Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kebiasaan Membaca untuk Memerangi Berita Bohong

17 Januari 2019   09:31 Diperbarui: 6 Juli 2021   15:52 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebiasaan membaca secara digital dapat bernilai positif. Jangan dimusuhi. Sumber: https://www.kqed.org

Beberapa teman mengatakan setengah bercanda, "Sebaiknya pemilihan umum dimulai hari ini saja, biar damai Indonesiaku!" Ucapan yang bernada guyon tapi terkesan merupakan ekspresi dari rasa frustrasi ini sebenarnya muncul karena ruang publik kita yang terlalu gaduh. 

Harus diakui, sejak Pemilihan Umum Kepalal Daerah (Pilkada) DKI dan Pilkada serentak lainnya di Indonesia, berita bohong dan ujaran kebencian dipilih sebagai sarana kampanye demi menjulang suara. 

Para pihak yang terlibat dalam kompetisi pemilihan umum mengkapitalisasi berita bohong dan ujaran kebencian sebegitu rupa demi meraih kekuasaan. Dampak kerusakan sosial yang dapat ditumbulkan oleh berita bohong dan ujaran kebencian tampaknya tidak masuk menjadi bagian dari pertimbangan dan pengambilan keputusan para pihak yang berkompetisi, apakah menggunakan berita bohong dan ujaran kebencian atau tidak. Dan itu menyedihkan.

Baca juga :Program Tantangan Membaca Literasi Digital yang Berpihak pada Murid

Tidak sulit menemukan berbagai informasi mengenai betapa masifnya penyebaran berita buruk dan ujaran kebencian ini. Data Hoax dan ujaran kebencian yang dirilis Kepolisian Republik Indonesia di awal tahun 2019 ini menunjukkan masifnya penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian selama tahun 2017-2018. 

Diwartakan bahwa sejak pertengahan tahun 2017 sampai akhir tahun 2018, ada sekitar 3.884 konten hoax dan ujaran kebencian. Bahwa lebih dari setengah konten itu diproduksi tahun 2018, ini menunjukkan peningkatan penyebaran berita buruk dan ujaran kebencian.

Disebutkan bahwa konten berita bohong dan ujaran kebencian disebar oleh 643 akun asli, 702 akun semi anonym dan 2.533 akun anonim. Kepolisian RI juga mencatat bahwa jumlah akun anonim meningkat seratus persen di tahun 2018 dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 733 akun.

Baca juga : Lebih Baik Membaca Al Quran melalui Mushaf atau Hafalan?

Faktor Penyebab

Beberapa penyebab menyebarnya berita hoax dan ujaran kebencian menarik untuk disimak. Kepolisian RI melihat kepemilikan gawai sebagai salah satu penyebab. Kepolisian RI berkeyakinan bahwa 143 gawai yang terhubung internet dari 174 kepemilikan gawai saat ini berpotensi menjadi sarana penyebaran berita buruk dan ujaran kebencian.

Meskipun begitu, kita tahu dengan baik, bahwa benda mati seperti gawai tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Harus ada manusia (subjek) yang memencet dan menyebarkan berita buruk dan ujaran kebencian. Jadi, harus ada pelaku, dan pelaku itu harus didorong oleh motif dan kepentingan tertentu.

Mungkin karena itu, dugaan yang dilontarkan Alois Wisnuhardana, Head of Social Media Management Center dari Kantor Staf Presiden RI ada benarnya. Bahwa sifat cepat percaya karena keadaan emosi yang labil menjadi salah satu elemen yang mendorong penyebaran berita buruk dan ujaran kebencian. 

Dugaan ini masuk akal jika kita merujuk pada hasil survei We Are Social di tahun 2017 yang menemukan bahwa 18 persen pengguna media sosial adalah anak-anak berusia 13--17 tahun. Dan ini diperkuat oleh temuan DailySociaId (2018) yang menunjukkan bahwa pengguna smartphone pada rentang usia 16 -- 30 tahun berjumlah 67,62 persen (14,52 persen pada usia 16-19 tahun, 31,75 persen pada usia 20-25, dan 21,75 persen pada usia 26-29).

Baca juga : Menulis dan Membaca adalah Pasangan Tak Terpisahkan

Pertanyaannya, mengapa kelompok usia muda tampak dengan gampang menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian? Dugaan Alois Wisnuhardana, penyebabnya tidak hanya karena anak-anak muda memang masih labil dan emosional, tetapi juga karena minat dan kebiasaan membaca yang masih rendah. 

Pendapat ini dijustifikasi dengan merujuk ke peringkat membaca negara Indonesia yang masih berada di urutan 60 dari 61 negara, posisi sedikit lebih baik dari Bostwana di urutan 61.

Jika ini duduk persoalannya, bahwa ternyata kelompok anak muda kita memang rentan terhadap berita bohong dan ujaran kebencian, baik sebagai penyebar maupun sebagai korban, tampaknya peningkatan kegemaran membaca menjadi salah satu jalan keluar. 

Memang orang seperti Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, menginginkan, mengusahakan dan mendorong anak-anak muda membaca buku cetak, perilaku membaca kelompok ini harus diperhitungkan. 

Merujuk ke laporan DailySocialid (2018), anak-anak muda umumnya mengakses maupun menyebarkan hoax melalui platform facebook (77,76 persen), lalu diikuti berturut-turut oleh WhatsApp (72,93 persen), Instagram (60,24 persen), dan Line (32,97 persen). Itu artinya anak-anak muda kita memang terbiasa mengakses dan menggunakan platform ini, maka upaya meningkatkan minat baca harus juga mempertimbangkan platform yang memang terbiasa diakses mereka.

Dalam arti itu, saya setuju bahwa kebiasaan membaca dapat menjadi penangkal yang efektif dalam membendung penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian, termasuk juga mengerem kebiasaan menyebarkannya. Ini karena membaca memampukan seseorang untuk bersikap kritis (critical mind), bersikap filosofis dalam arti tidak mudah percaya pada berbagai informasi, tetapi juga dorongan untuk mencaritahu dan menemukan sendiri kebenaran (inquiry). 

Kebiasaan membaca setiap hari memang memampukan seseorang mencapai -- antara lain -- perbaikan memori, penambahan kosa kata, perbaikan konsentrasi, dan keterampilan analisis yang lebih kuat.

Jangan Memusuhi Kebiasaan Membaca Secara Digital

Banyak penelitian menunjukkan bahwa media sosial justru memiliki dampak buruk terhadap kebiasaan membaca. Anak-anak yang terbiasa membaca melalui media sosial umumnya memiliki kebiasaan membaca cepat dan bukan kebiasaan membaca yang lebih mendalam. Karena itu, mereka hanya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya hafalan dan bukan analitis (Rosemary Adu-Sarkodee, dkk: 2015). 

Meskipun begitu, kebiasaan membaca secara digital tidak bisa dihapus dan dilenyapkan dari  kultur membaca generasi zaman now. Tantangannya adalah bagaimana mengubah media sosial menjadi lebih positif dan lebih mendorong pembentukan kebiasaan membaca. Dan itu bukanlah hal yang sulit. Lima langkah dapat diusulkan dan diimplementasikan.

Pertama, ketika membaca melalui media digital, usahakan untuk tidak membaca secara skimming. Perlambat kebiasaan membaca cepat-cepat akan membantu seseorang membaca teks digital secara mendalam.

Kedua, usahakan untuk menghindari distraksi. Ini penting untuk diperhatikan, karena membaca melalui media sosial secara daring membuat seseorang mudah kehilangan konsentrasi karena keinginan untuk mengakses informasi-informasi lainnya pada saat yang sama. Latihan yang terus-menerus akan membiasakan seseorang memiliki konsentrasi yang dibutuhkan.

Ketiga, seperti halnya membaca teks buku cetak, kita juga dapat membubuhi keterangan pada teks digital. Ini dilakukan sebagai cara kita melibatkan diri dengan teks yang sedang kita baca. Dan ini bukan hal yang sulit. Teks dalam bentuk pdf, misalnya, memungkinkan kita untuk menambah catatan, meng-higlight kata, frasa, atau paragraph tertentu, dan sebagainya.  

Keempat, berbagilah teks yang sedang kita baca secara digital dengan orang lain. Ada cukup banyak pengajar yang memberikan tugas kepada siswa mereka untuk membaca teks secara digital setiap minggunya, kemudian mensintesakan teks itu dan kemudian membagikannya di media sosial miliknya. Tugas semacam ini membantu pemahaman teks.

Kelima, mengisi kekurangan informasi. Ada juga studi yang memperlihatkan bahwa anak-anak dengan kemampuan yang tinggi dalam pemahaman dan pengetahuan teks (reading comprehension) sering memiliki pengetahuan yang rendah dalam topik-topik tertentu yang lebih spesifik. Tetapi media sosial dan media online dapat membantu mengisi kekurangan ini, karena akan-anak dapat mencari dengan cepat hal yang tidak mereka ketahui.

Penutup

Dua kesimpulan dapat dikemukakan di sini. Pertama, saya memiliki keyakinan, bahwa berita buruk dan ujaran kebencian dapat diatasi. Caranya adalah dengan memajukan kebiasaan membaca anak-anak kita. Alih-alih mengutuk media sosial sebagai penyebab bagi menurunnya kebiasaan membaca, saya justru melihat pentingnya mempromosikan media sosial dan kebiasaan membaca digital sebagai medium pembentukan pemikiran kritis.

Kedua, tugas kita semua (orang tua, guru, dan semua pemangku kepentingan) untuk memromosikan gerakan literasi, terutama gerakan membaca. Kita bisa memulainya dengan mempertimbangkan lima langkah yang saya kemukakan di atas. Kesetiaan kita dalam melaksanakan usulan ini, insya Allah, akan membantu pembentukan masyarakat Indonesia yang semakin beradab. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun