Tapi sungguh, aku penasaran dan akan lebih menyenangkan bila Ulis menjawab: iya.
***
"Apa kamu masih menungguku?"
Gila. Pertanyaam macam apa itu?? Bodoh. Dhani bodoh. Mengapa mempertanyakan hal itu? Apa dia akan menertawakan aku bila nyatanya aku masih menunggunya? Atau dia ingin melihat betapa menyedihkannya aku??
Aku menatap kembali cangkir putih berisi moccacino yang kupesan. Sudah habis setengah. Perlahan aku menghembuskan nafas.
"Dhan." Panggilku.
"Sekali aku berkata bahwa aku menunggu, sepertinya hingga aku menemukan titik bahwa menunggu bukan lagi hal yang harus aku lakukan, akan kusadari hal itu. Perasaan juga harus diselaraskan dengan logika bukan? Tetapi lebih tepatnya, aku tidak mencari siapapun kali ini. Aku membiarkan diriku ditemukan oleh seseorang, entah siapapun itu. Yang pasti bila padanya, hatiku akan terbuka. Bukankah kau sendiri tau, aku bukan tipe orang yang akan mudah membuka hati."
Dhani diam. Tiga detik lamanya ia terdiam. Sementara aku berusaha menata kembali hatiku. Aku yakin suaraku bergetar ketika aku mengatakan kalimat yang panjang itu.
"Lalu bisakah aku kembali pulang?"
Pertanyaan Dhani begitu singkat. Tapi entah bagaimana aku sulit mencari jawabannya. Tiba-tiba mulutku terkunci. Aku merasa sedang dipermainkan oleh Dhani. Meski di sisi lain, aku berharap Dhani menyadari apa yang baru saja ia tanyakan kepadaku membuatku tenang.
"Kamu tau kan, hanya Tuhan yang Maha Mengetahui apa-apa yang terbaik untuk umatNya? Kita ini hanya manusia yang berencana, Dhan, Tuhanlah yang menetukan. Syukur bila kehendak Tuhan sesuai dengan rencana kita. Kamu sendiri kan yang pernah bilang seperti itu padaku. Aku belum bisa menemukan jawaban dari apa yang kamu tanyakan saat ini. Boleh kita membiarkan Takdir menjalankan tugasnya saja?"