Sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD), saya sudah ingin memiliki sepeda. Awalnya saya tertarik pada sepeda setelah melihat beberapa teman mengayuh sepeda di kampung halaman.Â
Syukur, lewat sepeda mereka, saya juga bisa belajar naik sepeda. Keinginan yang kuat membuat proses belajar lebih menyenangkan. Tidak butuh waktu yang lama, akhirnya saya bisa naik sepeda dengan baik.
Harapan Palsu
Harapan untuk memiliki sepeda hampir terwujud ketika duduk di kelas lima SD. Saat itu, saya diutus sekolah menjadi salah satu peserta dalam lomba cerdas cermat bidang mata pelajaran agama. Ayah menjanjikan akan membelikan sepeda buat saya jika  saya bisa juara pada acara tersebut.
Lomba tersebut adalah lomba tingkat kecamatan yang diikuti oleh puluhan sekolah. Singkat cerita, tim dari sekolah kami yang diwakilkan tiga orang siswa, dinyatakan sebagai pemenang. Siapa pun pasti senang dapat mengharumkan nama sekolah dan juga mendapat hadiah dari panitia, tapi hadiah yang paling saya impikan adalah sebuah sepeda.
Dengan rasa bangga, saya pun menceritakan prestasi tersebut kepada ayah. Namun, ayah saya menanggapinya dengan dingin. Sepeda yang dijanjikan tidak pernah dikabulkan. Perasaan sedih menghampiri, tapi saya tidak pernah menagih janjinya setelah itu.
Saya juga tidak pernah menyinggung hal itu lagi dengannya. Saya tidak tahu, barangkali dia sudah lupa akan janjinya. Dan sebaiknya dia memang benar-benar lupa agar tidak ada perasaan bersalah. Namun bagi seorang anak yang tumbuh berkembang, pengingkaran janji itu sungguh mengecewakan.
Ketika duduk di bangku kelas enam SD, saya juga menerima harapan palsu. Saat itu ketika upacara bendera di sekolah, kepala sekolah menyampaikan bahwa saya akan menerima beasiswa karena prestasi. Beliau menyampaikannya di hadapan semua guru, penjaga sekolah, dan seluruh siswa.
Saya mendengar  informasi  nominal beasiswanya cukup besar sebagaimana yang diterima kakak kelas saya sebelumnya. Saya berencana uang beasiswa tersebut akan digunakan untuk membeli sepeda. Namun lagi-lagi, beasiswa tersebut tidak pernah saya terima. Beasiswa yang dijanjikan dalam acara resmi (upacara) dan disaksikan ratusan orang, ternyata tidak terwujud.
Harapan palsu dari ayah dan juga dari kepala sekolah SD tersebut benar-benar menyakiti perasaan seorang anak. Setelah itu, saya tidak pernah berharap lagi mendapat sebuah sepeda dari siapa pun.