Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Masa Jabatan Kepala Desa 9 Tahun, Praktik Nyata Merusak Demokrasi hingga Potensi Suburnya KKN

20 Januari 2023   17:31 Diperbarui: 23 Januari 2023   07:05 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kades dari seluruh Indonesia saat berkumpul di parkir timur Senayan, Jakarta, sebelum berangkat mendatangi gedung DPR RI guna menyuarakan aspirasi dan audiensi menuntut perpanjangan masa jabatan, Selasa (17/1/2023). Foto: Bahrul Ghofar/Kompas.com

Tanggal 17 Januari 2023, para Kepala Desa (Kades) berdemonstrasi didepan Gedung DPR RI untuk memberikan aspirasi secara langsung. Salah satu yang menarik perhatian adalah tuntutan agar masa jabatan kepala desa diubah dari 6 tahun menjadi 9 tahun dalam satu periode. 

Tuntutan tersebut mendapat sambutan baik dari semua pihak, terutama DPR RI. DPR RI bahkan langsung memasukkan gagasan ini kedalam prolegnas 2023. Pihak eksekutif juga menyambut baik tuntutan para kepala desa ini, sebagaimana Presiden Jokowi, Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal juga memberi respon yang positif agar segera dibahas di meja Legislatif.

Sebagaimana tertuang dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa pasal 39 yang menyatakan bahwa satu periode kepala desa adalah 6 tahun, para kepala desa menganggap jika masa jabatan ini terlalu singkat untuk memaksimalkan masa pengabdian kepada desa yang dipimpinnya.

Beberapa berpendapat, kepala desa hanya efektif mengeksekusi program ditahun ketiga hingga tahun keempat. Tahun pertama dan kedua disibukkan dengan konsolidasi. Menjelang selesai masa jabatan, Desa disibukkan dengan berbagai kegiatan yang non teknis atau tidak berkaitan dengan pembangunan desa secara langsung, misalnya mulai dari pemunculan tokoh-tokoh yang akan bertarung untuk pemilihan kepala desa (Pilkades) berikutnya, kampanye, dll.

Padahal, sebenarnya jika kita melihat masa jabatan kepala desa itu sangat lama meski tetap menggunakan UU yang lama dimana kepala desa boleh menjabat selama 3 periode berturut-turut atau tidak berturut-turut. Ini artinya, seorang kepala desa berpotensi memegang kekuasaan hingga 18 tahun, hampir 4 periode kekuasaan seorang Presiden di Indonesia.


Masa jabatan 9 tahun jelas akan lebih lama lagi. Bila tidak ada perubahan soal jumlah periode (tetap memakai 3 periode), maka seorang kepala desa berpotensi memegang kekuasaan di desa hingga 27 tahun lamanya, hampir setara dengan rezim orde baru. Dampak positifnya? Tentu ada. 

Stabilitas politik dan sosial di desa menjadi jaminannya, apalagi jika pengemban amanah berintegritas dan mendapat kepercayaan tinggi dari masyarakat karena kinerjanya yang nyata, maka gejolak dan masalah sosial bisa diminimalisir di desa tersebut.

Yang kini jadi pertanyaan adalah, apakah ada dampak negatifnya? Tentu sangat banyak. Desa adalah unit terkecil dari sebuah negara, dimana disanalah proses demokrasi berlangsung sesuai dengan prinspinya yaitu Jujur, Adil, Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia. 

Meski unit dan perangkatnya kecil, desa justru berpotensi besar merusak esensi demokrasi hingga menjadi bagian dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) itu sendiri, walau kadarnya kuantitasnya dibanding dengan apa yang terjadi di level Kabupaten, Provinsi hingga Pemerintah Pusat.

Kepala Desa se-Indonesia demontrasi didepan Gedung DPR RI, Senayan pada 17 -01- 2023. Sumber: tvonenews.com
Kepala Desa se-Indonesia demontrasi didepan Gedung DPR RI, Senayan pada 17 -01- 2023. Sumber: tvonenews.com

Praktik Nyata Merusak Demokrasi

Menambah masa jabatan Kepala Desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun adalah salah satu upaya merusak esensi demokrasi itu sendiri. Bahkan, 6 tahun saja sebenarnya sudah tidak fair karena Presiden sekalipun hanya memperoleh masa jabatan 5 tahun saja setiap periodenya. 

Masa jabatan 6 tahun saja sudah menjadi sebuah keistimewaan bagi seorang kepala desa, karena dipangkuan merekalah amanat rakyat terlama serepublik ini dipercayakan padahal wilayah otonomi dan administrasi mereka adalah yang paling kecil sehingga tanggungjawabnya tentu tidak sebesar kepala daerah yang diatasnya. Masa jabatan 6 tahun bahkan sudah tidak sesuai lagi dengan konstitusi karena semua jabatan kepala daerah hasil pemilihan langsung diatur hanya 5 tahun saja.

Wacana 9 tahun masa jabatan seorang kepala desa juga memperkecil ruang demokrasi bagi desa itu sendiri sehingga meminalisir lahirnya pemimpin-pemimpin baru yang cakap di desa, terutama golongan anak muda. Bagaimana tidak, seorang anak muda yang dinilai punya kemampuan yang cakap dalam memimpin harus menunggu setidaknya 9 tahun dan semaksimalnya 27 tahun jika petahana terpilih untuk 3 periode. 

Hanya hal-hal yang diluar dugaan saja pergantian kepala desa bisa cepat berlangsung, misalnya jika kepala desanya meninggal atau sakit, itupun jabatan pelaksana tugas itu biasanya akan dilimpahkan ke Sekretaris Desa (Sekdes). Padahal, anak muda adalah sumber kreativitas dan inovasi agar sebuah daerah bisa berubah lebih cepat.

Para kepala desa juga bisa saja meminggirkan aspirasi warga yang tidak mendukungnya pada saat proses pemilu sehingga pembangunan desa tidak bisa berjalan dengan maksimal. Hal ini merupakan hal yang sangat lazim terjadi di desa-desa, orang-orang yang tidak memilih kepala desa akan dinomorduakan oleh kepala desa tersebut, Semakin lama dia menjabat, maka semakin lama ketidakadilan semakin menganga.

Potensi menyuburkan praktek KKN

2 Mantan kades di Tasikmalaya ditahan polisi karena dugaan peyalahgunaan dana desa. sumber : kompas.com
2 Mantan kades di Tasikmalaya ditahan polisi karena dugaan peyalahgunaan dana desa. sumber : kompas.com

Kepala desa juga memiliki tanggungjawab besar untuk mengelola dana desa yang jumlahnya tidak sedikit. Era Presiden Joko Widodo, guyuran dana desa 500 Jutaan hingga 1 Miliar Rupiah setiap desa bukan jumlah yang sedikit. Jumlah ini satu sisi bisa mengakselerasi pembangunan desa, tetapi satu sisi jadi boomerang bagi Desa apabila dana desa tidak berada di tangan orang yang tepat.

Tidak sedikit pula kepala desa yang tertangkap korupsi akibat penyalahgunaan dana desa. Sejak 2012 hingga 2021 saja, KPK menyatakan bahwa sebanyak 686 kepala desa terjerat korupsi dana desa di 601 kasus.

Nilainya mungkin tak seberapa dibandingkan dengan pejabat di pusat yang korupsi. Tetapi 601 kasus korupsi jika diakumulasikan akan menjadi megakorupsi yang sangat besar, belum lagi yang tidak terdeteksi oleh KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Dalam beberapa kasus, bukan hal yang langka jika warga-warga desa menemukan peningkatan ekonomi yang tidak wajar terjadi pada kepala desanya.

Baru menjabat setahun, sudah bisa langsung membangun rumah mewah lengkap dengan kendaraan pribadinya. Uang dari mana? Apa benar hanya mengandalkan gaji dan usaha? Tentu ini sangat tidak masuk akal. Maka tak heran juga kita sering menemukan ada BUMDES yang terbengkalai, bangunan fasilitas umum yang tak terawat karena tidak ada niat dan sistem yang berkesinambungan untuk memastikan segala fasilitas yang dibangun terpelihara dengan baik

Suburnya praktek korupsi di desa-desa, sejalan juga dengan suburnya praktek Nepotisme. Hal yang lumrah terjadi di desa, mengangkat kerabat atau keluarga sebagai anggota perangkat desa. Seperti kita tahu, perangkat desa hanya diangkat berdasarkan surat rekomendasi dari Camat atas nama Bupati, dimana calon perangkat desa tersebut juga direkomendasikan atas permintaan kepala desa. Asal tidak melebihi batas umur 42 tahun, maka hal yang mudah bagi kepala desa untuk mengangkat kerabatnya menjadi perangkat desa untuk mengelola administrasi desa tersebut.

Pada Beberapa kasus lain, saat pendistribusian sembako dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang kerap kali menjadi masalah besar di desa. Sering terjadi pendistribusian bantuan dari pemerintah tidak dibagikan secara adil oleh kepala desa. Makanya, banyak kasus temuan dari Kemensos terutama saat Covid-19, pendistribusian Bantuan Sosial (Bansos) tidak adil dan merata di desa-desa.

Sering terjadi pembagian bansos yang mengutamakan kerabat dan keluarga sang kepala desa meski kerabat dan keluarganya tersebut tidak berkategori "layak" untuk menerima bantuan sosial sehingga warganya yang seharusnya menerima dengan kategori "layak" atau "miskin" tidak mendapatkan distribusi bansos. Ketidakadilan ini sangat sering terjadi di desa. Meskipun demikian, warga desa hampir sedikit yang mau protes karena kurangnya pemahaman prinsip keadilan dan keterbukaan (transparansi).

Dalam hal pendataan, kepala desa seringkali asal melaporkan data ke pemerintah pusat sehingga timbul kecemburuan sosial antar masyarakat penerima bansos dengan masyarakat yang tidak menerima bansos padahal merasa kurang mampu secara ekonomi. 

Hal ini juga yang membuat betapa lamanya proses up-date data penerima bansos karena banyak kepala desa yang memberikan data yang lama atau hanya memberi sedikit revisi tanpa survey sehingga bantuan-bantuan banyak yang tidak tepat sasaran.

Kebiasaan-kebiasaan tersebut diatas menjadi problem utama desa akan semakin menghambat pembangunan desa itu sendiri. Memang, bila desa ada ditangan orang yang berintegritas, maka desa tersebut akan konsisten lebih maju. Tetapi, pada prakteknya tidak banyak desa yang demikian. 

Apalagi dari alasan kepala desa yang demo, tahun ke enam sudah disibukkan dengan agenda politik, ini artinya tidak ada sistem yang baku yang terbangun didesa tersebut sehingga kala siapapun yang mendrive desa tersebut, akan selalu ada dijalur yang tepat.

Bila sistem yang baku dan benar sudah tercipta dengan baik disertai dengan pengawasan dari masyarakat itu sendiri, maka tidak ada lagi alasan bagi desa untuk memperpanjang masa jabatan. Masa jabatan 5 tahun untuk 1 periode lebih dari cukup. 

Bahkan, desa yang demokrasinya maju dan kualitas regenerasinya berjalan dengan baik, petahana mestinya harus rela memberi kursi kepada generasi berikutnya untuk memimpin desa tersebut. Desa juga membutuhkan regenerasi kepemimpinan agar desa tersebut bisa berinovasi dan beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Desa yang demokrasi dan regenerasinya maju biasanya akan menerapkan prinsip keterbukaan sehingga apapun program yang akan dijalankan, pencapaian dan tanggungjawab keuangan akan dipertanggungjawabkan kembali ke masyarakat melalui forum desa. Karena ruang lingkupnya kecil, kepala desa mestinya bisa melibatkan seluruh warga untuk menentukan program prioritas untuk dilaksanakan bersama.

Salah satu Hasil nyata dari kepala desa yang berintegritas, dewa wisata di Sumber Mujur, Lumajang. Sumber : nativeindonesia.com
Salah satu Hasil nyata dari kepala desa yang berintegritas, dewa wisata di Sumber Mujur, Lumajang. Sumber : nativeindonesia.com

Demokrasi yang maju didesa akan sekaligus memastikan bahwa desa adalah wadah terbaik bagi suksesnya demokrasi sebuah negara sebab desa merupakan wajah dari sebuah negara. Desa yang maju, demokratis, transparan dan memiliki regenerasi yang menjanjikan tidak menutup kemungkinan akan menjadi desa percontohan bagi desa lain seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat sebelumnya.

Mereka-mereka yang sukses membangun desanya menjadi desa mandiri, perlu juga diberi apresiasi khusus dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah agar semua desa berlomba-lomba menjadi desa yang maju, juga desa yang warganya bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun