"Mas, usia berapa pada tahun 1998 kemarin?", tanya saya lebih lanjut.
"Wah, masih balita, pak!", jawabnya sambil tersenyum.
"Coba nanti tanyakan kepada kakak atau orangtua yang saat tahun 1998 itu sudah dewasa. Mungkin mereka ingat peristiwa 'ninja, dukun santet, dan orang gila' yang menyasar kaum ulama", tukas saya.
Lalu saya bercerita tentang pengalaman 20 tahun yang lalu itu. Setelah rangkaian aksi massa yang menduduki gedung DPR, Suharto kemudian mundur dan tampuk Presiden digantikan oleh Habibie. Beberapa bulan kemudian, salah seorang sepupu yang tinggal di Lumajang melangsungkan pernikahan di sana.
Saya kemudian menghadirinya dengan menumpang kereta api Jakarta-Surabaya. Tiba di sana pagi hari dan melanjutkan perjalanan dengan menumpang kendaraan kawan yang kerja di Surabaya. Akhir pekan itu, dia berencana pulang ke Jember dengan membawa kendaraan sendiri.
"Kita berangkat setelah makan siang ya. Sebaiknya sebelum magrib sudah tiba di rumah", pesan sahabat semasa sama-sama di bangku kuliah dulu itu.
Teman itu akan mampir di Lumajang untuk mengantar saya, sebelum melanjutkan perjalanannya ke Jember. Kami tiba sekitar jam setengah lima sore dan dia langsung bergegas melanjutkan perjalanannya.
Malam itu, sesuai acara dan tradisi di keluarga sepupu yang akan menikah, kami beramai-ramai berkunjung ke rumah keluarga calon mempelai wanita yang tinggal di desa tetangga.
Ayahanda sepupu saya itu sesungguhnya adalah salah seorang yang terpandang di sana. Tapi rombongan kami tetap harus berhenti dan diperiksa sejumlah 'pemuda pasukan pengamanan', ketika melintas pos yang didirikan diantara kedua desa.
Pemeriksaan berlangsung kikuk dan tak ada keramahan yang selama ini biasa berlaku. Saya tak percaya jika mereka tak ada yang saling mengenal. Apalagi karena paman yang akan berhajatan dan turut menyertai pada salah satu iringan kendaraan, adalah salah satu tokoh di sana.
Issue 'ninja, dukun santet, dan orang gila' yang menghabisi secara keji ulama-ulama di kawasan 'Tapal Kuda' Jawa Timur itu, telah menimbulkan saling curiga yang amat meresahkan. Masyarakat bersikap hati-hati, menyelenggarakan ronda bersama secara ketat, bahkan kadang brutal, untuk melindungi ulama-ulama di kampung masing-masing.