Mohon tunggu...
John Tirayoh
John Tirayoh Mohon Tunggu... -

"Tuhan Menciptakan Alam Semesta ... Selebihnya Made in China"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Simpati untuk Paris, Apakah Salah Bersimpati ?

16 November 2015   08:39 Diperbarui: 16 November 2015   09:21 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rasa simpati tetaplah rasa simpati. Dengan cara apapun itu terungkap, apakah dengan beberapa kalimat, bait-bait lagu atau foto profil yang berubah warna, maka yang dituju akan merasa tak sendirian dan mendapat pelukan hangat. Saya pernah mengalaminya.

Saat pernah diopname, banyak sahabat yang mengirimkan ucapan simpati. Apakah saya menganggap ucapan beramai-ramai itu hanya ikut tren? Tidak. Saya lebih bersemangat untuk sembuh. Saya merasa diberi kekuatan. Ditemani.

Doa tetaplah doa. Harapan baik yang kita panjatkan kepada Allah Yang Maha Penyayang. Bisa dari dan untuk siapapun, dalam bentuk bagaimanapun. Tanpa kotak-kotak tinggi sempit berisi suku, bangsa atau agama apapun.

Alaminya, seseorang tak sempat memikirkan apakah orang yang didoakan akan mendoakan balik jika ia mengalami hal serupa. Atau apakah orang di kotak sana, sudah mendoakan kita di kotak yang ini. Seperti saya yang membutuhkan infus darah dalam masa opname itu.

Apa pemilik darah dalam kantong yang sedang diinfus ke saya itu tahu agama saya? Apa dia membuat catatan khusus bahwa saya harus membalas dengan donor darah saya juga saat nanti dia perlu? Apa saya bertanya dulu apa agama pemilik darah dalam kantong yang sudah memberi saya energi tambahan untuk pulih itu?

Ah, tidaklah sepayah itu perhitungannya. Saya cukup yakin, ada doa tulus yang mereka kirim lewat darahnya masing-masing. Mereka pasti juga tak tahu saya membalas mengirim doa, sesaat setelah keluar dari rumah sakit karena sembuh. Untuk siapapun dan di manapun mereka.


Duh, betapa jelas dan tingginya kotak-kotak yang manusia buat di masa ini. Sampai lupa bahwa bersimpati atau mendoakan kebaikan orang lain, itu wajar dan sudah seharusnya.

Kebaikan tetaplah kebaikan. Kenapa jadi serumit itu bersimpati? Kenapa ada matematika sebelum mengirimkan doa?

Saya saaaangat awam soal konspirasi ini atau itu, di balik kejadian ini atau itu. Saya juga tak berambisi memenangkan debat soal itu. Ini cuma catatan kecil tentang kemanusiaan. Sangat kecil.

Rae Sita Patappa.

Tulisan diatas bukanlah tulisan saya. Melainkan teman saya di facebook bernama Rae Sitta Patappa.

Tulisannya begitu teduh buat saya dan membuat saya sadar. Bahwa saya masih mempunyai teman yang hati-nya sama dengan saya. Yaitu, hanya berbicara kemanusiaan.

Rae Sita Patappa menyadarkan saya, bahwa ini hanyalah persoalan kemanusiaan saja. Bersimpati untuk para korban di Paris (dan tempat lain di seluruh dunia).

Begitu menyedihkan ketika membaca berbagai komentar di detik.com. dalam ruang komentar dalam setiap berita mengenai tragedi di Paris, semua saling berdebat dan saling menyalahkan. Begitu juga di medsos lainnya.

Yang Reaksioner langsung serta-merta mengatakan,”ini akibat dunia barat terlalu campur tangan di timur tengah.”, “Kalian yang memulai di timur tengah.”, dan banyak komentar lainnya.

Komentar juga berkata,”kenapa dunia tidak pernah peduli di Palestina, tapi giliran Paris begitu ribut?” jujur saya bingung menjawabnya. Karena ketika saya bersimpati dan empati terhadap korban di Paris, itu hanyalah ekspresi saya bersimpati.

Begitu juga dengan komentar yang main menyalahkan agama tertentu. Menuding agama tertentu dalam persoalan ini. Itu membuat saya sedih. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan, kejahatan, dan keburukan.

Kalaupun ada yang mengatas-namakan agama, kita sudah cukup paham bahwa mereka hanya menggunakan agama sebagai jualan politiknya dan tujuan kelompok atau pribadinya saja. Sehingga menyalahkan agama tertentu adalah hal yang picik dan tidak dewasa dalam berplkir (menurut saya)

Namun, sekali lagi tulisan Sita di atas begitu membuat hati saya teduh. Dia menunjukan kepada saya bagaimana rasa bersimpati tanpa harus mengukur rasa simpati dan mengungkit-ungkit peristiwa lainnya.

Saya yang kadang juga subjektif disadarkan oleh dirinya. Persoalan kejahatan entah yang terjadi di Paris, Palestina, Suriah, Iraq, dan Negara lain, haruslah disikapi dengan rasa kemanusiaan yang tinggi. Murni persoalan kemanusiaan. Murni bersimpati dan berempati.

Tanpa ada harus ada pengkotak-kotakan Agama, Suku, Ras, Kita bersimpati.

#PrayforParis #PrayforPalestine #PrayforHumanity #UnitedAgainstsTerrorism

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun