Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

30 Juta UMKM Bangkrut, Lambatnya Stimulus Fiskal hingga Ancaman Krisis

9 September 2020   13:30 Diperbarui: 9 September 2020   19:44 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demi memertahankan usaha, Bengok Craft yang mengolah eceng gondok berubah menjahit masker. (Foto: KOMPAS.com/DIAN ADE PERMANA)

Pandemi Covid-19 membawa dampak besar bagi semua sektor kehidupan. Khususnya bagi sektor ekonomi, dampak Covid-19 sangat mengkhawatirkan karena sangat mempengaruhi pertumbuhan secara negatif. Tercatat, pada kuartal ke II tahun 2020, Poduk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tumbuh minus 5,32%. 

Jika trend pertumbuhan masih berada di angka minus untuk kuartal ke III, maka ekonomi Indonesia resmi masuk resesi seperti negara Inggris, Jerman, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Jepang dan negara-negara lainnya.

Salah satu sektor yang menyumbang besar terhadap PDB Indonesia adalah Sektor UMKM. Bayangkan, kontribusi UMKM terhadap PDB mencapai 61,41% per tahun 2019 atau sekitar 63 juta unit usaha UMKM. 3% atau 3,79 juta pelaku UMKM diantaranya memanfaatkan platform online untuk memasarkan produknya.

Berdasarkan Data Asosiasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), dari total 63 juta UMKM, 30 juta diantaranya mengalami kebangkrutan selama masa pandemi Covid-19. Kemudian terdapat 7 juta pegawai informal yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi karena unit usaha tidak lagi mampu membiaya gaji atau upah dan kesinambungan usahanya masing-masing.

Stimulus Fiskal yang Lambat

Selain karena faktor Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia yang mengakibatkan perlambatan ekonomi, bangkrutnya jutaan UMKM juga disebabkan oleh penyaluran bantuan dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional sangat lambat dan kurang mampu merangkul seluruh unit usaha UMKM. 

Pemerintah masih mengandalkan lembaga perbankan untuk menyalurkan insentif atau subsidi program, padahal bank kurang bersahabat dengan UMKM karena berbagai prosedural yang harus dilengkapi.

Prosedural tersebut memperlambat usaha para pelaku UMKM untuk memulihkan usahanya atau minimal menjaga usahanya agar tidak bangkrut. Pada sisi yang lain, bank sedang krisis kepercayaan kepada para pelaku UMKM dalam situasi pandemi untuk mengantisipasi gagal bayar cicilan bunga pinjaman.

Usaha yang dilakukan oleh pemerintah sebenarnya tidak main-main dalam mengendalikan dampak Pandemi Covid-19 terhadap UMKM. Pemerintah menggelontorkan pagu anggaran sebesar Rp 123,47 Triliun untuk stimulus UMKM. 

Anggaran tersebut dikuncurkan untuk subsidi bunga, insetif pajak PPh, kredit modal kerja baru, penempatan dana restrukturisasi dan pembiayaan investasi kepada koperasi. Tetapi hingga Agustus 2020, realisasi stimulus UMKM tersebut baru mencapai 36,6% atau sebesar Rp 52,09 Triliun.

Ilustrasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Sumber : Solopos
Ilustrasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Sumber : Solopos
Lambatnya penyerapan pagu anggaran menjadi masalah utama. Pada bulan Juli saja, realisasi anggaran hanya Rp 1 Triliun, kemudian pada bulan Agustus realisasinya bertambah hampir Rp 21 Triliun.

Untuk program subsidi bunga UMKM, pemerintah menggelontorkan anggaran sebesar Rp 35,28 Triliun dengan realisasi per Agustus 2020 baru mencapai Rp 2,55 Triliun. 

Untuk insetif pajak PPh final 0,5% yang ditanggung pemerintah dengan anggaran Rp 2,40 Triliun baru terealisasi Rp 320 Miliar hingga bulan Agustus. Kemudian anggaran untuk penjaminan kredit modal kerja baru untuk UMKM yang disalurkan melalui PT. Jamkrindo dan PT. Askrindo baru terserap Rp 51,84 Miliar dari Rp 6 triliun yang dianggarkan. Kemudian penempatan dana restrukturisasi sudah terserap Rp 41,2 Triliun dari pagu anggaran sebesar Rp 78,8 Triliun. 

Untuk pembiayaan investasi kepada Koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah, realisasinya sudah mencapai 100% dari 1 Triliun.

Selain bantuan diatas, pemerintah juga aktif mengalokasikan anggaran Kementerian/Lembaga senilai Rp 307 Triliun untuk dibelanjakan khusus produk koperasi dan UKM tetapi berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM penyerapannya masih rendah, baru berkisar antara 18-20%.

Kondisi UMKM yang memprihatinkan ini serta lambatnya stimulus fiskal semakin mempertegas multiplier effet bagi sektor makro ekonomi Indonesia. Jika setengah populasi UMKM hilang atau berhenti beroperasi, maka imbasnya akan dirasakan oleh perbankan, lembaga pembiayaan, pemerintah, asuransi, perusahaan berskala besar dan lain-lain. Ingat, hampir 96% sektor UMKM terhubung dengan lembaga keuangan formal.

Dari sektor lapangan kerja, UMKM merupakan unit yang mampu menyerap 96% tenaga kerja di Indonesia. Berdasarkan data BPS pada Februari 2020, total jumlah tenaga kerja di Indonesia mencapai 137,91 juta dimana sebanyak 133,7 juta terserap ke sektor UMKM. Dengan demikian, maka aka nada sekitar 67 juta tenaga kerja Indonesia harus kehilangan pekerjaan. Untuk sektor pengangguran itu sendiri, masalah ini masih disumbang oleh sektor UMKM, belum disumbang oleh sektor industri makro yang tentu menimbulkan masalah kompleks bagi perekonomian Indonesia.

Antisipasi Krisis

Pengangguran akan menjadi masalah serius karena banyaknya sektor usaha yang bangkrut. sumber : Tempo
Pengangguran akan menjadi masalah serius karena banyaknya sektor usaha yang bangkrut. sumber : Tempo

Pada kuartal III, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih diprediksi minus sebesar 1,1% oleh Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan mematok pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III menyentuh angka -2%. Meski mengalami perbaikan dari kuartal sebelumnya sebesar -5,32%, tetapi rendahnya stimulus terhadap UMKM menyebahkan rebound ekonomi di sektor UMKM tidak akan semudah di sektor makro.

Usaha mikro yang bangkrut tentu psikologisnya lebih parah dibanding dengan usaha yang hanya berhenti beroperasi sementara serta usaha yang hanya mengurangi beban operasional. 

Ini ibarat memulai kembali dari nol lagi untuk merangkak naik sementara semua sektor produksi berupa peralatan, perlengkapan hingga tenaga kerja sudah dalam kondisi tidak mumpuni lagi.

Faktor lain yang memperparah adalah belum ditemukannya vaksin Covid-19 membuat para pelaku usaha enggan untuk memutuskan kapan untuk memulai kembali terjun ke pasar. 

Meski sebagian sudah mulai merangkak, tetapi yang sudah terlanjur bangkrut masih relatif melihat kondisi psikologis apalagi peningkatan jumlah pasien Covid-19 sudah menyentuh angka 3.000-an per hari.

Per tanggal 8 September 2020 saja, angka positif Covid-19 sudah melewati angka 200.000. Pasar makin bingung, mau melanjutkan usaha, mengistirahatkan sementara atau mau tutup selamanya mengingat banyak biaya-biaya variabel tetap yang harus dikeluarkan. 

Isu bahwa pemerintah untuk memperketat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun semakin marak belakangan ini seiring dengan bertambahkan jumlah pasien kemungkinan besar akan memperbanyak jumlah unit UMKM yang mengalami kebangkrutan.

Ketidakpastian ini menyebabkan ancaman ancaman krisis ekonomi. Hampir dipastikan Indonesia akan memasuki resesi pada akhir kuartal ke III tahun 2020. 

Bukan tidak mungkin resesi akan membawa Indonesia masuk keadalam ancaman krisis bahkan bisa lebih parah jika dibandingkan dengan krisis tahun 1998 karena fondasi utama PDB negara kita sudah mulai rapuh.

Kali ini, tidak ada jalan lain selain pemerintah harus berusaha sekuat tenaga mengusahakan agar sektor UMKM tidak mengalami kebangkrutan. Kebangkrutan UMKM akan menghadirkan sumbangan angka pengangguran yang tinggi. 

Pengangguran yang tinggi akan berpengaruh terhadap daya konsumsi rumah tangga. Jika konsumsinya lemah, maka akan mempengaruhi PDB secara negative karena sektor konsumsi menyumbang lebih dari 50% terhadap PDB Indonesia.

Seiring berjalan dengan upaya pemulihan dalam bidang kesehatan, pemulihan sektor ekonomi utamanya UMKM adalah dua unsur yang tidak dapat dipisahkan agar terbebas dari krisis. 

Maksimalisasi kebijakan fiskal secara cepat dan tepat tanpa harus menggunakan procedural yang bertele-tele akan membuat UMKM semakin bergairah apalagi stimulus bidang lain juga masih tetap digencarkan. Tidak ada kesehatan yang baik tanpa ekonomi yang baik, begitu juga sebaliknya tidak ada pemulihan ekonomi yang baik tanpa kesehatan yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun