Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Keengganan Meminta Maaf, Sebuah Refleksi Filosofis

26 Agustus 2019   06:50 Diperbarui: 27 Agustus 2019   21:37 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meminta maaf dan memaafkan itu tanda kebesaran hati. Sumber: conoscenzealconfine.it

Ditempatkan dalam konteks kegaduhan publik di Indonesia karena UAS enggan meminta maaf, dapat dikatakan secara konklusif bahwapenolakan itu sekaligus menegaskan penolakan terhadap kaidah emas. 

Dengan konsekuensi bahwa UAS juga harus menerima perlakuan buruk, mispersepsi, gugatan, dan sebagainya dari orang lain (kesimpulan terakhir sama sekali tidak ilmiah, karena sekadar menyatakan sebuah konsekuensi logis daripernyataan).

Memaafkan itu Ilahiah

Kembali ke pertanyaan, apakah perlu meminta maaf? Lagi-lagi jawaban saya atas pertanyaan ini bersifat filosofis dalam arti hanya mengandalkan kekuatan nalar dan argumentasi. 

Apakah pandangan agama saya ikut memengaruhi? Bisa saja itu terjadi, tetapi saya dapat pastikan bahwa itu terjadi karena apa yang saya yakini dalam agamaku mendapatkan penegasan afirmatifnya pada pandangan filosofis arus utama.

Saya mengikuti pemikiran Prof. Enright yang mengatakan bahwa meminta maaf itu adalah salah satu keutamaan publik (publicvirtue), sama seperti keutamaan keadilan, keberanian dan sebagainya.

Menarik juga untuk mencermati argu-mentasi Prof. Enright mengenai keutama-an dalam tradisi Aristotelian. Keutamaan keberanian, misalnya, demikian Prof. Enright, diperoleh seseorang berkat usahanya (pembiasaan diri) meng-hindarikan dirinya dari perilaku "terlalu berani" di ekstrem kanan dan "terlalu penakut" di ekstrim kiri. 

Demikian pula meminta maaf harus dipahami. Meminta maaf harus dipo-sisikan dalam konteks ketika orang lain menyakiti atau memperlakukan kita secara tidakadil. 

Sebagai keutamaan, sikap ini adalah "jalan tengah" dari sikap "menolak meng-ampuni" (karena perasaan tersakiti, ter-luka atau diperlakukan secara tidak adil) di satu sisi dan sikap "gampang mengampuni" di sisi yang lain.

Dalam arti itu pula Prof. Enright mem-bantu kita untuk menegaskan posisimoral dalam tiga hal berikut. Pertama, mengam-puni atau memberi ampun itu dilakukan pertama-tama oleh korban alias pihak yang dirugikan. 

Dalam arti itu, kita juga mengertimengapa sebagian besar umat Kristen/Katolik dan pemimpin agama mereka menyarankan umat untuk memaafkan UAS.

Kedua, meskipun mengampuni dan mem-beri maaf, sikap sebagian kecil orang Kristen/Katolik yang melaporkan UAS sebagai orang yang telah menghina agama harus tetap diapresiasi sebagai sikap berkeutamaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun