Mohon tunggu...
Yohanes Haryono, S.P, M.Si
Yohanes Haryono, S.P, M.Si Mohon Tunggu... pegawai negeri -

AKU BUKAN APA-APA DAN BUKAN SIAPA-SIAPA. HANYA INSAN YANG TERAMANAHKAN, YANG INGIN MENGHIDUPKAN MATINYA KEHIDUPAN MELALUI TULISAN-TULISAN SEDERHANA.HASIL DARI UNGKAPAN PERASAAN DAN HATI SERTA PIKIRAN. YANG KADANG TERLINTAS DAN MENGUSIK KESADARAN. SEMOGA BERMANFAAT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gemohing, Hamaren, dan Gotong Royong

23 Maret 2018   21:52 Diperbarui: 23 Maret 2018   22:32 1183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gotong-royong, Hamaren (Maren) dan Gemohing adalah sebuah definisi jiwa bangsa Indonesia yang selama ini menjadi monumen penting yang selalu diagung-agungkan negeri ini. Bahkan tetap dijadikan wacana utama dalam politik bangsa ini.

Sejarah kemerdekaan telah mencatat bahwa kata gotong-royong, Maren, Gemohing telah menjadi elemen penting dalam kehidupan bernegara Indonesia. Di zaman Orde Lama gotong-royong , Maren, Gemohing merupakan "kata suci" yang selalu dikumandangkan oleh Sukarno, bahkan pernah dalam salah satu pidatonya, Sukarno menyatakan bahwa bila Pancasila diperas menjadi Ekasila, maka Ekasila itu adalah gotong-royong (Maren, Gemohing). Di zaman Orde Baru, walaupun tak segencar di zaman Orde lama, tetap saja gotong-royong, Maren, Gemohing menjadi salah satu kata penting di rezim pembangunan Suharto.

 Berbagai kenyataan diungkapkan untuk mendukung pendapat bahwa gotong-royong, Maren, Gemohing adalah sifat dasar yang dimiliki dan menjiwai bangsa Indonesia. Mulai dari sistem pertanian secara bersama, membangun rumah, dan segala macam kegiatan kemasyarakatan, semuanya menunjukkan bahwa gotong-royong, Maren, Gemohing sudah ada sejak zaman prasejarah di bumi Indonesia. Ya, memang sejak SD kita telah diberikan doktrin bahwa gotong-royong, Maren, Gemohing adalah sifat dasar bangsa Indonesia yang menjadi unggulan bangsa ini dan tidak dimiliki bangsa lain.

 Gotong Royong, Maren, Gemohing Adalah bekerja bersama-sama dalam menyelesaikan pekerjaan dan secara bersama-sama menikmati hasil pekerjaan tersebut secara adil. Atau suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan tanpa pamrih dan secara sukarela oleh semua warga menurut batas kemampuannya masing-masing. Gotong royong, Maren, Gemohing yang ada memang berbeda secara kata tetapi mempunyai makna yang sama yaitu kerja sama.

 Pelaksanaan Gotong Royong, Maren, Gemohing.

 Gotong royong, Maren, Gemohing merupakan salah satu budaya peninggalan nenek moyang, yang telah lama berada di daerah-daerah. Gotong Royong, Hamaren atau maren dan Gemohing adalah suatu sistem sosial-budaya masyarakat yang termanifestasi dalam bentuk kerja tolong menolong antar warga. Awalnya, ia ada dalam bentuk kerjasama masyarakat untuk menyelesaikan rumah, dan sebagai cara masyarakat menertibkan hidupnya agar menjadi lebih baik. 


Selain itu, budaya Gemohing atau pun Hamaren juga hadir sebagai cara masyarakat meng-akta-kan solidaritas dan kerjasama sosial melalui kerja dan pemberian sumbangan tenaga (yelim). Pelaksanaannya, diresapi oleh spirit falsafah: "Masyarakat yang terlibat di dalam Hamaren hanya berasal dari satu keturunan saja (faktor hubungan darah atau satu keluarga). Karenanya, pelaksanaan kerja tolong menolong antar warga dilakukan secara spontan, sukarela dan tanpa pamrih.

 Melalui perjalanan historis, kini, budaya Gotong Royong, Hamaren, Gemohing telah merambat pada hampir semua bidang hidup manusia, seperti Gotong royong, Hamaren atau Gemohing dalam membuat kebun, menarik ikan, membangun rumah, acara perkawinan, acara kedukaan, dan menunjang pendidikan anak-anak, serta melibatkan berbagai elemen di dalam masyarakat yang berbeda latar belakang hidup (melintasi batas suku, agama, kasta, marga, kampung/negeri). 

Sistem sosial-budaya ini juga berhadap muka dengan berbagai perubahan sosial. Adanya berbagai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi eksistensinya, sekaligus telah merubah wajah kultur ini. Faktor-faktor dimaksud, adalah ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, lingkungan, agama atau religi, politik, pemuda, saling ketergantungan, filosofi masyarakat, dan hukum adat. 

Karenanya, selain istilah Gotong royong namun istilah Hamaren, dan Istilah Gemohing masih memperlihatkan orisonalitas sebagai wujud cara berada dan cara memahami relasi kekeluargaan dan kekerabatan, telah muncul pula kegiatan sewa-menyewa, kompetisi dan ketidakpedulian sosial. Akibatnya, terjadi penonjolan individualitas ketimbang komunalitas, menipisnya relasi-relasi kemanusiaan, bahkan nilai-nilai sosial-budaya tersebut nyaris sirna. 

Walaupun demikian, belum sepenuhnya dapat dikatakan bahwa masyarakat telah kehilangan solidaritas sosial. Solidaritas tetap ada dan mewarnai dinamika interaksi sosial, sebab ada kesadaran bersama bahwa mereka bukan makhluk individu semata.

 Nilai-nilai sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Kei merupakan salah satu modal dasar bagi peningkatan persatuan dan kesatuan termasuk menyemangati masyarakat dalam melaksanakan pembangunan di daerah ini. Hubungan-hubungan kekerabatan adat dan budaya harus terus didorong sehingga dapat menciptakan sinergitas yang andal bagi upaya bersama membangun generasi Baru di masa mendatang. 

Pendukung kebudayaan gotong royong, , Maren, Gemohing terindikasi dari pengguna bahasa lokal yang diketahui masih aktif dipergunakan. Meskipun masyarakat di daerah mencerminkan karakteristik masyarakat yang multi kultur, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan nilai budaya sebagai representasi kolektif.

 Salah satu diantaranya adalah filosofi "larvul ngabal" (MALUKU) yang selama ini telah melembaga sebagai cara pandang masyarakat tentang kehidupan bersama. Dalam filosofi ini, terkandung berbagai pranata yang memiliki "common values" dan dapat ditemukan di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Sebutlah pranata budaya seperti Masohi, maren, sasi, hawear, gemohing, pring reketek, dsb. Adapun filosofi "larvul ngabal" dimaksud telah menjadi simbol identitas daerah, karena selama ini sudah menjadi logo dari Pemerintah Daerah. Larvul Ngabal adalah filsafat hidup yang holistik; filsafat itu pernah ada, dan senantiasa hidup dalam peradaban masyarakat.

 Larvul Ngabal adalah pendekatan yang mempunyai posisi sentral dalam suatu susunan pendekatan yang berwatak jamak. Artinya, hanya di dalam pendekatan Larvul Ngabal, pendekatan-pendekatan lainnya dimodulasikan dan berproses secara utuh dan dinamis untuk merencanakan, rakyat di daerah, kemarin, hari ini dan yang akan datang. Dalam konteks pembangunan daerah nilai-nilai budaya lokal yang masih ada dan hidup di kalangan masyarakat, dapat dipandang sebagai modal sosial yang perlu dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan daerah. Filsafat Hidup Masyarakat : Kita semua sekeluarga/saudara, Katong samua basudara, Kita semua sama saudara.

 Revitalisasi nilai-nilai budaya daerah sebagai modal sosial terus diupayakan demi terpeliharanya relasi-relasi sosial yang sebelumnya terpelihara secara harmonis berdasarkan nilai-nilai kebangsaan dan budaya lokal. Untuk itu, pranata pemerintahan "negeri" di harapkan bisa di-PERDA-kan sebagai modal sosial yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan daerah yang berbasis potensi lokal. 

Nilai-nilai sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat merupakan salah satu modal dasar bagi peningkatan persatuan dan kesatuan termasuk menyemangati masyarakat dalam melaksanakan pembangunan di daerah ini. Hubungan-hubungan kekerabatan adat dan budaya harus terus didorong sehingga dapat menciptakan sinergitas yang andal bagi upaya bersama membangun daerah di masa mendatang.

 Semangat gotong royong tetap tinggi, bahkan sejak nenek moyang kita sifat kcgotongroyongan terpelihara secara baik. Hal itu ditandai dengan kehidupan mereka yang aman, damai dan sejahtera. Mereka hidup rukun dan damai melaksanakan pembangunan untuk memajukan tempat mereka berada.

 Pernahkah melihat rombongan semut membawa remah makanan? Awalnya satu semut menemukan makanan, lalu ia akan berkirim kode ke semut lain yang ditemuinya, semut yang ditemuinya tersebut akan berkirim kode lagi ke semut berikutnya. Lalu setelah pesan terkirim, datanglah serombongan semut berbaris untuk mengangkat makanan temuan tersebut ke sarang mereka. Serombongan semut itu akan bergotong-royong mengangkat remah-remah makanan tersebut, beramai-ramai.

 Dari serombongan semut kita bisa mempelajari banyak hal. Tuhan memang menciptakan alam untuk dipelajari dan menemukan kebesaran-Nya di sana. Dari semut kita bisa mempelajari bagaimana caranya bergotong-royong, berhubungan satu dengan yang lain, berhemat menyimpan makanan, berdiri sejajar karena tidak saling menonjolkan diri, dan sebagainya. 

Semua pertanda di dalam hidup ini ada untuk dibaca, dipahami dan dipelajari oleh makhluk yang hidup di dalamnya. Tuhan memang menciptakan alam semesta ini sebagai pertanda bagi orang yang mengetahui.

 Gotong-royong, Maren, dan Gemohing, adalah sebuah kearifan lokal yang didapat oleh para pendahulu yang mungkin saja diperoleh dari hasil memperhatikan alam. Bahwa semua yang hidup saling berhubungan dan membutuhkan. Di dalam kegiatan yang membutuhkan kebersamaan ini ada unsur saling peduli, saling bantu membantu dengan tujuan untuk saling meringankan beban bersama. Filosofinya adalah dari kita untuk kita.

 

Gotong Royong, Hamaren, Gemohing dan Perubahan Sosial Kemasyarakatan

 

Budaya Gotong Royong, Hamaren, dan Gemohing saat ini, sedang berada dalam sebuah ketegangan, berdialetik dengan berbagai perubahan sosial kontemporer. Reliabilitas sosial atau keterandalannya diuji, apakah tetap bertahan atau terus berubah. Karenanya, Gotong Royong, Hamaren, dan Gemohing juga mengalami proses "trial and error" sebagai respons masyarakat terhadap perubahan yang terjadi di sekitarnya. Masyarakat, untuk itu, bila tidak arif menyikapinya, niscaya budaya Gotong Royong, Hamaren, dan Gemohing hanya menjadi sebuah narasi tentang masa lalu, tanpa memiliki makna. Dengan demikian, masyarakat Kei akan kehilangan identitas sebagai makhluk berbudaya, sebab melalui kulturnya, mereka mengungkapkan makna eksistensialnya.

 

Dengan adanya arus moderninasi dan globalisasi atau pengaruh budaya barat yang begitu deras dewasa ini, yang langsung bisa menembus hingga ke pelosok tanah air yang tidak bisa lagi mampu dibendung oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah, mengakibatkan adanya suatu perubahan yang sangat mendasar pada tatanan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

 

Ini menimbulkan pengaruh yang luar biasa terhadap budaya yang selama ini dijunjung tinggi oleh bangsa ini, terutama budaya tradisional yang dikenal dengan sebutan budaya Gotong Royong, Hamaren, dan Gemohing yang menjadi kebanggaan masyarakat. Dalam waktu yang relatif singkat telah berubah dengan kecepatan yang sangat tinggi menjadi sifat-sifat egoistis, individualistik dan sifat masa bodoh serta tidak mau lagi peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya, baik itu tetangga, teman dekat bahkan orang-orang yang hidupnya kurang beruntung. sifat-sifat seperti ini sudah mulai terlihat menonjol, sehingga budaya Gotong Royong, Hamaren, dan Gemohing yang di masa lalu berdiri tegak, berangsur-angsur mulai menipis.

 

Bila di masa lalu masyarakat selalu dilindungi oleh adanya jaminan sosial, berupa budaya Gotong Royong, Hamaren, dan Gemohing dan saling tolong-menolong diantara warga masyarakatnya, budaya itu terlihat begitu kentalnya, namun akhir-akhir ini budaya yang sangat baik itu kalau tidak hati-hati dan tidak ada yang memotivasi untuk membangkitkan kembali, dikhawatirkan akan berubah menjadi budaya yang hanya mementingkan kepentingan pribadi atau golongan yang sifatnya sesaat. Hal ini sangat membahayakan bagi kelangsungan masyarakat itu sendiri.

 

Dengan adanya perkembangan kontemporer disatu sisi dan lunturnya pemahaman dan pengetahuan tentang sejarah terutama bagi generasi muda pada sisi yang lain, maka nilai-nilai sosial tersebut diatas juga mengalami sebuah proses distorsi yang menyebabkan pengaburan makna, yang pada gilirannya nanti akan melemahkan semangat "Ain Ni Ain" "Aku adalah Aku" "Loe - Loe - Gue - Gue" bahkan akan menjadi sebuah akar permasalahan baru yang nantinya menghambat proses pembangunan di Kei secara berkelanjutan. Tantangannya ialah, bagaimana melakukan rekonstruksi nilai-nilai budaya yang fungsional terhadap kepentingan pembangunan daerah baik pada aras kabupaten dan kota.

 

Berdasarkan berbagai kenyataan ini, maka sebaiknya Masyarakat kembali kepada sikap hidup yang mengutamakan harmoni dan toleransi, yang mengajak manusia saling menghargai dan hidup dalam harmoni dengan alam sekitarnya. Atas dasar itu usaha kesejahteraan akan tertuju kepada kepentingan rakyat banyak. Akan ada hubungan antara umat agama yang kembali harmonis sebagaimana kita alami hinga tahun 1960-an. Kepentingan daerah dan etnik akan dapat diperhatikan tanpa mengabaikan dan mengorbankan kepentingan negara dan bangsa secara keseluruhan.

Dipindahkan dari :

https://m.facebook.com/notes/jhanes-harry/gotong-royong-hamaren-dan-gemohing/10151292380757854/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun