Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Kemampuan Berbahasa Asing Anda Begitu-begitu Saja? Metode Sim-ak Solusinya

15 April 2021   11:25 Diperbarui: 16 April 2021   02:21 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan
Semua cara pengucapan dalam artikel ini sudah saya cek silang dengan cara pengucapan di Penerjemah Google, mudah-mudahan saya tidak membuat kekeliruan.

Pada beberapa artikel sebelumnya, saya sudah mengungkit tentang Metode Sim-ak (Simplikasi-akselerasi) Johan Japardi, yang bisa diaplikasikan dalam pembelajaran apa saja, salah satunya adalah penerapan dalam pembelajaran Kanji Jepang (lihat: Cara Baca Kanji Berdasarkan Komparasi dengan Dialek Hokkien). Ini buku pertama dan satu-satunya di dunia.

Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Inggris
Konsep-konsep yang melatarbelakangi dan mendukung artikel ini bisa dilihat pada artikel: Logika Belajar Apa Saja.
Terlebih dahulu tertibkan cara pengucapan Anda dalam bahasa Indonesia sendiri. Mulailah dengan mengoreksi pendengaran, selanjutnya pengucapan bahasa Indonesia, tak ada gunanya mengikuti kebiasaan orang banyak.

1. o atau ou?
Yang akan saya bahas adalah hal yang sangat sepele bukan, o atau ou? 

Tapi saya memulai terlebih dulu dengan e (yang ini dibaca bagaimana?)

Karena alasan penyederhanaan penulisan, sejak Ejaan Soewandi sampai sekarang (Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan), pembedaan bunyi vokal ini tidak dipakai lagi, misalnya kata “sepele” itu sendiri, yang penulisannya dalam aksara Jawa ter-Latinkan membedakan antara e pepet dengan e taling (e berdiakritik atau é), yaitu "sepélé."

Keadaan ini membuka peluang terjadinya ketidaktepatan dalam pengucapan sehingga kadang-kadang terjadi kelucuan, antara lain pengucapan kata lembék menjadi lémbék oleh orang Batak yang memang lebih suka menggunakan é ketimbang e. Kata-kata lain yang kadang-kadang terdengar dalam bahasa lisan mereka: "méngapa?" ketimbang "mengapa?," "pérgi ké mana kau?" ketimbang "pergi ke mana kau?," "bétul" ketimbang "betul," "péning aku" (yang sering kita dengar diucapkan oleh Poltak si Raja Minyak), ketimbang "pening aku" dan pada gilirannya tidak bisa lagi membedakan antara "lébar" (wide atau width dalam bahasa Inggris) dengan "lebar" yang berasal dari bahasa Jawa yang artinya selesai (berpuasa selama bulan Ramadhan). Yang lebih menarik lagi, ada orang Batak yang mengucapkan "mémang" menjadi "memang" karena khawatir kalau diucapkan “mémang” malah menjadi salah.

Lebih lanjut mengenai e pepet dan e taling ini, dalam bahasa Jepang hanya dikenal e taling: hajimémashité (senang bertemu dengan Anda), génki (sehat), éhon (buku  bergambar), dll. Bila ada kata serapan dari bahasa asing yang mengandung e pepet, maka e pepetnya dijadikan “a," "aa" ("a" panjang)” atau “o”: personal computer menjadi paasonarukonpyuutaa (atau bisa ditulis dengan pāsonarukonpyūtā), yang kemudian disingkat menjadi pasokon.

Bahasa Jepang memiliki keterbatasan pengucapan tertentu tetapi konsisten dalam membedakan bunyi vokal, misalnya "domo arigatōgozaimasu" (banyak terima kasih) yang dibaca "domo arigatougozaimasu."*

*Saya lebih suka menuliskannya tanpa tanda makron, karena penggunaan tanda ini (di antaranya oleh pnerjemah Google) membuat kita tidak bisa membedakan "ou" dengan "oo" yang sama-sama direpresentasikan oleh "ō." Contoh:
Doushite (mengapa): dōshite
Ooki (besar): ōki
Kacau juga makron ini.

Di sini jelas-jelas bunyi “o” (seperti pada kata “orang”) dibedakan dengan ō (seperti pada kata “Sutéjō” yang dibaca “Sutéjou” dan bukan “Sutéjo.”)

Saya memperhatikan, yang jadi MASALAH BESAR, kebanyakan orang lebih suka menggunakan “o” ketimbang “ou,” sehingga banyak “ou” yang diucapkan secara keliru sebagai “o.” Contohnya sangat banyak.
1. episode seharusnya dibaca épisoud, bukan épisod.
2. expose seharusnya dibaca ekspous, bukan ekspos.
3. “no” dalam “deal or no deal” seharusnya dibaca sebagai “nou” bukan "no" yang menimbulkan kesan bahwa yang dibaca adalah “nor.”
4. “oplos” berasal dari bahasa Belanda dan orang Belanda sendiri pada umumnya membacanya sebagai “ouplous” walaupun ada yang membacanya “ouplos,” tetapi kita membacanya seperti bahasa Afrikans yang juga mengadopsi kata tersebut, yaitu “oplos.”

Catatan:
Arti kata oplos sendiri adalah “melarutkan,” tetapi dalam bahasa Indonesia menjadi “mencampurkan" (sesuatu dengan yang mutunya lebih rendah, bahkan untuk zat padat seperti beras).

5. Roadmap seharusnya dibaca roudmép, bukan rodmép, kalau rod artinya batang.

Memang kesalahucapan ini tampaknya tidak memiliki dampak apa-apa, tapi kalau kita mau memperhatikan dan memperbaikinya, katakanlah pengucapan kata bahasa Inggris, maka pengucapan semua kata yang mengandung “o” atau “ou” akan menjadi benar hanya dengan mengubah kebiasaan membaca yang keliru dan kacau itu.

Cara benar yang bisa digunakan adalah dengan mengingat nama “Sutejo,” yang dibaca "Sutéjou," dan tak mungkin dibaca “Sutéjo,” apalagi "Sutejo."

é (e taling) atau éi?
Selain o dan ou, dengan tingkat kekerapan yang lebih kecil, banyak orang yang tidak membedakan é (e taling) dengan éi, sehingga éi dibaca sebagai é (e taling).

Memang bahasa apa saja memiliki inkonsistensi pengucapan, namun, kita bisa mengambil patokan umum bahwa,  dalam bahasa Inggris misalnya, prioritas pengucapan bunyi vokal dalam kata mengacu ke bagaimana vokal itu sendiri  dibunyikan dalam alfabet. Dalam hal ini, yang saya maksudkan adalah vokal a yang mestinya dibaca sebagai éi*, tentu saja dengan beberapa pengecualian.

Dengan demikian:
1. Facebook seharusnya dibaca féisbuk, bukan fésbuk.
2. Frame seharusnya dibaca fréim, bukan frém.
3. Image seharusnya dibaca iméij, bukan iméj.
4. Name seharusnya dibaca néim, bukan ném.
5. Sailing seharusnya dibaca séiling, bukan séling.
6. Statement dibaca stéitmen, bukan stétmen.

*Saya cukup menggunakan tanda pengucapan vokal dengan mengacu ke cara membaca bahasa Jawa, bukan transkripsi atau skrip atau notasi fonetik karena hasilnya sama saja untuk contoh ini.

Kesalahan dengan menghilangkan vokal i juga terjadi pada kata-kata yang berakhir dengan "ion" yang mestinya dibaca "ien" bukan "en".
Contoh:
1. Fashion, seharusnya dibaca feshien, bukan feshen.
2. Condition, seharusnya dibaca kondisien, bukan kondisen.

Kalau cara membaca/mengucapkan sudah dibenarkan, Anda akan menyadari bahwa banyak kata di luar contoh di atas masih sangat banyak, terlalu banyak untuk saya tuliskan di sini.

Jonggol, 15 April 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun