Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saya Takut Agama

20 Februari 2018   12:09 Diperbarui: 20 Februari 2018   12:10 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://aminoapps.com

"Jadi menurut Bapak, apa yang sedang terjadi saat ini?", tanya supir taksi online yang saya tumpangi pulang setelah menyelesaikan pertemuan di Pasar Minggu, malam tadi.

###

Hampir setiap hari saya selalu menggunakan jasa taksi online. Setiap kali pula saya selalu menyempatkan diri mengobrol dengan mereka.

Akhir-akhir ini saya sering bertemu dengan pengemudi yang berlatar belakang pendidikan tinggi. Beberapa hari lalu, saya pernah disupiri mantan mahasiswa tahun ketiga yang drop-out setelah tertangkap menggunakan narkoba. Dia mengendarai mobil ayahnya yang berprofesi seorang guru. Setelah menyelesaikan masa hukuman selama hampir 3 tahun, 2 bulan lalu, dia memutuskan tak melanjutkan kuliah lagi dan menjadi pengemudi angkutan online.

"Kasihan orangtua, pak. Biar adik-adik saja yang kuliah. Ayah menggunakan tabungan untuk membayar uang muka mobil ini sehingga bisa saya gunakan untuk berusaha. Sebagian hasilnya  untuk membayar cicilan bulanan."

"Kalau kamu cuma pemakai, kenapa tidak minta mengikuti program rehabilitasi saja, seperti banyak artis yang tertangkap itu?"

"Ah saya jalani saja, pak. Teman yang sama-sama tertangkap memang ada yang segera bebas setelah menjalani rehabilitasi. Tapi saya tak punya uang untuk 'membayar' biaya jasa mengurus hal itu", jawabnya.

Saya kemudian berupaya menghiburnya dengan menceritakan salah satu pengalaman inspiratif supir taksi online yang lain.

Saya bilang, suatu saat ketika pulang dari kawasan Bintaro, supir taksi online yang mengantar ternyata seorang pemuda yang gigih. Dia memiliki kegiatan sampingan menyediakan kebutuhan seprei dan handuk untuk rumah sakit dan klinik-klinik kecil di seputar Jakarta. Pelan-pelan dia memiliki langganan tetap yang beberapa bulan sekali kembali memberi pesanan yang sama. Hal yang dia lakukan adalah singgah dan membeli bahan baku di Pasar Tanah Abang disela waktu jeda saat melayani penumpang. Bahan-bahan itu kemudian diserahkan kepada tukang jahit yang telah biasa dimintanya untuk mengerjakan pesanan tersebut. Lalu pada hari yang disepakati selesai, supir taksi online itu mengambil dan mengantarkan kepada pelanggan yang memesannya.

Konon, ketika kami ngobrol 1-2 tahun lalu itu, setiap bulan dia telah melayani tak kurang dari 10 lusin seperai maupun handuk per bulan. Sementara keuntungan jasa yang dipatoknya juga kecil. Berkisar   15-20 ribu per potong. Artinya, pendapatan bersih dari kegiatan sampingan yang dilakukannya berkisar Rp 2 juta per bulan. Mudah-mudahan saat ini pelanggannya semakin banyak dan perputaran bisnis 'sampingan' yang ditanganinya berkembang jauh lebih besar.

"Jika penumpang kamu tak keberatan, cobalah ajak mereka ngobrol. Selain untuk membuat suasana rileks di tengah kemacetan, mungkin ketemu peluang dan gagasan yang bisa kamu kerjakan sambil menjadi pengemudi supir online, mas."

"Terima kasih ya, pak, untuk obrolan yang asyik tadi", jawabnya sambil tersenyum ketika saya turun dari mobilnya. Sorot matanya lebih berbinar di banding saat pertama kami bertemu sejam yang lalu.

###

Suatu malam, pengemudi taksi online yang mengantar saya adalah mantan pegawai operasional salah satu oil service company.

"Anak tertua saya baru saja lulus dari Unpad dan sekarang sudah bekerja di salah satu perusahaan farmasi di Bogor. Adiknya masih kuliah di UI."

"Ibu kerja pak?", tanya saya lebih lanjut.

"Dia mantan pramugari dan sekarang berdagang online dari rumah. Jualan parfum dan kosmetik yang barang-barangnya diperoleh dari teman-temannya yang masih aktif terbang, pak", katanya.

Supir taksi online yang satu ini memang terlihat cukup parlente dengan tutur bahasa yang terjaga.

"Masih pada demo soal Peraturan Menteri Perhubungan terkait angkutan online yang pemberlakuannya kemarin ditunda, pak?", tanya saya lebih lanjut.

"Kalau saya pribadi, keberatan dengan penempelan stiker dan plat kecil yang menandakan kendaraan sudah lulus uji KIR itu pak. Juga tentang pembatasan wilayah operasi dan keharusan terdaftar di koperasi. Apa pemerintah mau menyediakan asuransi terhadap kendaraan dan nyawa kami jika terjadi apa-apa di lapangan?"

"Saat ini saja, saya tak berani mengambil penumpang di Cikarang. Bisa runyam dikeroyok supir angkot di sana", jelasnya lebih lanjut.

"Koperasi itupun untuk apa ya? Kan cuma menambah beban biaya kami yang tak perlu? Istri saya saja sekarang bisa berdagang kosmetik wanita tanpa repot buka toko dan tetek bengek administrasi perizinan."

Saya sungguh terharu melihat kegigihan keluarga supir taksi online ini. Dia memilih salah satu profesi "zaman now" setelah di-phk karena kesulitan yang dialami perusahaan tempatnya bekerja selama belasan tahun terakhir. Tentu tak mudah bagi dirinya yang sudah berusia lebih dari 50 tahun, untuk melamar kerja lagi. Terutama di tengah situasi lesu belakangan ini. Apalagi terkait industri migas yang memang menjadi salah satu bidang industri yang terpukul hebat sejak jatuhnya harga minyak dunia beberapa tahun belakangan. Karena usia, istrinya pun telah memasuki masa pensiun sehingga tak lagi bisa melakoni profesi pramugari maskapai penerbangan yang mempekerjakannya selama ini. Tapi Revolusi Budaya Digital telah bermurah hati membukakan peluang kepada mereka. Mengais rezeki yang halal, agar dapat mempertahankan kemampuan membiayai kehidupan sehari-hari dan kebutuhan pendidikan anak-anaknya. 

###

"Katanya Rizieq mau pulang ya pak?", tanya supir online yang mengantar saya pagi itu ke salah satu perkantoran di Jakarta Selatan.

"Semestinya begitu jika dia menjadi warga negara yang baik. Buat apa buron jika yakin tak bersalah?"

"Persoalannya media sosial hari ini terus-menerus berisik soal pertentangan agama, ya pak. Heran saya, urusan pribadi di campur aduk dengan soal berbangsa dan bernegara", kata pegawai salah satu kantor di kawasan Kuningan yang melakukan kerja sampingan sebagai supir taksi online sebelum berangkat kerja dan setelah pulang di sore hari itu.

"Menurut saya, semua itu akibat dari sistem pendidikan kita yang bobrok selama ini. Kita tak dibiasakan mengenal upaya dan proses. Tapi sekedar lulus ujian. Soal ilmu dan pengetahuan yang kemudian diterapkan sehari-hari, sering terabaikan sistem pendidikan kita."

"Maksudnya bagaimana, pak?"

"Makom anak-anak itu adalah bermain. Bakat dan minatnya perlu dikembangkan sejak dini. Mestinya kesenian dan olahraga tetap dipelihara sebagai hal yang mengasyikkan. Bahkan sampai mereka dewasa. Negara harus memberi ruang seluas-luasnya untuk hal itu. Sehingga kesenian dan olahraga jadi budaya dan gaya hidup sehari-hari tanpa pertimbangan ekonomi. Maksudnya, jika masyarakat berminat dan ingin melakoni, negara menyediakan kemudahan tak berbatas. Sebab, lewat kegiatan seni dan olahraga, kita diasah tentang gagasan. Lalu upaya dan proses untuk mewujudkan. Termasuk belajar dari kegagalan dan keinginan menyempurnakan terus-menerus."

"Wah, darimana anggarannya untuk membiayai seperti itu?", tukasnya.

"Mestinya hal itulah yang menjadi tujuan Negara membangun ekonominya. Supaya ada hasil dan keuntungan yang digunakan untuk membiayai hal-hal yang mengasyikkan bagi setiap anggota masyarakat. Bukan soal agama dan keimanan yang sifatnya exlusive itu."

Kemudian saya menjelaskan lebih lanjut:

"Pendidikan agama sejak dini di sekolah-sekolah yang mestinya menampung murid-murid yang merdeka dan majemuk, jelas berbeda dengan budi pekerti. Kalau yang terakhir itu adalah tentang hubungan dengan sesama manusia. Termasuk merayakan perbedaan diantara mereka. Sementara agama justru mengajarkan penajaman perbedaan. Exclusivitas. Bayangkan anak-anak yang masih suci bersih seperti kertas kosong, dengan kemampuan berfikir dan penalaran yang sangat terbatas, sudah kita cekok dengan paham rasialisme."

"Lalu soal hubungan dengan Rizieq, pak?", tukasnya.

"Nah, paham-paham radikal yang sering disuarakan Rizieq dan sejumlah tokoh agama yang sealiran dengannya, memiliki kemudahan pemasaran karena sejak kanak-kanak, masyarakat sudah dicekok dasar-dasar rasialisme dari pelajaran agama di sekolah-sekolah itu. Sedemikian rupa, banyak yang begitu saja percaya kehendak Tuhan bisa meniadakan upaya dan kerja keras. Berdoa dengan khusuk, termasuk menjalankan berbagai ritual, jauh lebih penting dibanding berupaya dan melakoni sungguh-sungguh proses yang harus dilalui. Bahkan banyak yang mengartikan kegagalan sebagai akibat tak diridhoi Tuhan, karena dia lalai melakoni amalan-amalannya."

"Betul pak. Tapi sekarang banyak masyarakat yang patuh dan hilang akal jika dikait-kaitkan dengan agama. Saya pribadi tak sepaham. Sementara banyak teman dan keluarga saya yang justru seperti itu", tukasnya lagi.

"Begitulah mas. Saya saja tak mampu meyakinkan adik kandung sendiri soal kekeliruan cara pandang itu. Padahal kami dulu sama-sama mengumpat Suharto dan Orde Baru. Bermimpi tentang sosok pemimpin seperti Ahok dan Jokowi. Ketika keduanya nyata hadir di depan mata kita, semua keistimewaan yang sesungguhnya dulu didambakan, menjadi tak berarti ketika mereka menghasut dengan issue penistaan agama dan keberpihakan pada golongan lain yang bukan dirinya."

"Kasihan Jokowi dan Ahok ya pak!", katanya kemudian saat kami tiba di tempat tujuan.

"Bukan mereka yang harus dikasihani, mas. Tapi bangsa kita secara keseluruhan. Justru kita berterima kasih kepada mereka. Karena membuka mata dan hati kita terhadap tabir gelap yang selama ini menyelimuti", ucap saya sambil bersiap-siap turun dari mobilnya.

"Terima kasih, pak", katanya mengakhiri perjumpaan kami hari itu.

###

Supir taksi online yang menanyakan pendapat tentang apa yang sedang berlangsung, di bagian paling awal tulisan ini, adalah sarjana yang baru lulus dari salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Sebelumnya, kami mengobrol tentang fenomena penyerangan ulama di sejumlah daerah. Setelah ditangkap, para pelaku umumnya ditengarai mengalami gangguan jiwa. Ternyata supir online ini membaca salah satu berita di edisi majalah Tempo yang terakhir.

"Saya tak tahu, mas. Tapi fenomena ini seperti yang terjadi tahun 1998 lalu. Ketika Suharto baru mengundurkan diri dan Indonesia sedang transisi menyiapkan diri menggulirkan agenda Gerakan Reformasi", ujar saya mencoba menanggapi pertanyaannya.

"Mas, usia berapa pada tahun 1998 kemarin?", tanya saya lebih lanjut.

"Wah, masih balita, pak!", jawabnya sambil tersenyum.

"Coba nanti tanyakan kepada kakak atau orangtua yang saat tahun 1998 itu sudah dewasa. Mungkin mereka ingat peristiwa 'ninja, dukun santet, dan orang gila' yang menyasar kaum ulama", tukas saya.

Lalu saya bercerita tentang pengalaman 20 tahun yang lalu itu. Setelah rangkaian aksi massa yang menduduki gedung DPR, Suharto kemudian mundur dan tampuk Presiden digantikan oleh Habibie. Beberapa bulan kemudian, salah seorang sepupu yang tinggal di Lumajang melangsungkan pernikahan di sana.

Saya kemudian menghadirinya dengan menumpang kereta api Jakarta-Surabaya. Tiba di sana pagi hari dan melanjutkan perjalanan dengan menumpang kendaraan kawan yang kerja di Surabaya. Akhir pekan itu, dia berencana pulang ke Jember dengan membawa kendaraan sendiri.

"Kita berangkat setelah makan siang ya. Sebaiknya sebelum magrib sudah tiba di rumah", pesan sahabat semasa sama-sama di bangku kuliah dulu itu.

Teman itu akan mampir di Lumajang untuk mengantar saya, sebelum melanjutkan perjalanannya ke Jember. Kami tiba sekitar jam setengah lima sore dan dia langsung bergegas melanjutkan perjalanannya.

Malam itu, sesuai acara dan tradisi di keluarga sepupu yang akan menikah, kami beramai-ramai berkunjung ke rumah keluarga calon mempelai wanita yang tinggal di desa tetangga.

Ayahanda sepupu saya itu sesungguhnya adalah salah seorang yang terpandang di sana. Tapi rombongan kami tetap harus berhenti dan diperiksa sejumlah 'pemuda pasukan pengamanan', ketika melintas pos yang didirikan diantara kedua desa.

Pemeriksaan berlangsung kikuk dan tak ada keramahan yang selama ini biasa berlaku. Saya tak percaya jika mereka tak ada yang saling mengenal. Apalagi karena paman yang akan berhajatan dan turut menyertai pada salah satu iringan kendaraan, adalah salah satu tokoh di sana.

Issue 'ninja, dukun santet, dan orang gila' yang menghabisi secara keji ulama-ulama di kawasan 'Tapal Kuda' Jawa Timur itu, telah menimbulkan saling curiga yang amat meresahkan. Masyarakat bersikap hati-hati, menyelenggarakan ronda bersama secara ketat, bahkan kadang brutal, untuk melindungi ulama-ulama di kampung masing-masing.

Setiap pagi selama 2 malam saya berada di sana, selalu ada kabar tentang ulama yang tewas dan menjadi korban aksi pasukan 'ninja, dukun santet, dan orang gila' di malam sebelumnya.

"Saya tak tahu pasti apa yang sesungguhnya terjadi, mas. Tapi fenomena horor itu memang berlangsung ketika sedang melalui masa transisi untuk menggulirkan bermacam agenda Reformasi. Mulai dari pemberhentian dan pemilihan ulang wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif, menentukan Presiden RI definitif yg menggantikan Habibie, penghapusan konsep Dwifungsi ABRI, perluasan otonomi daerah, dan sebagainya.

Ketika itu, proses perebutan tampuk kekuasaan yang ditinggal Suharto setelah 32 tahun berkuasa sedang terjadi. Kemungkinan aksi 'balas dendam' dan 'upaya menyingkirkan' kelompok yang sebelumnya berpesta pora, oleh mereka yang sebelumnya tersisih, sangat mungkin terjadi.

"Kalau sekarang emang ada yang bakal tersingkir, pak?", tanya anak muda yang terlihat penasaran itu.

"Emangnya mereka pernah tersingkir? Saya kira mereka malah segera kembali menguasai jagad politik dan kekuasaan Indonesia lewat aneka baju yang baru kan? Presiden kita yang sekarang justru dikepung dan dipasung mereka yang sudah mengurat-berakar menguasai berbagai sudut. Padahal sosoknya adalah yang selama ini kita idam-idamkan."

"Kok gitu ya?", tanyanya lebih lanjut.

"Entahlah, mas. Agama yang semestinya mencerahkan kok seperti menjadi hal yang menakutkan sekarang."

Kami sudah sampai di tujuan. Saya bergegas turun sambil berpesan:

"Rajin membaca ya, mas. Pasti Anda akan menemukan fakta sebenarnya. Membangun kesadaran dan pemahaman diri tentang kebenaran yang sesungguhnya. Meski di tengah banjir informasi yang fakta dan kebohongan bercampur baur sekarang ini. Gunakan nalar dan hati nurani kemanusiaan, Anda!"

"Sip, pak. Biarin aja deh mereka berantem, hehe"

Jilal Mardhani, 20-2-2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun