Mohon tunggu...
Jihan Agnel
Jihan Agnel Mohon Tunggu... Penulis - Your secret writer

You matter. No matter what.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kembali Pulang

2 Desember 2018   18:57 Diperbarui: 2 Desember 2018   19:51 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Anak kecil itu duduk tepat di depan barang-barang elektronik yang dipajang dalam display toko. Orang-orang yang berada dalam mall ini melewatinya dengan tatapan iba sekaligus merasa gemas dengan tingkahnya. Anak kecil itu mulai menangis dan berteriak seperti orang kesurupan. Gaun merah muda yang sudah dipasangkan oleh ibunya mulai kusut. Pita di atas rambut anak kecil itu dicopot oleh dirinya sendiri dan dilemparkan, jatuh tepat di hadapanku.

Aku memungut pita itu dan berjalan perlahan menuju anak kecil beserta ibunya yang kelimpungan menghadapi sikap anaknya. Perasaan malu, kesal, bingung, pasti bercampur aduk dalam pikiran dan hati ibu ini. Aku sudah berada di samping ibu dari anak kecil yang menangis itu. Tiba-tiba ia mencubit lengan anaknya. Aku sedikit terkejut melihat perlakuan sang ibu. Hendak memberitahu bahwa tidak perlu sampai mencubit, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk menasihati. Lagipula siapa aku berani-beraninya menasihati orang asing?

Akhirnya anak itu digendong dari depan toko dan dibawa ke lantai atas tempat foodcourt. Sementara aku terpaksa mengikuti ibu dan anak itu, sebab sepatu anak kecil yang menangis tadi terjatuh tepat di hadapanku dan pita rambut anak itu masih dalam genggamanku.

Ibu itu duduk di samping anaknya yang sudah tenang, tidak menangis lagi. Aku sendiri duduk tepat di hadapan ibu dan anak tadi. Kami berada di sebuah foodcourt dalam mall ini. Suasana agak canggung antara kami. Aku tersenyum melihat anak kecilnya yang memakan kentang goreng dan potongan ayam goreng di hadapanku. Sebaliknya ia justru menghindari tatapanku ketika aku tesenyum padanya.

"Duh, maaf ya mbak jadi ikut-ikutan ke sini. Dimakan itu ayamnya"

Ibu itu membelikan ayam goreng dan kentang goreng untukku juga, menu yang sama dengan anak kecil itu.

"Makasih ibu, jadi ngerepotin"

"Justru saya yang makasih, pitanya udah dibawain, sepatunya juga udah dibawain. Makasih ya mbak"

Aku tersenyum ramah. Sejujurnya aku memang sedang lapar tetapi karena kesan pertama itu penting, aku makan ayam gorengnya sedikit demi sedikit. Meskipun pada akhirnya ayam goreng ini habis juga. Kami makan dengan diam, aku sebetulnya ingin bertanya mengapa anak kecil itu menangis di depan toko elektronik?  Namun dengan beberapa pertimbangan, awalnya aku urungkan niatku untuk bertanya. Tetapi mulut dan otak nampaknya sedang tidak akur.

"Kalau boleh tau kenapa tadi si adek menangis, bu?" Pertanyaan itu melepas begitu saja dari mulutku.

"Itu, gara-gara dianya mau beli kipas angin. Padahal di rumah udah ada cuma dia mau yang warna pink, kecil, ada gambar hello kitty. Lucu katanya."

"Ooh..." Anak kecil  itu memukul lengan atas ibunya pelan sembari menatapku malu. Matanya bulat kecil dengan bibir yang mungil. Bila boleh ditebak, umurnya sudah menginjak usia 5 tahun. Anak yang cantik dan juga menggemaskan.

Ibu dan anak kecil itu pamit pergi lebih dahulu, aku juga berkata akan melanjutkan pergi menuju sebuah toko buku di dalam mall itu. Kami berpisah dan aku melanjutkan perjalananku. Mendekati toko buku, langkahku terhenti di depan toko elektronik tempat anak kecil tadi menangis. Dari luar aku melihat kipas kecil berwarna pink dengan stiker hello kitty. Aku diam dan tersenyum melihat kipas itu sampai aku melihat seseorang berjalan keluar dari toko itu. Nafasku tercekat ketika melihatnya. Dhani.

***

Dhani diam, terpana, tidak percaya dengan seseorang yang sedang berdiri di hadapannya saat ini. Ulis. Seorang perempuan yang dulu sering menemani perjalanannya di dalam kereta. Seorang perempuan yang pernah berkata untuk menunggunya namun ia meminta untuk tidak pernah menunggunya. Seorang perempuan yang menginginkan pertemuan kembali dengannya tetapi tidak pernah ia janjikan akan terjadi pertemuan lagi.

Lalu kini, detik ini, Dhani melihat sosok perempuan itu. Dirinya seakan berada dalam ambang khayalan dan realita yang sebenarnya. Sepasang mata dari perempuan itu masih menatap Dhani. Ia tau dengan pasti, mata itu berbicara untuk mendekatinya. Mata yang telah lelah menanti dan hampir menyerah. Mata yang seakan akan menertawakan realita dan khayalan nyatanya sudah tidak bisa dibedakan lagi.

Dhani berjalan perlahan mendekati Ulis yang dibalut dengan dress hitam selutut, legging hitam, jaket jeans biru, kerudung coklat juga flat shoes coklat andalan Ulis. Sudah lama sekali aku tidak melihat sosok yang dapat menenangkan hati seketika. Sosok yang padanya rindu tertanam begitu kuat namun aku kubur dalam-dalam. Seolah rindu itu tidak pernah ada.

"Hai" Ucapku meneliti wajah Ulis. Banyak perubahan, pipinya lebih merona dan bibirnya lebih merah dari biasanya.

Ulis tersenyum. Senyuman yang masih aku kenal hingga saat ini.

"Hai"

Ada canggung yang hebat tercipta diantara kami. Lenganku menggapai bagian leher belakang sembari otakku memikirkan bahan pertanyaan yang harus aku lontarkan kepada Ulis. Cukup banyak pertanyaan sebenarnya. Otakku mulai bekerja untuk memilah pertanyaan apa yang harus dilontarkan saat ini. Sedang apa? Bersama siapa? Ada kepentingan apa? Mengapa di Jakarta? Sudah makan? Rasanya keringat dingin mulai menjalar di punggungku.

"Ini, tokomu?" Ulis bertanya kepadaku lebih dahulu.

Aku menjadi malu dengan kegagapan yang menyergapku kali ini.

"Oh, iya. Ini toko milikku dan kakakku"

Sial, aku hanya bisa membalasnya sekian kata. Mulutku seolah terkunci. Nafasku tidak teratur. Otakku bekerja tidak karuan. Pertanyaan apa yang baiknya aku lontarkan kepada Ulis kini?

" Kamu, dengan siapa ke sini?" Hanya itu yang terpikirkan olehku.

Ulis lagi-lagi tersenyum padaku. "Sendirian"

"Sudah makan?"

"Sudah, baru saja."

"Mau minum kopi denganku?"

"Kopi? Boleh"

Seakan ada angin sejuk melewatiku relung di hatiku. Sudah lama aku tidak bercengkrama dan minum kopi dengannya.

***

Dhani menawariku untuk meminum kopi bersamanya. Kami berjalan menyusuri jalanan di dalam mall ini menuju lantai bawah tempat cafe kopi berada. Degupan jantungku sangat tidak karuan saat ini. Aku hanya berharap agar Dhani tidak menyadarinya. Semoga aku bertingkah selayaknya seorang teman di hadapan Dhani. Tunggu, memang kami hanya teman, bukan? Tidak pernah lebih. Teman dalam perjalanan di kereta api yang memutuskan jalan hidup masing-masing dan terpisah. Selain terpisah oleh jarak, kami juga dipisahkan oleh komunikasi. Aku segan bertanya duluan kepadanya bagaimana kabarnya, begitu pula ia tidak pernah bertanya kabarku. Bukankah jarak terjauh dari dua insan manusia ialah ketika tidak ada lagi komunikasi yang tercipta Antara mereka?

Mungkin ia tidak pernah mengkhawatirkanku. Mungkin pula hanya aku yang terus memikirkannya selama ini. Dhani tampak tidak begitu antusias ketika bertemu denganku, padahal air mataku hampir terjatuh begitu melihat sosoknya. Antara tidak percaya dan rasa senang menyatu hebat dalam hatiku. Tapi semuanya runtuh ketika Dhani hanya sebatas menyapaku dan harus aku duluan yang bertanya padanya. Bila nyatanya benar aku hanya sebatas teman bagi Dhani, baru kini aku benar-benar sadar akan kebodohanku.

Dalam perjalanan menuju cafe, aku mencuri pandang kepada Dhani. Guratan wajahnya masih sama seperti satu tahun yang lalu. Tepatnya di atas kereta menuju Bandung. Perjalanan bersama terakhir bagi kami. Karena aku akan menetap selamanya di Bandung sedangkan Dhani akan kembali lagi ke Jakarta.

"Aku akan tunggu kamu, Dhan." Ucapku kala itu. Di atas kereta kelas ekonomi ac menuju Bandung, malam hari, tepatnya pada malam minggu.

"Jangan tunggu aku, lama. Kamu layak mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Aku entah kapan akan kembali lagi ke Bandung."

Mata Dhani kala itu tampak berkaca-kaca, ia menatapku seolah mengisyaratkanku untuk membiarkannya pergi. Agar ia dapat menata kembali kehidupannya.

Aku paham dan tidak dapat berkata-kata lagi. Aku berbalik menghadap ke kaca kereta, menangkan segala yang berkecamuk dalam hati. Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Air mataku sudah jatuh, cepat aku hapus sebelum Dhani menyadarinya.

Aku berbalik kembali menatap Dhani dengan wajah penuh khawatirnya.

"Baik, terima kasih atas selama ini. Semoga cita-citamu untuk membuka toko peralatan elektronik dimudahkan. Sekali lagi, terima kasih sudah selama ini sudah mau menjadi teman perjalananku selama di kereta."

Dhani tersenyum tetapi air matanya menetes. Ia langsung menyembunyikan wajahnya dengan topi hitam miliknya. Rasanya aku ingin memeluk Dhani, tapi aku sadar ruang, kami sedang berada di tempat umum. Berpasang-pasang mata sedang mengawasi gerak  gerik kami.

Aku biarkan Dhani untuk menenagkan dirinya. Sisa perjalanan menuju Bandung kami habiskan dengan diam. Aku terus menatap ke kaca kereta sementara Dhani entahlah, sedang apa dia. Aku tidak berani menatapnya setelah itu.

Kereta sudah tiba di Bandung, aku bersiap membawa barangku. Tidak banyak, hanya satu buah tas ransel dan beberapa kantung plastic berisi makanan yang rencananya hendak aku makan bersama Dhani. Aku dan Dhani keluar dari gerbang kereta beriringan dengan diam. Otakku sedang mencerna baik-baik kalimat Dhani di dalam kereta tadi, jangan tunggu aku, kamu layak menadapatkan kehidupan yang lebih baik. Tanpa sadar aku menghela nafas dengan kuat.

Dhani mencubit pipiku.

"Aaw!" Aku langsung menatap Dhani sembari berjalan menuju pintu keluar. Dhani menatapku dengan mata yang merah.

"Jangan menghela nafas kayak gitu."

Aku tertegun mendengar perkataan Dhani, ternyata ia memperhatikanku.

Aku hanya tersenyum. Setibanya di pintu luar stasiun, aku mencoba mengeluarkan ponselku untuk menghubungi ayahku dann memintanya datang menjemput. Tetapi Dhani menghalau tanganku untuk meraih ponsel.

"Temenku dateng berdua ke sini dengan motor, aku bakal pake satu motornya. Jadi kamu jangan telepon ayah kamu untuk jemput ya. Aku aja yang anterin kamu pulang, untuk terakhir kalinya."

Lututku lemas seketika mendengar ucapannya tetapi aku harus tetap berdiri kokoh. Terakhir kalinya. Aku harap ini mimpi.

***

Ulis memesan moccacino kesukaannya. Jantungku masih berdebar setiap kali berada di sisinya. Apa dia sadar itu? Tetapi ia tampak begitu tenang. Barangkali ia tidak seantusias perasaanku kali ini. Wajar saja, sudah setahun berlalu. Sudah pasti ada beberapa lelaki yang ia temui, mungkin ada juga yang mengajaknya untuk berhubungan serius. Aku ingin tau segala tentangnya kali ini tapi aku tahan. Belum saatnya, kami baru saja bertemu kembali.

"Kamu di Jakarta, ada keperluan apa lis?"

Ulis mengangkat wajahnya setelah menyeruput moccacino dalam cangkir putih. Lagi-lagi ia tersenyum, senyum yang tetap memabukkan untukku.

"Aku mau ketemu sama narasumber, mau aku wawancarai."

"Oh iya, kamu sekarang wartawan di Koran ya?"

Ulis menjawab pertanyaanku dengan anggukan tanpa membalasnya dengan perkataan. Aku mati gaya seketika dan memilih untuk meneguk cappuccino yang aku pesan.

Aku menatap kembali wajah Ulis dan teringat saat pertama kali kami bertemu. Di sebuah kereta arah statsiun gambir dari stasiun Bandung. Dua orang asing yang akhirnya menjadi dekat karena duduk bersebelahan dan menghabiskan waktu sepanjang perjalanan dengan obrolan yang menyenangkan. Ulis dulu bekerja di sebuah perusahaan provider Indonesia sementara aku bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi di Indonesia.

Lalu kami memutuskan untuk memilih kehidupan yang sesuai dengan minat kami. Aku ingin merintis bisnis bersama dengan kakakku sementara Ulis akan mengejar cita-citanya menjadi seorang jurnalis. Kami cukup dekat selama kurang lebih 3 bulan. Setiap minggunya kami bertemu di kereta, menghabiskan waktu bersama, dan diam-diam sebuah perasaan menyelimuti hatiku hangat

Namun aku sadar, kami tidak bisa seperti ini terus dan aku tidak ingin memenjarakan Ulis dalam kehidupan yang belum bisa aku janjikan. Sempat aku mengutuk Tuhan mengapa mempertemukan kami bila akhirnya harus aku relakan perpisahan antara kami terjadi.

"Ulis." Panggilku.

Ia mengangkat kepalanya, menghadapku dengan rasa penasaran.

"Apa kamu masih menungguku?"

Gila. Pertanyaan macam apa itu?? Tolol. Mengapa aku bertanya seperti itu??

Tapi sungguh, aku penasaran dan akan lebih menyenangkan bila Ulis menjawab: iya.

***

"Apa kamu masih menungguku?"

Gila. Pertanyaam macam apa itu?? Bodoh. Dhani bodoh. Mengapa mempertanyakan hal itu? Apa dia akan menertawakan aku bila nyatanya aku masih menunggunya? Atau dia ingin melihat betapa menyedihkannya aku??

Aku menatap kembali cangkir putih berisi moccacino yang kupesan. Sudah habis setengah. Perlahan aku menghembuskan nafas.

"Dhan." Panggilku.

"Sekali aku berkata bahwa aku menunggu, sepertinya hingga aku menemukan titik bahwa menunggu bukan lagi hal yang harus aku lakukan, akan kusadari hal itu. Perasaan juga harus diselaraskan dengan logika bukan? Tetapi lebih tepatnya, aku tidak mencari siapapun kali ini. Aku membiarkan diriku ditemukan oleh seseorang, entah siapapun itu. Yang pasti bila padanya, hatiku akan terbuka. Bukankah kau sendiri tau, aku bukan tipe orang yang akan mudah membuka hati."

Dhani diam. Tiga detik lamanya ia terdiam. Sementara aku berusaha menata kembali hatiku. Aku yakin suaraku bergetar ketika aku mengatakan kalimat yang panjang itu.

"Lalu bisakah aku kembali pulang?"

Pertanyaan Dhani begitu singkat. Tapi entah bagaimana aku sulit mencari jawabannya. Tiba-tiba mulutku terkunci. Aku merasa sedang dipermainkan oleh Dhani. Meski di sisi lain, aku berharap Dhani menyadari apa yang baru saja ia tanyakan kepadaku membuatku tenang.

"Kamu tau kan, hanya Tuhan yang Maha Mengetahui apa-apa yang terbaik untuk umatNya? Kita ini hanya manusia yang berencana, Dhan, Tuhanlah yang menetukan. Syukur bila kehendak Tuhan sesuai dengan rencana kita. Kamu sendiri kan yang pernah bilang seperti itu padaku. Aku belum bisa menemukan jawaban dari apa yang kamu tanyakan saat ini. Boleh kita membiarkan Takdir menjalankan tugasnya saja?"

Dhani tersenyum. Aku harap ia mengerti dengan perkataanku. Bahkan pertemuan kami kali ini pasti sudah direncanakan dengan baik oleh Tuhan. Dimulai dari tangisan anak kecil yang pita rambutnya jatuh di hadapanku. Bila itu tidak jatuh di hadapanku, mungkin aku tidak akan berhenti di depan toko Dhani dan bertemu dengannya. Bukankah Tuhan itu Maha Asyik? Aku sungguh penasaran apa yang akan terjadi di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun