Mohon tunggu...
JEPRI BULEH
JEPRI BULEH Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Ilmu Politik FISIP UI 2018

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Penanganan Pandemi Covid-19 Ajang Pembuktian Pemimpim Perempuan: Studi Kasus Jacinda Ardern di Selandia Baru

19 Januari 2021   08:30 Diperbarui: 19 Januari 2021   08:31 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

COVID-19 adalah virus yang saat ini tengah banyak diperbincangkan karena penyebarannya yang sangat cepat. COVID-19 mulai dikenal setelah terdeteksi di Kota Wuhan, China pada Desember 2019 yang menimbulkan keresahan di berbagai belahan dunia. Virus ini  diduga berkaitan dengan pasar hewan Huanan di Wuhan yang menjual berbagai jenis daging binatang, termasuk yang tidak biasa dikonsumsi, seperti ular, kelelawar, dan berbagai jenis tikus. COVID-19 ini dianggap serius setelah terjadi banyak gejala serupa pneumonia dan radang paru-paru yang menyebar dengan sangat cepat dalam lingkup yang sama hingga mengakibatkan infeksi yang lebih serius, terutama pada pasien-pasien yang memiliki riwayat penyakit tertentu sebelumnya. Dengan seriusnya efek dari virus ini, World Health Organization (WHO) kemudian menetapkan COVID-19 sebagai pandemi sejak 11 Maret 2019 lalu. Hal tersebut kemudian membuat berbagai negara terdampak COVID-19 mulai menganggap virus tersebut sebagai permasalahan serius yang perlu ditindaklanjuti. Beberapa kebijakan dilakukan oleh pemimpin di berbagai negara untuk menghentikan rantai penyebaran COVID-19 ini. Salah satunya adalah Jacinda Ardern yang melakukan kebijakan untuk mencegah penyebaran COVID-19 di Selandia Baru dengan lockdown dini.

Dalam tulisan ini akan menggunakan teori equilibrium untuk menjelaskan lebih lanjut kebijakan yang diambil Selandia Baru. Teori Equilibrium pada dasarnya menekankan konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan peran perempuan dan laki-laki secara seimbang. Menurut Helen Fisher dalam Enlightened Power: How Women Are Transforming The Practice of Leadership, pada dasarnya perempuan memiliki sifat-sifat dasar untuk sukses sebagai pemimpin. Mereka cenderung lebih sabar, memiliki empati, dan multitasking atau mampu mengerjakan beberapa hal sekaligus. perempuan juga memiliki bakat untuk menjalin networking dan melakukan negosiasi. Kemampuan-kemampuan itu tentu saja tidak eksklusif hanya ada pada perempuan. Namun ketimbang laki laki, kaum perempuan yang cenderung lebih sering menunjukkan sifat-sifat tersebut. Perempuan juga bertanggung jawab dan suka mengatasi tantangan-tantangan dalam pekerjaannya. 

Dalam menanggapi COVID-19 ini, Jacinda Ardern telah bergerak melalui serangkaian fase dengan mengadopsi pendekatan kehati-hatian yang diinformasikan oleh ahli pengetahuan dan ahli kesehatan yang tersedia (Clark, 2020). Banyak aspek dari pendekatannya sesuai dengan Rencana Pandemi Influenza yang sudah terjadi sebelumnya yang menetapkan tahap-tahap, seperti rencanakan, jauhkan, membasminya, kelolanya, kelola pos puncak, dan pulih darinya (Wilson, 2020). Jacinda Ardern bergerak cepat dalam membuat kebijakan sejak awal kasus COVID-19. Hal ini dibuktikan dengan pelarangan penerbangan dari China sejak 3 Februari setelah WHO mengkonfirmasi orang Filipina sebagai orang pertama di luar China yang meninggal akibat COVID-19.

Selain itu, setiap masyarakat Selandia Baru yang kembali dari China diwajibkan mengisolasi diri selama 14 hari. Pada 28 Februari Jacinda Ardern juga melarang penerbangan dari Iran setelah kasus pertama di Selandia Baru berasal dari warga negara Iran.  Pada 14 Maret, saat Selandia Baru memiliki enam kasus, Jacinda Ardern mewajibkan setiap orang, termasuk warga negara mereka, untuk menjalani isolasi diri setelah tiba di Selandia Baru. Ardern tidak akan memberi ampun pada pelanggaran atas aturan tersebut. Selang beberapa hari, Ardern memutuskan untuk melakukan lockdown nasional ketika kasus COVID-19 di Selandia Baru mencapai 102 orang (Ardern, 2020). Dukungan masyarakat secara keseluruhan untuk kebijakan Jacinda Ardern cukup tinggi yang membuat COVID-19 di Selandia Baru bisa dikendalikan. Hal ini dibuktikan dengan survei dari Colmar Brunton yang menunjukan 87% warga negara Selandia Baru menyetujui langkah Ardern dalam meredam pandemi (Manhire, 2020).

Setelah menerapkan kebijakan lockdown, Ardern melakukan pengetesan COVID-19 dengan masif. Pada 4 April, Selandia Baru berhasil melakukan tes hingga 8.000 per hari. Hal itu membuat Selandia Baru salah satu negara dengan tingkat pengujian tertinggi di dunia. Selandia Baru hanya memiliki rata-rata positif sekitar 1% (Taylor, 2020). Hal ini menunjukan bahwa COVID-19 belum menyebar luas di Selandia Baru berkat lockdown yang dilakukan Ardern dengan cepat. Fakta menyebutkan bahwa satu orang penderita virus COVID-19 berpotensi menularkan sekitar 2,5 persentase penularan. Namun dengan lockdown, di Selandia Baru angka itu turun menjadi 0,4 (Taylor, 2020). Keberhasilan Selandia Baru melawan COVID-19 juga dilihat dari gaya kepemimpinan Ardern yang demokratis dengan mengkolaborasi para ahli, pemimpin, swasta dengan baik. Hal itu ditunjukan dengan Jacinda Ardern telah dipadu oleh nasihat ilmuwan, fakta, bukti, dan kesediaan untuk mendengarkan mereka yang memiliki keahlian yang relevan untuk membantu menginformasikan pengambilan keputusan. Ardern juga menyerahkan sepenuhnya kepada Direktur Jenderal Kesehatan Selandia Baru, Ashley Bloomfield, untuk menjawab segala pertanyaan ilmiah mengenai COVID-19 ini agar tidak terjadi misinformation.

Sebagai seorang pemimpin, Jacinda Ardern memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan memotivasi para bawahannya untuk menetapkan sejumlah langkah-langkah strategis dalam memerangi virus COVID-19. Serangkaian kebijakan yang dilakukan Jacinda Ardern dianggap cukup berhasil dalam mengendalikan COVID-19 di Selandia Baru. Hal ini dibuktikan dengan jumlah kasus di Selandia Baru per 18 November 2020 sebanyak 2008 kasus dengan jumlah kematian 25 orang dan jumlah sembuhnya sebanyak 1919 orang (Worldometers, 2020). Selain itu, WHO juga terkesan dengan respon cepat yang dilakukan oleh Jacinda Ardern dalam menangani COVID-19. WHO menganggap respon Selandia Baru telah menjadi yang terkuat di dunia dan banyak hal yang perlu dipelajari komunitas global dari respon tersebut (Towle, 2020).

Berkaca dari kasus Selandia Baru dalam menangani pandemi COVID-19 ini, menunjukan bahwa kebijakan yang diambil oleh Selandia Baru sejalan dengan teori equilibrium. Hal ini dibuktikan dengan adanya kerja sama antara Jacinda Ardern yang merupakan seorang perempuan dan Ashley Bloomfield yang merupakan seorang laki-laki dalam menangani COVID-19 di Selandia Baru. Dalam mengambil keputusan, Jacinda Ardern juga melibatkan para pihak terkait, baik itu laki-laki maupun perempuan secara seimbang. Pendekatan kehati-hatian dari kepemimpinan Jacinda Ardern juga sejalan dengan sifat kepemimpinan menurut Helen Fisher, yaitu cenderung lebih sabar. Jacinda Ardern juga sangat bertanggung jawab dalam menghadapi COVID-19 ini. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya kasus COVID-19 di Selandia Baru.

Pemimpin perempuan di dunia ini hanya sekitar 7% dari populasi dunia (Beilock, 2020). Namun, pandemi COVID-19 ini telah menunjukan bahwa perempuan yang berkuasa dapat mencapai banyak hal, khususnya untuk mengendalikan COVID-19 ini. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan mampu dan efektif dalam peran kepemimpinan seperti rekan laki-laki. Krisis kesehatan global telah membongkar stereotip bahwa laki-laki lebih cocok untuk mengambil alih dengan menunjukkan beberapa karakteristik yang cenderung dimiliki oleh pemimpin perempuan yang sangat efektif. Dengan kreativitas, ketegasan, kolaborasi, dan transparan dari para pemimpin perempuan, khususnya Jacinda Ardern menunjukan bahwa kualitas kepemimpinan perempuan benar-benar hebat. Bahkan majalah Forbes menyebut pemimpin perempuan sebagai contoh kepemimpinan sejati karena telah menunjukan kepada dunia bagaimana menangani ketidakberesan yang ada di dunia saat ini.

    

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun