Mohon tunggu...
Jeri Santoso
Jeri Santoso Mohon Tunggu... Nahkoda - Wartawan

Sapiosexual

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Revolusi Industri Keempat: Budaya dalam Algoritma

23 Mei 2019   20:24 Diperbarui: 24 Mei 2019   13:40 1623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Industri 4.0(SHUTTERSTOCK)

Judul ini tak sekadar persuasif-provokatif, tapi penulis menitikberatkan persoalan ini pada perkembangan teknologi komputasi, digitalisasi, dan koleganya yang mampu mengubah pola pikir masyarakat berbudaya. 

Jargon-jargon pembangunan yang "diboncengi" revolusi 4.0 hadir seolah-olah sebagai mesias yang membawa umat manusia menuju exodus peradaban yang lebih beradab. Pemiskinan sistem berpikir ini sejalan dengan paham Deus Ex Machina, di mana sebuah masalah yang tampak tak terpecahkan dalam sebuah cerita secara mendadak dan rancu terpecahkan oleh sebuah kejadian tak terduga, biasanya membuat orang terkejut (Merriam Webster: 2018).

Coba bayangkan suatu saat produk-produk budaya Indonesia tergantikan oleh pemain-pemain anonym revolusi 4.0. Misalnya dalam sebuah perayaan adat seperti Teing Hang (ritual orang Manggarai memberi sesajian kepada leluhur), peran seorang torok (penutur) berlangsung via video call. Contoh lain, misalnya: seni pahat masyarakat Bali yang mulanya dibuat menggunakan peralatan tradisional dan keterampilan estetis manusia, kemudian digantikan oleh penggunaan teknologi 3D Printing. Semua ini mungkin terjadi di era revolusi industri keempat. Inilah yang disebut sebagai budaya kemasan algoritma.

Singkat tentang Revolusi Industri Keempat

Indonesia sedang bergeming dengan slogan Making Indonesia 4.0, sebuah ajak yang menciptakan ruang dilematis. Revolusi industri 4.0 sebagai revolusi yang paling mutakhir abad ini berpotensi meningkatkan kualitas hidup masyarakat di seluruh dunia. Kualitas hidup seperti apa yang dimaksud? 

Pertanyaan centilan tersebut berawal dari refleksi kritis penulis terhadap fenomena era disruptif tersebut, termasuk implikasinya terhadap militansi kearifan lokal Indonesia sebagai sebuah kekayaan kultural. Lantas, apa itu revolusi 4.0?

Revolusi industri keempat adalah keadaan industri abad ke-21 saat perubahan besar-besaran di berbagai bidang lewat perpaduan teknologi yang mengurangi sekat-sekat antara dunia fisik, digital, dan biologi. 

Lebih jauh lagi, Industri 4.0 adalah nama tren otomasi dan pertukaran data terkini dalam teknologi pabrik. Istilah ini mencakup sistem siber-fisik, Internet of Things, komputasi awan dan komputasi kognitif. 

Istilah Industri 4.0 berasal dari sebuah proyek dalam strategi teknologi canggih pemerintah Jerman yang mengutamakan komputerisasi pabrik. Kemudian istilah ini diangkat kembali di Hannover Fair tahun 2011.

Gelombang disruptif ini tidak terelakkan. Kita membatin: bergerak maju atau stagnan. Kemajuan ini perlu diapresiasi, sekaligus diantisipasi. 

Era disruptif menciptakan peluang bergesernya pemain-pemain dan sistem lama yang tergantikan oleh sistem dan pemain baru. Banyak nilai yang dicaplok dari keberlangsungannya, termasuk kearifan lokal Indonesia. Puncak revolusi paling mutakhir ini memiliki super power dalam melakoni setiap hiruk-pikuk kebudayaan sapiens.

Budaya dalam Algoritma

Produk kultural masyarakat Indonesia hadir lewat dua wujud, yakni tangiable culture dan intangiable culture. 

Tangiable culture merupakan perangkat kebudayaan yang dapat dilihat, dirabah, dirasakan oleh pengalaman inderawi manusia. Contohnya ritual, alat perang, tempat sesajian, nyanyian, tarian, dan sebagainya. Tangiable culture tidak membutuhkan pengalaman imajinatif manusia. 

Sementara, intangiable culture merupakan sistem nilai yang "mensakralkan" perangkat budaya yang kelihatan lewat pemaknaan atas simbol-simbol budaya tersebut.

Revolusi industri keempat tak bisa dipungkiri lagi akan mendobrak militansi cultural Indonesia. Tren disruptif ini mampu menerobos masuk kebudayaan kita, mendisrupsi nilai-nilai materiil dan non materiil dalam kebudayaan itu sendiri. Lalu, produk kultural seperti apa yang dicaplok dari sistem budaya kita? Bagaimana eksistensi kebudayaan lokal kita ke depan?

Diskursus budaya tak terlepas dari perbincangan soal nilai materiil dan non materiil dari sebuah kekayaan kultural. Manusia berbudaya akan memaknai simbol-simbol budaya lewat dua nilai tersebut

Perlu diperhatikan bahwa setiap kebudayaan harus memiliki nilai-nilai dasar yang merupakan pandangan hidup dan sistem kepercayaan di mana semua pengikutnya berkiblat. 

Nilai dasar tersebut membuat para pengikutnya melihat diri mereka ke dalam, dan mengatur bagaimana caranya mereka melihat keluar. Sistem kepercayaan ini dapat berubah. Atau lebih tepatnya terpental oleh revolusi industri 4.0.

sumber: kumparan.com
sumber: kumparan.com

Nilai-nilai dasar kehidupan semakin tertantang keberadaannya, entah nilai tersebut mampu bertahan atau tidak. Sistem kepercayaan yang sudah diregenerasi dari dulu dalam kebanyakan budaya di Indonesia mengajarkan tentang kehadiran sesuatu yang transendental dalam perangkat-perangkat kebudayaan, seperti ritual, tempat sesajian, dan sebagainya. 

Mungkin kepercayaan ini akan tercabut dan digantikan dengan kepercayaan "materialstik-kapitalisme", bahwa bukan yang transenden lagi di balik tempat sesajian tapi ada ladang ekonomi, ketika produk-produk budaya dibikin menjadi situs bisnis-kemudian ditentukan strategi marketing dengan menggunakan jasa dan layanan media sosial lalu diupload, sehingga viral dan banyak pengunjung, lalu ditentukan tarif lokal dan non lokal bagi pengunjung yang ingin masuk. Secara ekonomi, ini potensi yang besar, namun tidakkah anda melihat ada nilai yang tidak sakral lagi di balik produk-produk budaya tersebut?

Catatan Akhir

Revolusi industri keempat sudah gencar dibuat dalam program nasional. Indonesia sudah tentu harus jadi negara yang siap menghadapi arus disruptif tersebut. Pergerakannya yang amat paradoksal menuntut ketangkasan semua masyarakat dalam bagaimana menyikapi gelombang disruptif ini. 

Revolusi ini sudah masuk ke setiap lini kehidupan masyarakat, termasuk budaya. Revolusi ini menciptakan peluang bagi tercaploknya sistem dan pemain lama, kemudian digantikan oleh yang baru. Ini sebuah kejutan. Sekaligus menandakan akan bertumpuknya refleksi kritis masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun