Dalam dua-tiga pekan terakhir, publik dihebohkan pernyataan Beathor Suryadi, seorang aktivis senior dan mantan politikus PDIP yang mengungkapkan bahwa ijazah (eks) Presiden Joko Widodo "dibuat" di Pojok Pasar Pramuka, Jakarta Pusat.
Narasi Beathor ini menyeruak lewat podcast dan media sosial, menyulut kembali kontroversi panjang soal keaslian ijazah Jokowi yang sebelumnya telah diselidiki dan ditutup oleh Bareskrim Polri karena tidak ditemukan bukti yang meyakinkan.
Beathor sama sekali tidak mengungkapkan bukti fisik yang mengunjuk kepalsuan ijazah Jokowi, selain narasi bertubi-tubi dan disiarkan berulang-ulang berbagai platform media sosial. Tapi tak urung, publik terbuai pesona "bad news is good news". Apalagi menyangkut figur populer seperti Jokowi.
Berbagai platform, menggaungkan narasi Beathor dengan berbagai interpretasi. Ada yang percaya, ada yang meragukan kebenarannya. Apalagi dengan gaya kalem tanpa dosa, Beathor selalu tangkas menjawab atau berkelit dari pertanyaan-pertanyaan menohok pewawancaranya.
Yang jelas, di grup WhatsApp yang diikuti Beathor dan banyak intelektual serta aktivis politik partai, mereka pada percaya. "Ini baru berita besar," Â Menggebu-gebu mereka menyambutnya.
Tetapi benarkah narasi memikat dan sangat meyakinkan Beathor ini akan berhasil membongkar, bahwa ternyata rakyat selama ini dibohongi Jokowi, yang berhasil dua periode menjadi Walikota Solo, dua tahun Gubernur DKI Jakarta dan sepuluh tahun jadi Presiden Republik Indonesia pada 2014-2024?
Perlu bukti
Di alam demokrasi, setiap orang berhak menyatakan pendapat di muka umum. Tetapi perbedaan antara opini dan bukti harus dijaga ketat. Tuduhan tentang pemalsuan ijazah seorang Presiden Republik bukanlah perkara yang kecil. Ini menyangkut legitimasi negara, serta kredibilitas lembaga pendidikan. Apalagi universitas sebesar UGM (Universitas Gadjah Mada).
Sayangnya Beathor tidak membawa atau menunjukkan kepada publik bukti fisik. Tidak ada satu dokumen atau artefak temuan yang dibawanya untuk mendukung klaimnya yang menggelegar di siang bolong itu. Tidak ada sampel cetakan, atau perbandingan cetakan ijazah keluaran Kios Pasar Pojokan Pramuka -- yang diungkapkan bisa seolah identik asli -- yang dia temukan. Tidak ada pula bukti kuitansi, nota percetakan, bahkan identitas kios UPP (Universitas Pasar Pramuka) yang mana dia bawa. Tidak ada pula bukti jejak digital yang mengunjuk akan upaya pemalsuan ijazah Jokowi tersebut.
Apalagi lokasi persis percetakan yang diduga menjadi tempat pemalsuan ijazah Jokowi, sudah ludes terbakar semua pada bulan Desember 2024. Beathor hanya mengungkapkan, bahwa ijazah, dan surat-surat kelengkapan lain Jokowi yang menurut tokoh senior PDIP itu dibuat di Pasar Pojok Pramuka itu, dibuat oleh kader-kader partai (PDIP) -- yang disebut Beathor sebagai tim Jakarta dan tim Solo -- saat menjelang kampanye Pilgub DKI Jakarta (2012).
Tudingan besar seperti "ijazah Jokowi dibuat di Pasar Pramuka" tentu saja mutlak  membutuhkan bukti primer. Bukan semata narasi, bukan semata cerita. Tanpa bukti dokumen, dan bukti primer lain, maka narasi Beathor hanya akan berdiri tanpa kekuatan yuridis maupun akademis...