Mohon tunggu...
Johara Masruroh
Johara Masruroh Mohon Tunggu... Guru - Hobi menulis sejak menjadi seorang ibu

Ibu dua anak

Selanjutnya

Tutup

Diary

Cerita Berebut Uang di Masa Pandemi

7 Agustus 2021   14:33 Diperbarui: 7 Agustus 2021   15:42 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Beberapa waktu yang lalu, saya pergi ke suatu tempat dengan naik bus. Sejak korona melanda, tarif kendaraan umum memang tak lagi sama. Sebelum pandemi, biasanya saya hanya mengeluarkan lima belas ribu rupiah untuk satu kali perjalanan ke tempat yang saya tuju tersebut. Namun, saat itu saya diminta untuk membayar sebanyak tiga puluh ribu rupiah.

"Korona, Mbak. Harap maklum," kata kondektur bus.

Saya manggut-manggut, memberi tanda pada sang kondektur bahwa saya memahami masa sulit ini. Namun, yang saya sesalkan, kenaikan tarif tersebut tidak dibarengi dengan penerapan protokol kesehatan. Kendaraan tetap dipenuhi penumpang, bahkan ada yang rela tidak mendapatkan tempat duduk. Sebagian di antara penumpang tampak begitu santai tanpa mengenakan masker, termasuk sopir bus beserta kondekturnya. Karena saya memang harus pergi untuk urusan pekerjaan, mau tak mau saya harus memakai jasa bus tersebut.

Kejadian tidak menyenangkan terjadi pada seorang bapak yang duduk di depan saya. Bapak itu merasa enggan mengeluarkan tiga puluh ribu pada sang kondektur dan menganggap tarif tersebut terlalu mahal. Keduanya sempat bersitegang meski akhirnya si bapak merelakan uang tiga puluh ribunya.

Setelah memberikan uangnya kepada sang kondektur, bapak tersebut terus mengomel. Ia masih tidak terima dengan kenaikan tarif yang menurutnya tidak masuk akal. Bapak itu sempat mengatakan bahwa bus ini tidak mematuhi protokol kesehatan. "Saya tetap duduk berdempetan begini kok harganya naik sampai segitu, itu namanya aji mumpung korona,"kata si bapak.

Omelan bapak tersebut terdengar oleh sang kondektur. Saya sempat berpikir kalau sang kondektur akan memaklumi. Toh, uang sudah berada di genggamannya. Ternyata tidak. Ia malah marah-marah dan mengarahkan telunjuknya ke bapak tersebut dan memintanya untuk turun. Pak sopir pun menghentikan busnya. Sang kondektur yang masih marah itu melempar uang tiga puluh ribu rupiah milik si bapak.

"Ini uangmu. Turun sekarang!"

Karena merasa tidak mampu membela diri lagi, si bapak terpaksa turun. Bus melaju cepat meninggalkannya di pinggir jalan yang sepi. Tak satu pun penumpang berani berkomentar.  Sebenarnya saya ingin sekali membantu bapak tersebut membayar ongkos busnya. Namun, saya lebih dulu ketakutan melihat sang kondektur yang marah-marah. Bukan tidak mungkin saya akan ikut dimarahi karena membela bapak yang mengomel tadi.

Tak diragukan lagi, pandemi yang melanda saat ini membawa dampak buruk bagi kebanyakan orang. Dalam peristiwa ini, kita tidak bisa serta merta menyalahkan sang kondektur yang menaikkan tarif kendaraan meski tidak mematuhi protokol kesehatan. Mungkin memang bisa dikatakan pemilik kendaraan umum sedang memanfaatkan atau aji mumpung pandemi korona untuk meraup untung.

Namun, bukankah itu hal yang wajar? Kondektur dan sopir juga butuh uang. Banyak pengakuan dari mereka kalau transportasi umum lebih sering sepi peminat. Orang yang tidak berkepentingan diharapkan berada di dalam rumah sesuai saran pemerintah.

Kita juga tentu tidak bisa menyalahkan bapak yang tidak terima dengan kenaikan tarif bus dan menganggapnya tidak paham situasi. Tidak ada yang bisa disalahkan dalam peristiwa ini. Bisa jadi, gaji bapak itu memang tidak banyak dan sisa lima belas ribu rupiah adalah nafkah untuk keluarganya di rumah. Di negara kita, lima belas ribu bukan jumlah yang kecil untuk sebagian kalangan. Mungkin saja, lima belas ribu itu adalah jatah membeli beras atau uang jajan anak-anaknya.

Ah, meski kejadian ini sudah cukup lama, tetap saja saya tak bisa melupakannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun