Presiden Cina Xi Jinping baru-baru ini membuat pernyataan resmi bersama negara-negara pemodal dan bank untuk menghapus penggunaan batubara dan beralih ke energi Baru terbarukan(EBT).
 Merespon tren global ini, Indonesia lewat Presiden Jokowidodo, telah direncanakan akan hadir  pada konferensi tingkat tinggi (KTT)  perubahan iklim PBB (COP26) di Gaslow Skotlandia pada 31 Oktober -21 November 2021 mendatang
Panggung COP26 kali ini membantu Indonesia untuk mengumumkan komitmennya. Indonesia sendiri mempunyai ambisi  untuk memasukan strategi jangka panjang  dengan tujuan pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim 2050 serta target Net Zero Emission selambatnya tahun 2060. Salah satunya adalah meluncurkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang lebih dikenal dengan rencana hijau.
Masalah yang kemudian muncul soal bagaimana memposisikan klaim dan melihat kenyataan di lapangan. Hal ini dapat dilihat misalnya pada 5 Oktober 2021, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif menekankan tentang data lapangan bahwa ada  penambahan pembangkit  Energi Baru Terbarukan mencapai 51,6 persen sedangkan pembangkit fosil hanya 48,4 Persen.
 Kondisi ini malah menegaskan bahwa Indonesia belum berada di jalur yang tepat sebab masih ada penambahan sebanyak 19,6 Gigawatt pembangkit fosil yang akan tetap memicu emisi karbon.
Situasi ini tentu saja berbeda dengan rencana indonesia untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara setelah tahun 2025.
 Tekanan global  terhadap Indonesia dalam hal penurunan emisi karbon sebesar 29 persen lewat usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional terasa belum memadai, bahkan lewat moratorium penghentian pengunaan PLTU berbahan bakar batu bara.
Sebenarnya muncul situasi yang dilematis karena sesungguhnya PLTU menyumbang bagian terbesar dari listrik negara yang kebutuhannya berasal dari batu bara. Produksi batu bara di Indonesia tahun 2019 mencapai 616 Juta ton, dan 76 persen dialokasikan untuk ekspor.
Hal ini membuat Indonesia menjadi negara ekspor batu bara terbesar ke lima dunia dalam cakupan negara-negara G20. Kondisi cadangan batu bara yang melimpah ditambah harga yang murah dan efisiensi yang tinggi membuat PLTU menjadi pilihan utama dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional. Walaupun tetap saja penggunaan batu bara memicu emisi karbon dari konteks lingkungan juga sosial masyarakat.
Apabila  moratorium diberlakukan dan  dimulai di tahun 2025 maka apa yang akan terjadi dengan PLTU itu sendiri? Di satu sisi tekanan global cukup masif merujuk pada persetujuan Paris untuk pengurangan emisi karbon sedangkan di sisi lain ketergantungan listrik terhadap PLTU  di Indonesia amat kuat. Transisi dari energi fosil seperti batu bara tentu saja membutuhkan waktu dan persiapan yang matang. Namun ini menjadi harapan baru bagi penggunaan energi yang ramah lingkungan.
 Indonesia perlu belajar dari negara-negara lain. Beberapa negara mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan Indonesia.  Ini penting untuk dipelajari agar Indonesia bisa merumuskan kebijakan dan strategi untuk dapat sampai pada transisi energi  yang berkeadilan.
 Transisi yang dimaksud yaitu soal  integrasi tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan  terlebih dalam tujuan akses terhadap energi yang terjangkau , dapat diandalkan, berkelanjutan serta moderen.
Salah satu contohnya adalah transisi energi yang terjadi di Silesia sebuah wilayah di negara Polandia. wilayah ini sebelumnya punya ketergantungan tinggi terhadap  batu bara.
Di sana  batu bara tidak dilihat dari sisi ekonomi dan energi saja. Batubara telah menjadi sejarah dan budaya di Silesia. Kata kunci dari transisi energi di wilayah Silesia ini adalah inklusivitas dan transparansi yang dilakukan melalui pelibatan komunitas, melalui dialog-dialog sosial dan keterbukaan data.
Pengalaman lain dari negara Taiwan. Pada saat peralihan atau pergeseran yang sangat cepat  dalam upaya transisi energi menuju energi  baru terbarukan ada peristiwa yang menyita perhatian  pada 2017 yaitu terjadinya pemadaman listrik total. Sementara  kondisi kesiapan jaringan mereka pada saat itu belum bisa mengimbangi pesatnya pemanfaatan Energi baru terbarukan.  Peristiwa di Taiwan memberi pelajaran soal  kesiapan terutama kerjasama luas dalam  transisi energi.
Cerita-cerita ini menjadi penting untuk melihat usaha  Indonesia untuk bertransisi.  Hal ini karena transisi yang berkeadilan perlu mempertimbangkan berbagai aspek. Salah satunya adalah  kesiapan aspek sosial ekonomi, terutama di daerah-daerah penghasil batubara.
Ada cukup banyak pihak yang bergantung pada komoditas ini, karena itu sangat potensial terdampak apabila  terjadi perubahan.  Belum lagi melihat kesiapan kita dari segi infrastruktur terutama kesiapan jaringan.
Hal yang perlu dipikirkan juga adalah soal mengantisipasi pengambilan keputusan yang keliru. RUPTL memberi ruang untuk pangsa energi baru  terbarukan hingga 23 persen. PLN dan pemerintah sendiri berupaya menerapkan campuran 10-20 persen biomassa di 52 pembangkit listrik tenaga batu bara.
Target ini sudah terealisasi pada 32 pembangkit listrik tenaga batu bara dengan campuran biomassa 5 persen. Rencana ini tentu saja akan butuh biomassa dalam jumlah yang besar. Selain masih mahal juga butuh lahan yang luas untuk bahan baku biomassa juga untuk biodiesel.
Berdasarkan perhitungan Greenpeace dan LPEM Universitas Indonesia, bahwa realisasi proyek B50 pada 2021-2025 butuh tambahan 9- 13 juta hektar kebun sawit. Â Hal ini tentu saja akan memicu deforestasi yang parah dan juga penambahan emisi karbon di sektor lainnya.(Mustasya, 2021)
Konsep energi baru terbarukan, misalnya penggunaan energi angin dan tenaga surya menjadi salah satu pilihan. Konsep ini  bisa dipakai dalam konteks  transisi energi listrik yang ramah lingkungan.  Perusahaan Listrik Negara seharusnya bisa memperdalam kajian tentang penerapan tenaga surya dan energi angin. Hal ini tentu saja akan membantu meminimalisir dampak terhadap lingkungan sekaligus ikut menyukseskan kesepakatan Paris.
Semuanya ini hanya bisa berjalan jika berbagai lembaga masyarakat tetap sadar bahwa sudah waktunya  diskusi dan sosialisasi tentang kerusakan alam bukan hanya masalah pemerintah, tapi seluruh lapisan masyarakat.  Dengan demikian perlu adanya pengawalan ketat dari seluruh lapisan masyarakat terkait berbagai kebijakan mengenai energi baru terbarukan.
 Harapannya dengan adanya pengawalan lewat diskusi dalam kelompok-kelompok berjejaring  ini,  pada saatnya diskusi transisi energi menuju energi baru terbarukan menjadi semakin mungkin karena ada fasilitas aturan tegas dan tidak sebatas kehendak baik semata.
Daftar Rujukan
https://www.republika.co.id/berita/r0vg04459/presiden-jokowi-akan-hadiri-ktt-cop26-di-glasgow
https://www.youtube.com/watch?v=FOj4BuCL4Kw
Mustasya, A. I. and T. (2021). Is new electricity 10-year procurement plan really green? The Jakarta Post, 6.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI