Mohon tunggu...
Lyfe

Ketika Mata Tertutup, Batin Terbuka

9 Februari 2016   18:14 Diperbarui: 9 Februari 2016   20:05 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gus Dur"][/caption]Jingga sulit menampik kenyataan. Mata remaja yang baru beranjak dewasa itu tak lagi bisa menyaksikan warna-warni isi dunia. Ke sekeliling mana pun ia melihat, yang nampak adalah warna hitam. Ia harus mengucapkan selamat tinggal kepada warna merah, kuning, hijau, dan biru. Setiap warna yang kontras satu sama lain itu mendadak bercampur jadi satu, hitam yang gelap.

Kenyataan itu datang ketika penanganan terhadap kerusakan matanya telah mencapai titik maksimal. Catatan medis menyebutkan, visual aquity atau ketajaman penglihatannya melebihi batas normal. Dokter sudah angkat tangan dan terpaksa memvonis Jingga kehilangan indra penglihatan alias buta.

Kaget, berat, dan pekat. Begitulah yang Jingga rasakan. Beruntunglah ia punya seorang ibu hebat yang tahu bagaimana menghadapi kenyataan pahit. Enggan meratapi nasib anaknya, sang ibu memilih bersikap positif. Sebuah sikap yang dibutuhkan untuk membimbing penyandang tuna netra agar mampu menghadapi kenyataan dalam hidupnya. Ketika sang ayah terkesan sulit menerima nasib anaknya, sang ibu pun menggugat, “Apa gunanya kamu tidak bisa menerima jika Jingga tidak bisa melihat lagi?”

“Justru yang dibutuhkan Jingga itu adalah support, Pa!” tegasnya.  

Berbekal sikap positif, Jingga pun sanggup memaknai hidup dari sudut pandang yang lain. Ia paham, mustahil menolak takdir bahwa matanya telah buta. Tapi ia juga sadar, kondisi fisik itu tak menamatkan hidupnya. Justru ia menemukan kehidupan baru semenjak menjadi tuna netra. Dari kegelapan penglihatannya, Jingga melihat jalan terang dalam hidup. Ia berhasil mengubah alat diri untuk melihat sekeliling, dari mata fisik ke mata batin.

Secara perlahan ia mengerti, tuna netra dan orang awas punya kesempatan sama untuk meraih sukses. Kondisi fisik bukanlah penghalang jalan menuju masa depan. Semua orang juga punya prasyarat sama bahwa sukses harus diraih dengan kerja keras. Maka, ia pun berlatih keras bersama kawan-kawannya demi memenangi sebuah kompetisi grup musik. Selama latihan itulah ia merasakan berbagai dinamika kehidupan yang membuatnya mengerti arti persahabatan sekaligus mendapati indahnya keluarga.

Ketika Tuhan menutup fungsi mata seorang hamba-Nya, maka Ia membuka mata batin hamba tersebut. Lewat kata hati yang dipadu sentuhan fisik, seorang tuna netra dapat menjalani kehidupannya. Kodrat seperti itu juga dialami seorang ulama di Tarim, Yaman Selatan bernama Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad bin Ali Al-Tarimi Al-Haddad.

Lahir pada 1634 M, Abdullah Alawi Al-Haddad—demikian nama populernya—tiba-tiba terserang penyakit ganas yang mengakibatkan kebutaan saat menjelang beranjak remaja. Namun, hilangnya daya penglihatan itu tak lantas menyulut marah dan kecewa terhadap Sang Pencipta. Ia ikhlas menerima takdir tersebut.

Bukti keikhlasannya, Abdullah Al-Haddad makin rajin beribadah. Ia mengubah sudut pandangnya. Alih-alih menyalahkan takdir, ia justru berpandangan bahwa buta mata adalah kenikmatan dari Tuhan agar ia dapat lebih konsen beribadah. Ia kerap bertafakur di sudut masjid untuk lebih memahami makna hidup. Ia juga menegakkan shalat tahajud setiap malam demi menjaga cinta pada-Nya. Rajin pula melantunkan ayat-ayat Quran dengan meresapi maknanya.

Selain istiqamah beribadah, ia rutin belajar kepada para ulama di Yaman Selatan. Orang-orang melihatnya sebagai sosok yang sangat menghormati guru dan orang tua. Ia juga dikenal sebagai pria berkepribadian sangat baik dan suka membantu orang lain, meski dirinya sendiri hidup dalam keterbatasan. Ulama terkemuka di zamannya, Habib Abdullah bil Faqih, meyakini bahwa Abdullah Al-Haddad telah mendapat futuh (mata batin yang cemerlang) lantaran kesungguhan ibadah dan keuletannya menimba ilmu. Tak heran, banyak orang yang merasa lepas beban hidupnya jika menghadiri majlis taklim yang diampu Abdullah Al-Haddad. Beratus-ratus tahun kemudian, salah satu karyanya yakni kitab wirid Ratibul Haddad masih menjadi bacaan rutin di kalangan santri.

Membandingkan Jingga dengan Abdullah Al-Haddad ibarat menakar apel dan pohon beringin. Seorang ulama masa lampau di Yaman mana mungkin dibandingkan seorang remaja masa kini di Bandung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun