Ada luka yang mengajarkan manusia untuk berhati-hati, tetapi ada juga luka yang menjadikan hati seperti tanah yang enggan lagi menerima hujan.
Wanita yang pernah dikhianati, yang hatinya pernah dipatahkan seperti kaca yang jatuh ke lantai dingin, sering kali kehilangan kepekaan terhadap ketulusan pria setelahnya. Mengapa demikian?
Rasa sakit bukan sekadar peristiwa; ia adalah jejak yang tertanam di jiwa. Seperti api yang membakar tangan hingga meninggalkan bekas, luka emosional juga meninggalkan jejaknya, tidak selalu terlihat, tetapi terasa di setiap detik kehidupan.
Hati yang pernah terbuka sepenuhnya, memberi kepercayaan tanpa syarat, kini berdiri di antara tembok-tembok tinggi yang dibangun oleh kehati-hatian dan ketakutan.
Ketika seorang wanita tersakiti, ia belajar bahwa cinta yang murni bisa berubah menjadi belati yang menikam dari belakang.
Kepercayaan yang dulu seperti sungai yang mengalir tanpa ragu, kini menjadi danau yang beku, tak lagi membiarkan siapa pun menyelaminya dengan mudah.
Setiap janji yang terdengar tulus terasa seperti gema dari kebohongan masa lalu. Ia bukan tidak ingin percaya, tetapi ia telah melihat bagaimana kata-kata manis bisa bermetamorfosis menjadi pisau bermata dua.
Analogi terbaik untuk memahami ini adalah kaca yang pecah. Sekalipun direkatkan kembali, ia tidak akan pernah sama. Ada celah yang tetap terlihat, ada fragmen yang tak lagi utuh.
Begitu pula hati yang telah dikhianati. Setiap kali ada seseorang yang mencoba menyentuhnya, rasa takut akan pecah kembali selalu lebih besar daripada harapan untuk sembuh.
Lebih dari itu, luka yang dalam sering kali melahirkan skeptisisme. Wanita yang telah merasakan bagaimana kepercayaan dikhianati mulai melihat dunia dengan kacamata berbeda.
Ia menjadi lebih waspada, lebih analitis, dan lebih sulit percaya. Bukan karena ia tak ingin dicintai lagi, tetapi karena ia tidak ingin jatuh ke dalam jurang yang sama.