Mohon tunggu...
Jimmy Banunaek
Jimmy Banunaek Mohon Tunggu... Guru - Menulislah sebelum engkau mati

Penulis pemula yang mau terus belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Namanya Dorkas

11 Juni 2019   18:22 Diperbarui: 11 Juni 2019   18:26 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sungguh piluh ketika mengikuti kisah dari seorang wanita yang dibesarkan dari keluarga tak mampu. Dorkas merupakan anak ke 3 dari 8 bersaudara. Ia tumbuh menjadi anak yang cerdas. Sangat piawai dalam berbagai permainan. Dari masa anak-anak sampe remaja dijalani dengan baik, layaknya wanita yang lain.

Di bangku pendidikan pun demikian, ia jalaninya dengan baik dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, walaupun sekolah pada jamannya tidak secanggih yang sekarang. Pendidikan waktu itu tidak banyak menuntut harus pintar dari menyelesaikan berbagai mata pelajaran dengan tuntas tetapi pendidikan waktu itu lebih fokus pada baca tulis dan hitung.

Dorkas sangat senang dengan mata pelajaran matematika dan karena kepintarannya itu, banyak pria yang senang bergaul dengannya. Mereka mendekatinya agar bisa membantu mereka ketika pelajaran matematika. 

Karena begitu banyak teman-temannya yang terus mendekati dia maka timbul iri hati di antara teman wanita yang lain. Dorkas semakin tidak disenangi oleh teman-teman wanita yang lain.

Disetiap kesempatan mereka selalu mencibirnya, mengolok-oloknya karena penampilannya yang sedikit norak. Padahal bukan penampilan yang tidak disukai oleh teman-temannnya tapi karena kepintarannya.  Ia tidak peduli dengan sikap teman-temannya, yang dia fokus adalah bagaimana tujuannya menggapai cita-cita berhasil.

Tiga tahun ia jalani dibangku sekolah menengah atas. Ia berhasil lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Ia mendapat juara satu umum di sekolahnya. Sangat membanggakan sekali ketika mendengar hal itu. 

Ijasah pun telah diterima dan langkah selanjutnya adalah melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Kemudian Ia coba berbicara dengan orang tuannya agar kalau bisa ia dapat melanjutkan pendidikannya.

"Ama, au he lanjut u skol" kata Dorkas (dalam bahasa Dawan bahwa ia mau lanjut sekolah)

"hi bifel, mis kol tinggi on me tetap himfani bi dapur, lebih baik au uskol kuk le atoni " kata ayahnya (perempuan itu mau sekolah tinggi bagaimanapun, pasti akan kembali ke dapur. Lebih baik saya menyekolahkan anak laki-laki)

"tapi am, ho harus mu hin kalau au juara umum bi skol, au lonen bisa. Kalau ho ka mu skol kau fa ma au nau nako ume" bentak Dorkas. (tapi, ayah harus tau kalau saya ini juara umum di sekolah, saya pintar. Kalau bapak tidak menyekolahkan saya, biar saya pergi dari rumah ini)

"kalau au u molok, ho mutuin. Bit hit kuan ini pah bife semua sama, na skol tal SMA. Au rencana i he jodohkan ko nok desa in an mone." kata ayahnya (kalau saya bicara kamu harus ikut, di kampung sini semua perempuan sama, semua sekolah hanya sampai di SMA biar mau pintar bagimanapun cukup sampai di SMA. Saya rencana mau menjodohkan kamu dengan anak dari kepala desa).

"Le na leko au nao nako umel ini" balas Dorkas. (mendingan saya pergi jauh dari rumah ini)

Kemudian Dorkas berlari keluar dan menemui adik perempuanya untuk menceritakan hal tersebut, namun adiknya juga mendukung ayahnya. "kamu harus mendengarkan ayah, dia orang tua kita." Kata adiknya. 

Dorkas semakin tertekan harapannya sepertinya akan pupus. Saudara-saudarnya tidak mendukungnnya, mereka lebih senang mendengarkan ayahnya dari pada mendukung keinginannya. Dia pun tidak kehilangan akal. Ada satu yang mungkin bisa mendukungku. "mama... mama..." pekiknya dalam hati. ia kemudian berjalan menuju mamanya yang sedang bekerja di kebun.

Dalam perjalanan menuju kebun ia bertemu teman prianya yang sementara mengembalangkan sapi, pria itu memanggilnya sebentar agar bisa bercanda dengannya. Dorkas pun berhenti dan menyapanya. Pria itupun terus berbicara dengannya namun sesekali dia menggodanya.

"menikahlah denganku" kata pria itu.

"Maafnya kamu tidak sepadan dengan saya. Tidak penting saya berbicara sama kamu." Kata dorkas.

Kemudian Dorkas pergi meninggalkan pria itu dan menemui mamanya.

"Ain ...ain ... ain honi. Au he u molok no'ok ko? kata dorkas. (saya mau bicara dengan mama?)

"Hoo he mu molok sa?" kata ibunya. (mau bicara apa?)

"Am bantu kau he mu molok nok am nasit he au bisa lanjtu us skol" kata dorkas. (bantu bicara dengan ayah supaya saya bisa melanjutkan sekolah)

"Mu molok am mes kum, ho mu hine ho bapa, kalau in kan lomif berarti lo memang in kan lomif." tegas ibunya kepada dorkas. (bicara sendiri saja dengan bapak, kalau dia tidak mau berarti memang dia tidak mau)

Percakapan antara ibu dan dorkas tidak menemui hasil karena ibunya tidak berani berbicara dengan ayahnya yang terkenal dengan keras kepala dan tidak mau mendengarkan masukan dari ibunya. Dorkas kemudian menyerah dan berpasrah pada hidupnya dan menjalani hari-harinya dengan penuh kepedihan.

Empat tahun kemudian hidup dalam ketidak pastian akhirnya ia mau membuka hati dan memberikan cintanya kepada seorang pria yang pada waktu itu berpapasan dengannya di hutan. Pria itu adalah seorang gembala dan anak dari seorang kepala desa. Dorkas pun menjalani hubungan bersama dengannya.

Hubungan keduanya dijalani dengan serius karena menurut Dorkas mungkin ini jalan Tuhan baginya agar menyudahi kesendiriannya. Dia tidak berpikir  lagi tentang sekolah karena sekolah tidak penting seperti yang dikatakan orang tuanya. Mau sekolah tinggi bagaimanapun pasti akan kembali ke dapur untuk mengurus suami dan anak-anak.

Kedua orang tua Dorkas kemudian menemui orang tua dari pria tersebut. Maksut kedatangan mereka untuk membicarakan hubungan kedua anaknya ke tingkat yang lebih "serius". Karena sebagai masyarkat biasa kedua orang tua dari Dorkas yang menemui orang tua dari pria itu. Padahal dalam adat istiadat, orang tua dari prialah yang harus menemui orang tua dari wanita.

Akhirnya kesepakatanpun terjadi antara kedua orang tua. Tanggal pernikahanpun telah ditentukan.  Kesepakatan ini disampaikan kepada Dorkas. Diapun menjadi senang. Hatinya berbunga-bunga memikirkan masa depannya bersama anak kepala desa. Ia nyakin akan bahagia karena semua adalah pilihan orang tua. Orang tuanya pun bahagia karena Dorkas sudah kembali ceria ketika menemukan lelaki pilihannya ini.

Semua persiapan dari adat berupa "antaran dulang" telah disiapkan oleh pria tersebut. Demikian dari keluarga Dorkas pun melakukan hal yang sama. Semuanya dipersiakan dua hari sebelum pernikahan mereka. Semua keluarga telah diundang. Pihak gereja pun telah diberitahukan. Hari pernikahan akan segera dilangsungkan.

Satu hari sebelum pernikahan, suasana kebahagian berubah menjadi kepanikan. Ada seorang wanita yang datang mengakui bahwa ia telah mengandung anak dari pria itu. Wanita itu datang bersama orang tua dan keluarganya. 

Mereka dari kampung sebelah. Mereka menemui orang tua dari pria itu dan memaksa agar anaknya mempertanggujawabkan janin yang ada dalam kandungan ini. Karena menurut pengakuan dari anak mereka bahwa pria inilah yang telah menghamilinya. Mereka berdua telah menjalin hubungan sekitar enam bulan.

Orang tua dari pria itu kemudian menanyakan perihal tersebut kepada anaknya dan anaknya mengakui hal tersebut. Serasa napas dari orang tua itu hampir putus, badannya gemetar. Pikirannya menjadi kacau karena besok akan dilangsungkan pernikahan anaknya. 

Amarah itu semakin memuncak, diraihnya pedang disamping pinggangnya dan ditebas menuju anaknya namun karena hal itu telah dilihat oleh anaknya sehingga pedang itu meleset.

Anaknya kemudian lari meninggalkan rumah tersebut. Orang tua dari pria itu berjanji akan bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuat oleh anaknya. Kemudian Perempuan bersama orang tua dan keluarganya meminta pamit untuk pulang. Suasana rumah menjadi tegang. Situasi menjadi kacau.

Orang tua pria itu kemudian memanggil jubir (juru bicara dalam perkawinan) untuk menemui jubir dan kedua orang tua Dorkas agar membicarakan hal ini. Pembicaraan itu dilaksanakan dan memutuskan untuk membatalkan pernikahan  besok. Orang tua dan keluarga dari Dorkas hanya pasrah dan menerima keyataan ini.

Dorkas menjadi sedih. Harapannya menjadi sirna. Apa yang menjadi kebahagiannya hilang sekejap. "Apa dosa dan salah ku Tuhan, mengapa harus terjadi pada kehidupanku ini" gumam dalam hati. "Kehidupan ini sepertinya tidak berpihak padaku. Sudahilah sudah kehidupan ini. Hidup ini seperti sampah" kata Dorkas dalam hatinya sekali lagi.

Waktu pun berlalu. Setiap hari Dorkas berbicara sendiri walaupun tidak ada yang berbicara dengannya. Kedua orang tuanya menganggap dia telah gila atau kurang waras setelah gagal menikah. Orang sekampung pun demikan. 

Mereka semua menganggap dia telah gila atau mengalami gangguan jiwa. Dengan kondisinya seperti itu membuat mereka terus mengolok-oloknya. Penderitaannya semakin bertambah karena pelabelan tersebut.

Usia Dorkas semakin bertambah. Kondisinya yang disanggka kurang waras membuat kedua orang tua dan saudara-sudaranya tidak mempedulikan dia. Dorkas kemudian meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke kota. 

Mereka menganggapnya orang gila padahal tidak. Ia mengalami ganguan psikosis yang menyebabkan ia berhalusinasi karena terus mengingat kejadian yang menimpanya. Ia hanya stres. Ia hanya pingin keluar dari masalah yang membelit selama ini. Ia butuh suasana baru. Suasana di mana ia bebas dari cibiran orang sekampung maupun keluarganya.

Dorkas kemudian menjalani kehidupannya sebagi pembantu rumah tangga atau asisten rumah tangga di kota. Ia menjalani pekerjaan itu dengan baik. Walaupun kadang ia berhalusinasi tapi tidak mencelakai majikannya atau keluarga majikannya. Semua pekerjaan rumah tangga dikerjakan dengan baik, memasak, mengepel, mencuci pakaian, menyetrika dan pekerjaan lainnya ditekuninya dengan baik.

Upah yang diterimanya tidak sesuai, mungkin karena kondisinya seperti itu sehingga dimanfaatkan oleh majikannya. Kadang majikannya berlaku tidak adil kepadanya. Tapi Dorkas tidak peduli seberapapun yang diberikan kepadanya ia tetap menerimannya. 

Ia kemudian menabung upah yang dibayarkan oleh majikannya. Uang dari hasil kerjanya itu sebagian disumbangkan kepada gereja tempat ia beribadah dan sebagian dia berikan untuk anak-anak atau cucu dari saudara-saudaranya. Hal ini terus dilakukan sampai masa tuanya.

Diakhir hidupnya, Dorkas adalah anak satu-satunya anak yang paling mengerti sil silah orang tuanya, baik dari ayah maupun dari ibu. Saudara-saudaranya yang lain tidak mengetahuinya. Semua itu ia tahu karena ia rajin berkeliling menemui semua keluarga untuk memberikan sumbangan. Walapun sumbangan yang dibawanya cuman beras sekilo dan gula sekilo.

Dorkas meninggal karena komplikasi berbagai penyakit diantaranya penyakit keputihan yang memakan habis area kewanitaannya. Karena semasa bekerja di kota ia tidak terlalu memikirkan tentang kesehatannya. Yang dipikirkan adalah bagaimana ia bekerja dan memberi. Apalagi hidup sebatang kara tanpa memiliki suami atau anak-anak yang bisa memperhatikannya.

Nama Dorkas akan menjadi cerita yang dikenang oleh anak cucu dari saudara-saudaranya. Karena merekalah yang menikmati setiap butir keringat yang ditumpahkan olehnya walaupun dalam kondisi psikis yang tidak normal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun