Mohon tunggu...
Jodhi Hermawansyah
Jodhi Hermawansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Public Relation Ilmu Komunikasi FISIP UMJ

Manusia Informal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menyerah adalah Mati

9 November 2020   14:09 Diperbarui: 9 November 2020   14:20 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sedih karena ia tau kerasnya hidup yang sebenarnya telah menunggu layaknya malaikat pencabut nyawa yang bermata sinis menatap kearahnya sambil menyebut namanya.  

Hidup harus tetap berjalan seakan hidup berjalan dengan unsur paksaan walaupun untuk mati belum siap karena dosa yang membludak. Hari wisuda datang hari yang benar membuat bahagia melihat ayah ibunya datang, tangis haru dari ibu melihat anak sulungnya lulus kuliah dan tatapan tajam ayahnya seakan mempertanyakan langkah selanjutnya. 

Dari tatapan itu, hasrat dalam jiwa menggelora ingin membuktikan diri dengan ilmu dan kemampuan yang dimiliki. Hari-hari setelah wisuda adalah waktu pembuktian apakah akan jadi tukang pulsa, tukang kopi keliling atau menjadi sosok yang disegani karena karya, karena tindakan, karena sebuah inovasi yang pengaruhnya kongkrit dirasa oleh diri sendiri, keluarga, bahkan bangsa dan negara.

Perjalanan pembuktian diri dimulai, diawali dengan mempercayakan relasi yang dimiliki. Satu minggu menunggu tidak ada jawaban, strategi diganti dengan mencari lowongan pekerjaan yang tersedia di web, di angkot, di mana-mana. 

Dua minggu mencari tak membuahkan hasil. Dari gaji terlalu rendah, lowongan tak sesuai kemampuan, atau hal lainnya yang menjadi penghambat dalam mendapatkan perkerjaan. 

Perkataan ayah tiri semakin terngiang seakan itu memang takdir yang akan dijalani, makin sungkan untuk hidup. Suatu waktu ia merasa sangat lelah, kesana-kemari mencari pekerjaan hasilnya nihil sampai. Terbesit dinalarnya untuk menyerah bahkan mengakhiri hidup. 

Tengah malam keluar, duduk di trotoar dan meringkuk, menangis, menelan semua ambisi. Menyerah bukan solusi, ia pun tersadar harus ada yang diperbaiki. 

Penatnya pikiran membuat Jeje muda ingin rehat sejenak, beristirahat ke tempat yang dapat membuat tenang dan hati damai. Coffee shop menjadi tujuan utama dengan alasan menikmati secangkir kopi bisa membuat indrawi jernih dan batiniah tenang. 

Tentunya, tempat dipinggiran kota untuk menikmati suasana yang sepi dan memacu akal sehat kembali. Coffee shop di kota Bandung tujuannya. Lama sekali perdebatan terjadi diotak hingga keluar kota Bandung dibenak. 

Pintu toko terbuka membuat mata terbelalak memandang barista toko tersebut. Yang membuatnya percaya bahwa bidadari tak selalu berslendang. Memesan kopi sambil membulatkan keberanian untuk berkenalan dan merealisasikan. 

Waisya namanya, lulusan salah satu Universitas negeri di Bandung. Tanpa sadar Jeje muda menemukan sosok untuk hidup lebih bersemangat. "gua punya cita-cita jadi Kemenpora, kasian pemuda Indonesia termasuk gua ngelontang-lantung gajelas abis lulus." Ucap Jeje muda menjawab pertanyaan Waisya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun