Budaya dalam Algoritma
Produk kultural masyarakat Indonesia hadir lewat dua wujud, yakni tangiable culture dan intangiable culture.Â
Tangiable culture merupakan perangkat kebudayaan yang dapat dilihat, dirabah, dirasakan oleh pengalaman inderawi manusia. Contohnya ritual, alat perang, tempat sesajian, nyanyian, tarian, dan sebagainya. Tangiable culture tidak membutuhkan pengalaman imajinatif manusia.Â
Sementara, intangiable culture merupakan sistem nilai yang "mensakralkan" perangkat budaya yang kelihatan lewat pemaknaan atas simbol-simbol budaya tersebut.
Revolusi industri keempat tak bisa dipungkiri lagi akan mendobrak militansi cultural Indonesia. Tren disruptif ini mampu menerobos masuk kebudayaan kita, mendisrupsi nilai-nilai materiil dan non materiil dalam kebudayaan itu sendiri. Lalu, produk kultural seperti apa yang dicaplok dari sistem budaya kita? Bagaimana eksistensi kebudayaan lokal kita ke depan?
Diskursus budaya tak terlepas dari perbincangan soal nilai materiil dan non materiil dari sebuah kekayaan kultural. Manusia berbudaya akan memaknai simbol-simbol budaya lewat dua nilai tersebut
Perlu diperhatikan bahwa setiap kebudayaan harus memiliki nilai-nilai dasar yang merupakan pandangan hidup dan sistem kepercayaan di mana semua pengikutnya berkiblat.Â
Nilai dasar tersebut membuat para pengikutnya melihat diri mereka ke dalam, dan mengatur bagaimana caranya mereka melihat keluar. Sistem kepercayaan ini dapat berubah. Atau lebih tepatnya terpental oleh revolusi industri 4.0.
Nilai-nilai dasar kehidupan semakin tertantang keberadaannya, entah nilai tersebut mampu bertahan atau tidak. Sistem kepercayaan yang sudah diregenerasi dari dulu dalam kebanyakan budaya di Indonesia mengajarkan tentang kehadiran sesuatu yang transendental dalam perangkat-perangkat kebudayaan, seperti ritual, tempat sesajian, dan sebagainya.Â
Mungkin kepercayaan ini akan tercabut dan digantikan dengan kepercayaan "materialstik-kapitalisme", bahwa bukan yang transenden lagi di balik tempat sesajian tapi ada ladang ekonomi, ketika produk-produk budaya dibikin menjadi situs bisnis-kemudian ditentukan strategi marketing dengan menggunakan jasa dan layanan media sosial lalu diupload, sehingga viral dan banyak pengunjung, lalu ditentukan tarif lokal dan non lokal bagi pengunjung yang ingin masuk. Secara ekonomi, ini potensi yang besar, namun tidakkah anda melihat ada nilai yang tidak sakral lagi di balik produk-produk budaya tersebut?