Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pro Kontra Ahok

12 Maret 2017   21:24 Diperbarui: 12 Maret 2017   21:57 1370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pria kelahiran Manggar, Belitung Timur itu, mungkin Warga Negara Indonesia yang paling banyak dimusuhi saudara sebangsanya sendiri. Padahal --- setelah fenomena  (almarhum) Ali Sadikin setengah abad yang lalu  --- Jakarta belum pernah merasakan lagi kehadiran Gubernur yang manfaatnya dirasakan luas karena lebih berpihak pada kepentingan mereka. Bahkan Ahok mungkin lebih istimewa karena dia sama sekali tak berkompromi dengan segala bentuk maupun ukuran korupsi-kolusi-nepotisme. Sedikitpun tak dibiarkannya celah terbuka sehingga anak buahnya leluasa memperkaya diri menggunakan jabatan dan kekuasaan. Walau ada saja yang bandel dan tak tahu diri.

Kodratnya sebagai warga turunan Tionghoa --- dan terutama karena statusnya yang non Muslim ---digunakan sebagai alasan utama untuk menjatuhkan segala prestasi tulus ayah dari tiga anak tersebut.

Hal yang sesungguhnya berkebalikan 180 derajat. Sebab mestinya mereka bersyukur, berharap, dan mendorong lebih banyak Ahok --- yang telah membuktikan ke-indonesia-annya yang sejati --- lahir, hadir, dan berkiprah di negeri yang selamanya terpuruk karena korupsi-kolusi-nepotisme  ini.

Siapa saja mereka yang menjadi musuh-musuhnya hingga pria yang memiliki nama Tionghoa Zhōng Wànxué itu perlu disingkirkan beramai-ramai?

--- Pertama adalah mereka yang syahwat korupsi-kolusi-nepotismenya terganggu.

Sebelum ada Ahok, mereka leluasa menelikung anggaran. Mulai dari proses penetapan jumlah maupun jenis peruntukannya, sampai tahap realisasi bahkan pengawasan dan pemeriksaannya. Sebab anggaran artinya proyek. Proyek berarti keuntungan. Siapa yang ingin beruntung menguasai proyek harus bersedia masuk dalam perangkap 'berbagi rezeki'. Maka korupsi sudah dimulai sejak tahap yang paling awal, yaitu ketika memberikan persetujuan terhadap apa yang perlu dibiayai melalui anggaran belanja dan berapa besaran yang akan dialokasikan.

Fokus pembahasan pembiayaan kegiatan pemerintah sesungguhnya sudah lama bergeser. Bukan lagi soal sejauh mana penyelesaian masalah atau capaian kemajuan akan diraih. Tapi tentang berapa 'untung' yang akan diperoleh dan dapat dibagi-bagi antar para pengambil keputusan, penanggung jawab, maupun yang semestinya mengawasi. Seperti gonjang-ganjing mutakhir yang paling memalukan --- mega korupsi proyek e-ktp --- yang saat ini proses persidangannya sedang berlangsung.

Si Ahok memang tak normal.

Dia hanya memikirkan soal esensi dan substansi masalah. Bukan nilai proyek dan peluang keuntungan yang akan diperebutkan birokrat politik dan pemerintahan. Misalnya, seperti dalam soal bagaimana mengendalikan atau menghindari musibah banjir. Atau tentang cara mengurai kemacetan Jakarta yang begitu parah. Juga mengenai jaminan kesejahteraan dan ketersediaan biaya operasional aparat pemerintahannya agar mampu melaksanakan tanggung jawab sebaik-baiknya melayani masyarakat. Dan setetusnya.

Ahok memang hanya tertarik untuk memikirkan hal-hal yang harus dilakukan. Artinya sesuatu yang tidak bisa dan tidak perlu lagi ditawar-tawar untuk memberikan pelayanan terbaik bagi warga dan kota yang dipimpinnya. Contoh sikap dan langkah demikian misalnya terlihat pada berbagai penggusuran hunian liar yang mengganggu aliran sungai dan saluran pembuangan air. Juga pada kawasan-kawasan yang semestinya dimilki dan dimanfaatkan publik luas. Bukan hanya dikuasai segelintir orang --- yang atas nama dan dalih kemiskinan --- selama ini dibiarkan menyerobot (dan berpesta pora).

Selain hal-hal yang seharusnya, dia juga memimpin birokrasi pelayan masyarakat untuk memilih jalan dan cara terbaik. Maksudnya terhadap upaya untuk menyelesaikan masalah atau mencapai kemajuan. Bukan semata soal bagaimana agar usulan kegiatan dan anggarannya dapat disetujui.

Maka ketika gagasannya dihambat, dipersulit, atau ditolak sistem birokrasi politik  pemerintahan korup yang terkaget-kaget dan tak siap menyiapkan jaringan komprador untuk menelikungnya, lelaki turunan Tionghoa itu mendemonstrasikan kejelian, kecerdikan, sekaligus kebijaksanaannya menyikapi situasi. Contohnya pengembangan simpang susun Semanggi yang kini mulai memasuki konstruksi tahap akhir. Atau Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang menjamur di berbagai pelosok Jakarta sekarang. Termasuk Kalijodo yang berpuluh tahun sebelumnya menjadi sarang pelacuran liar. Semua dikerjakannya tanpa memperdulikan kesemena-menaan anggota Dewan Legislatif Daerah menggunakan kekuasaannya dalam mempengaruhi anggaran belanja. Ahok justru mendemonstrasikan kekuasaan sekalgus kebijaksanaannya sebagai DKI-1 untuk mengerahkan potensi non-anggaran. Di masa lalu, hal demikian malah sering dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi penguasa dan lingkungan terdekatnya.

DKI Jakarta --- sebagaimana Indonesia pada umumnya --- memang telah terlalu lama dikelola dan dikendalikan penguasa-penguasa lalim, culas, tamak, tak tahu diri, bermuka badak, dan memuakkan. Mereka bercokol mulai dari pucuk tertinggi hingga ranting terkecil. Alih-alih berupaya melaksanakan fungsi pelayanan publik sebaik-baiknya, mereka justru memanfaatkan kekuasaan yang diamanatkan untuk mengintimidasi dan berdagang kekuasaan demi kepentingan sempit. Singkat kata, apa yang berlaku dalam sistem pelayanan pemerintah selama ini, justru berkebalikan dengan perkembangan teori maupun pemahaman ilmiah tentang tata kelola pelayanan (management service). Sebab mereka malah menjauh dari hakekat 'memudahkan'. Tapi justru mempercanggih soal bagaimana agar 'menyulitkan'. Maka seandainya ada pilihan (pemerintah) yang lain, mereka pasti mudah dikalahkan dan segera ditinggalkan pelanggan (masyarakat). Sayangnya, layanan pemerintah tak dijual bebas di super market ataupun media online.

Sehubungan dengan sifat monopolistik itu maka syahwat korupsi-kolusi-nepotisme jadi berkembang subur di lingkungan kekuasaan. Dari sanalah sesungguhnya bermula segala bentuk perselingkuhan dan penyelewengan. Walau semestinya --- sehebat apapun godaan --- tak boleh merontokkan iman melayani kepentingan bangsa dan negara. Tapi masalahnya, sang penggoda justru bersemayam dalam jiwa dan raga mereka yang diamanatkan mengendalikan dan mengelola kekuasaan. Bukan di luarnya.

Lalu Ahok telah menyababkan mereka tak berkutik, frustasi, dan setengah gila. Perlawanan pun dilakukan membabi-buta. Bahkan dengan memutar balik logika dan akal sehat. Penjelasan apa lagi yang cocok untuk kasus-kasus Rumah Sakit Sumber Waras, Reklamasi Pantai Utara, dan seterusnya?

Bahkan lembaga negara setingkat Badan Pengawas Keuangan (BPK) pun 'rela' mengorbankan marwahnya dengan melontarkan argumen-argumen absurd yang hanya mengundang tertawaan publik berakal yang sehat jasmani maupun rohani.

Maka sejak Basuki Tjahja Purnama --- begitu nama lengkap si Ahok --- naik ke tampuk kekuasaan tertinggi DKI menggantikan Jokowi, berbagai perlawanan mengada-ada digalang lawan politik yang syahwat korupsi-kolusi-nepotismenya terganggu gara-gara kehadiran suami dari Veronica Tan itu.

--- Kedua adalah mereka yang tidak korupsi tapi turut menikmati.

Karena perkembangan korupsi-kolusi-nepotisme sudah begitu berurat-berakar, hampir tak ada peluang dan rezeki di bumi pertiwi ini yang tak tercemar olehnya. Dalam hal apapun dan di bidang apapun. Ketika seluruh bangsa berduka dan mrnggalang bantuan untuk meringankan beban masyarakat yang tertimpa musibah tsunami tahun 2004 lalu, ada saja yang masih tega menguntil. Bahkan korupsi-kolusi-nepotisme tetap berlangsung pada kegiatan suci untuk melayani masyarakat yang berniat menunaikan ibadah haji, rukun Islam kelima yang menjadi mimpi hampir seluruh umat muslim untuk berkesempatan menjalani sebelum menutup mata selamanya.

Seperti kehadiran sambal dan rempah-rempah pada berbagai sajian kuliner Nusantara, begitu banyak kegiatan dan usaha di republik yang kita cintai ini terasa hambar tanpa keberadaan korupsi-kolusi-nepotisme.

Maka sangatlah wajar jika pengaruhnya telah terpapar luas dimana-mana dalam bermacam tingkatan. Seperti pedasnya keripik Ma'icih. Maka ketika kehadiran korupsi-kolusi-nepotisme menjadi sungguh-sungguh terlarang --- seperti yang diperjuangkan Ahok dan segelintir tokoh-tokoh reformis sejati lainnya selama ini --- banyak yang merasakan kehidupannya menjadi hambar dan tak bergairah lagi. Disadari atau tidak, disengaja atau tidak, terang-terangan atau tidak, mereka kemudian mudah larut lalu terhasut untuk turut menuding sosok-sosok seperti Ahok sebagai biang keroknya. Pertama karena korupsi-kolusi-nepotisme sudah menjadi keniscayaan. Seperti kehadiran sambal dan rempah-rempah pada panganan tadi. Kedua karena hasil perbuatan yang semestinya haram itu telah menjadi bagian sejati nafas kehidupan. Seperti salah satu 'penjualan' yang menjadi bagian dari sumber pendapatan tetap pada perhitungan neraca dan laba-rugi. Bukan sebagai pendapatan lain-lain yang sesungguhnya tidak dipersyaratkan (relevan) oleh kehadiran asset maupun liability yang menjadi penopang utama suatu bisnis.

Sepak-terjang sosok seperti Ahok yang tak kenal kompromi telah membongkar sebuah kemapanan yang masif. Masalahnya, mereka yang telah terbiasa dan menikmati, tak semua dan tak mudah menyadari perlunya bertransformasi. Melakukan perubahan total. Pada sikap, cara pandang, prilaku, dan pola aktivitas.

Adalah mustahil menyesuaikan kebiasaan yang salah untuk melakukan dan mencapai yang benar. Setidaknya teramat sulit.

Mereka yang selama ini tak pernah (peduli) mempertanyakan asal-usul rezeki yang diperoleh, sangat mungkin ikut terganggu. Walaupun tak turut langsung melakukan kebiadaban korupsi-kolusi-nepotisme, tapi mungkin telah terlanjur menggantungkan nasib pada pembelanjaan yang bersumber darinya.

Maka sungguh wajar dan mudah dimengerti jika fitnah maupun kebohongan  --- meski nyata-nyata secara substansial tak berkait dengan penyakit laten yang menjadi musuh bersama yang sedang dibasminya --- begitu gampang menyulut kemarahan dan kebencian mereka padanya.

Mereka memang harus dipimpin untuk berubah. Sayangnya, terlalu banyak musuh yang meyakini kebaikan syahwat korupsi-kolusi-nepotisme yang terus melakukan perlawanan dan mengupayakan segala cara mempengaruhi mereka untuk setia dan menolak perubahan.

--- Ketiga adalah mereka yang hingga kini tetap menjadi obyek penderita.

Sebagian masyarakat memang belum beruntung. Dalam hal pendidikan, pengetahuan, modal, kesempatan, jaringan, lingkungan dan akses. Jadi, tak semata karena kemalasan atau kesalahan mereka. Mungkin sebagian adalah korban dari sistem yang timpang. Atau mereka masih belum beruntung karena termasuk dalam prioritas yang dikalahkan. Sebab negara ini memang sejak semula tertatih mengisi kemerdekaannya. Meski dikerubungi oleh bangsa dan modal yang tak sabar ingin menguasai dan mengeksploitasinya.

Di tengah kemiskinan dan segala anugerah sumber daya alam yang semula berlimpah ruah, pemimpin demi pemimpin pada dasarnya selalu berupaya mewujudkan mimpi-mimpi besar mereka tentang Indonesia dan Masa Depan. Tapi kemiskinan dan ketimpangan menyebabkan banyak pihak yang tak sabar. Lalu merongrong sehingga kompromi (politik) dianggap cara yang paling ampuh. Hanya sayangnya, semakin hari semakin bukan atas nama yang terbaik bagi semua. 

Yaitu demi bangsa dan negara. Kompromi justru sekedar jadi pembagian kekuasaan yang berujung pada kendali pada sumber-sumber ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan pribadi dan kelompok. Itu sebabnya, hingga hari ini, partai dan kelompok politik merasa sangat berkepentingan untuk dapat menempatkan kader maupun simpatisannya pada kursi-kursi menteri dan pemimpin tertinggi lembaga-lembaga negara non kementerian, termasuk korporasi swasta yang dikuasai pemerintah. Keahlian dan profesionalitas bukan yang pertama dan utama.

Ketika Joko Widodo terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia ke 7 pun, ia tak mampu utuh memenuhi janji memilih dan menempatkan putra-putri terbaik, profesional, dan non partisan untuk mengisi jajaran pembantu terdekatnya. Sejarah telah mencatat sejumlah kader partai yang silih berganti mengisi posisi-posisi itu.

Sebagian masyarakat yang disebutkan kurang atau belum beruntung tadi, dari masa ke masa, memang lebih ditempatkan sebagai obyek penderita. Walaupun mungkin bukan suatu kesengajaan. Sementara ini mereka hanyalah bagian penting dari mimpi kampanye yang kerap terabaikan setelah proses pemilihan usai dan pemenangnya telah ditentukan.

Mereka memang cenderung bergantung nasib. Bahkan ada yang menganggap doa dan kepatuhan pada sang Khalik jauh lebih penting, dibanding upaya duniawi yang dilakukan sendiri, maupun bersama-sama pihak lain, untuk mengurai masalah dan mengupayakan pemecahannya.

Di kalangan penganut Islam yang merupakan agama mayoritas bangsa kita, propaganda negatif tentang garis turunan Tionghoa dan non Muslim, bagaikan ruas ketemu buku. Maka ketika kata-kata Ahok tentang surat Al Maidah 51 di Kepulauan Seribu dipelintir secara culas oleh Buni Yani, gelombang kebencian itu seolah menemukan momentumnya. Seketika bangsa ini lupa tentang akar soal korupsi-kolusi-nepotisme yang berkembang paling subur ketika Soeharto dan Golkar memegang tampuk kekuasaan tertinggi negeri ini selama 32 tahun. 

Mereka pun tak lagi mengingat kejadian ketika gelombang massa mencerca kesemena-menaan oknum FPI menggeruduk warung nasi yang berjualan siang hari saat Ramadan 2 tahun lalu. Bahkan berita foto dan percakapan cabul pemimpin organisasi massa Islam itu--- yang orasi dan dakwahnya kerap mendeskriditkan Ahok sambil menghina simbol-simbol republik kita --- dengan salah seorang jemaah wanitanya yang tersebar luas, tak mampu mengembalikan kesadaran mereka terhadap maksud baik dan upaya tak kenal lelah yang sedang dilakukan sang Gubernur DKI untuk memperbaiki keadaan.

Hasutan membenci Ahok begitu mudah menyebar. Melampaui batas geografis Jakarta hingga seantero Nusantara dimana mayoritas masyarakat pemeluk Islam berada. Sentimen keagamaan itu bahkan membuat mereka ringan langkah mengunjungi Jakarta untuk bergabung dalam protes yang sama sekali tak perlu jika dikaitkan dengan perang kita terhadap kebiadaban korupsi-kolusi-nepotisme.

Seperti kesetanan, kebencian itu bahkan berkembang sedemikian rupa hingga muncul himbauan untuk tak menyembahyangkan jenazah mereka yang nyata-nyata memberikan suara dan dukungannya kepada Ahok. Mereka sesungguhnya telah melakukan hal yang 'lebih PKI dari PKI sendiri'.

Mereka yang selama ini --- bahkan mungkin sebagian besar hingga sekarang masih --- diperlakukan sebagai obyek penderita tersebut memang rentan terhasut jika menyangkut agama dan keimanan. Celakanya, tak sedikit tokoh berpengaruh dan pemuka agama oportunis yang terang-terangan pula memanipulasinya. Lihatlah euforia yang mereka pertontonkan dalam memperingati Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR) bersama keluarga tokoh sentral Orde Baru itu di masjid yang terletak di Taman Mini tadi malam. Padahal, sampai hari ini, kejelasan salinan surat yang ditanda tangani Soekarno dan digunakan Soeharto mengambil alih kekuasaan tertinggi negara setengah abad yang lalu itu, tak pernah jelas keberadaannya.

Jadi, bagi mereka yang selama ini sekedar menjadi obyek penderita, korupsi-kolusi-nepotisme itu mungkin hanya drama kekuasaan. Bisa jadi mereka menganggap langkah-langkah Ahok sekedar sandiwara. Sebab dengan nalar sederhana mereka sering menyaksikan licinnya kelompok tertentu menghindar dari jerat hukum. Seperti kasus 'Papa Minta Saham' yang menyeret nama Setya Novanto beberapa waktu lalu. Tak lama kemudian dia mundur dari jabatan Ketua DPR tapi beberapa waktu kemudian, setelah berhasil meraih kursi ketua partainya menganggantikan Aburizal Bakrie, dengan mudah dia mengambil alih lagi posisi Ketua DPR RI. Jika kini nama mantan model di Surabaya itu kembali mencuat dalam super mega korupsi e-ktp, mungkin mereka akan menghadapinya dengan skeptis.

Mungkin terlalu menyederhanakan jika dikatakan mereka telah menganggap persoalan dunia di Indonesia ini sudah selesai. Maksudnya, bagi mereka, pemimpin demi pemimpin sesungguhnya hanya berbicara omong kosong. Kualitas dan kondisi kehidupan mereka sesungguhnya dirasakan tak beranjak membaik. Bahkan tak sedikit yang merasa lebih baik ketika Soeharto masih berkuasa sehingga ada saja yang menyebar meme, membuat poster, ataupun gambar dan tulisan di belakang truk yang berbunyi 'Enak Zamanku Toh?'. Soeharto pun tersenyum di sana.

Maka merekapun hanya berharap pada kekuasaan Tuhan untuk mengubah keadaan. Melalui doa-doa dan dzikir-dzikir. Minus kerja keras, pemikiran, dan upaya duniawi yang sungguh-sungguh. Oleh karena itu, siapa pun yang mereka percaya 'bukan termasuk umat' dari kalangan yang beriman sama, dianggap musuh dalam selimut. Dipandang sebagai penghalang Tuhan mengabulkan doa-doa mereka.

--- Epilog.

Salah satu kerugian sistem demokrasi yang kita anut hari ini --- yang mengandalkan perolehan suara terbanyak seperti suara Tuhan karena sifatnya yang menentukan --- adalah tentang keberimbangan kualitas pemilih.

Sebab, pilihan dan penolakan yang terjadi --- seperti yang ditengarai akan dilakukan ketiga kelompok musuh Ahok yang diuraikan di atas --- sangat mungkin dipengaruhi pertimbangan-pertimbangan subyektif yang jauh melenceng dari kebutuhan bangsa kita yang paling hakiki. Menyimpang jauh dari arah perbaikan, pembenahan, dan perjuangan yang dicita-citakan bersama. Memberantas praktek kotor korupsi-kolusi-nepotisme. Sebagaimana yang dikumandangkan tokoh-tokoh yang mengawal lahirnya Gerakan Reformasi 1998 lalu. Sayangnya kebersamaan mereka kurang bersungguh-sungguh dan malah terjebak memperebutkan kekuasaan diantara mereka sendiri sehingga kekacauan terus berlarut-larut hingga sekarang ini.

Sebetulnya, Soeharto pun bercita-cita sama ketika berhasil mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, sang Proklamator Kemerderkaan RI yang menjadi Presiden pertama kita. Sayangnya ia berkhianat.

Apakah Ahok harus menyerah saja?

Sama sekali tidak!

Dia harus tegar menjalankan amanah rakyat sebagaimana yang dilakukannya sekarang dan selama ini.

Bahwa ternyata kemudian penggalangan sentimen negatif karena garis turunan Tionghoa dan statusnya yang non-Muslim mampu menjatuhkan dan mengalahkannya dalam pemilihan Gubernur DKI putaran kedua bulan mendatang, itu adalah soal lain.

Mungkin bagi mereka, kepahitan akibat pemerintahan yang salah urus selama ini, masih dirasakan belum cukup. Insya Allah, kelak mereka akan menyadari kekeliruan memperturut emosi subyektifnya dalam menentukan pilihan di bilik suara, seandainya Ahok kalah.

Tapi saya tetap berharap, Allah SWT menurunkan hidayah Nya sehingga membuka mata hati dan fikiran mereka untuk memilih Ahok, agar dapat menuntaskan kerja dan perjuangannya mengantarkan kehidupan Jakarta dan masyarakatnya menjadi lebih baik. Menciptakan preseden standar pelayanan pemerintah kota sehingga kelak penerusnya dipaksa untuk minimal menyajikan yang sama. Juga di daerah-daerah lain di seluruh Nusantara.

Jilal Mardhani, 12-3-2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun