Jargon kepentingan menggenjot ekonomi tanpa melihat kondisi lingkungan. Atau hutan yang dihancurkan dan masyarakat sekitar terpinggirkan demi jargon ekonomi tentu saja sudah salah sejak dari dalam perumusan kebijakan. Keuntungan diperoleh negara sedangkan masyarakat mereguk penderitaan.
Kedua soal tataran reflektif. Â Pada masa kini aspek audit etika sekarang mulai diminta. Audit pada masa kini tidak lagi sekedaraudit manajemen, atau audit kepemimpinan tapi kini ada audit kompetensi etika.
Di dalamnya dipertanyakan kebijakan-kebijakan tertentu misalnya mengapa sebuah kebijakan diambil? Pertimbangan etis apa yang dipakai?
Pertimbangan etis yang paling sederhana adalah tentang siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
Apakah mengedepankan aspek keadilan atau tidak? Dan lebih lanjut adalah tentang peruntukan keadilan, untuk siapa keadilan itu? Ini menjadi hal yang utama dalam etika publik.
Ketiga soal penekanan pada modalitas etika. Modalitas etika dipahami sebagai semua hal yang menjembatani wilayah norma (yang seharusnya dibuat) menuju tindakan (yang seharusnya dilakukan).
Ada semacam keyakinan bahwa sesuatu yang telah diketahui diandaikan sebagai sesuatu itu telah dijalankan. Â Padahal dalam tataran tertentu, antara mengetahui dan melakukan terbentang sebuah jarak.
Pengalaman membuktikan bahwa orang yang terbiasa berbicara banyak belum tentu mampu melakukan sesuai yang diucapkan.
Contoh kecil Pengalaman Penataran atau latihan dasar PNS seolah-olah mengandaikan bahwa bekal yang telah diberikan dalam pelatihan-pelatihan itu seolah-olah otomatis akan dilaksanakan.
Modalitas biasanya berbentuk sistem untuk menjembatani misalnya antara tataran pengetahuan tentang bolos dan sanksi yang akan diberikan bagi PNS yang bolos.
Peraturan yang dibuat presiden kira-kira mau menegaskan tentang  sebuah niat baik tidak cukup, mesti dibuat dalam rupa aturan yang punya ketegasan sanksi jelas.