangkul sawahnya, serta terus mengingat utangnya, dibayar per 3 bulan.

          

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun