Mohon tunggu...
Jeny Isdiati
Jeny Isdiati Mohon Tunggu... Penulis

Time to Change. Selain sebagai sarana mengekspresikan diri, menulis juga bisa memberikan ketenangan serta menggerakkan hati pembacanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Anak Tak Lagi Bisa Bicara: Jarak yang Tak Terlihat antara Generasi

6 April 2025   18:22 Diperbarui: 9 April 2025   19:23 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak perempuan duduk sendirian (sumber: Unsplash) 

Ada hari-hari ketika seorang anak tak lagi bicara, bukan karena tidak mampu, tetapi karena tak tahu harus mulai dari mana. Bukan karena tidak ingin dekat, tetapi karena setiap usaha untuk mendekat sering kali dianggap sebagai bentuk perlawanan. 

Ada jarak yang tak terlihat, terbentuk dari kalimat seperti, “Kamu masih kecil,” atau, “Ayah lebih tahu.” Padahal, anak juga manusia. Punya suara, punya pemikiran, dan punya luka yang perlahan disimpan karena takut dianggap salah.

Hubungan antara anak dan orang tua tidak selalu berjalan mulus. Ada kalanya komunikasi justru terasa seperti benturan antar batu. Anak mencoba menyampaikan pendapat dengan lembut, namun dibalas dengan nada tinggi atau kata-kata yang menyesakkan. Tak jarang, saran yang disampaikan dianggap bentuk pembangkangan. Anak pun terjebak dalam posisi serba salah: berbicara disalahkan, diam dianggap tak peduli. Ingin mendekat, tapi justru merasa makin jauh.

Ketika saran yang diberikan ditolak mentah-mentah, bukan karena salah, tapi karena datang dari anak, perasaan itu sulit diungkapkan. Ada rasa lelah, jenuh, dan kecewa yang menumpuk. Apalagi saat suara yang ingin memperbaiki malah dianggap menggurui. Anak hanya bisa menarik napas panjang, menelan kalimat-kalimat yang tak sempat diucap, dan memilih diam meski hati ingin bicara.

Perdebatan kecil pun sering menjadi percikan api. Sering kali bukan soal siapa yang benar atau salah, tetapi soal siapa yang bersedia mendengar lebih dulu. Namun dalam banyak kasus, anak dituntut untuk menunduk tanpa diberi ruang untuk menjelaskan. Padahal, di balik keberanian anak mengutarakan pendapat, ada harapan—bahwa hubungan itu bisa diperbaiki, bahwa jarak itu bisa didekatkan. Sayangnya, harapan itu kadang justru dilukai oleh sikap yang tak mau berubah.

Bukan hanya soal usia atau pengalaman. Kadang, masalah muncul karena sifat—ego yang besar, kebiasaan berbicara tanpa filter, atau ketidakmampuan untuk menerima masukan. Bahkan ketika anak sudah mencoba berkali-kali dengan cara yang baik, hasilnya tetap sama: luka yang makin dalam, kecewa yang makin sulit diredam.

Padahal, orang tua juga pernah menjadi anak. Pernah berada di posisi yang sama—ingin didengar, ingin dimengerti. Tapi waktu dan peran yang berubah sering kali mengaburkan ingatan itu.

Anak tidak butuh perlakuan istimewa. Mereka hanya ingin didengarkan, dimanusiakan, dan dipercaya bahwa mereka pun sedang belajar menjadi dewasa. Tapi bagaimana anak bisa tumbuh dengan utuh, jika setiap langkah menuju kedewasaan selalu dipatahkan dengan kalimat, “Kamu belum tahu apa-apa”?

Membangun kembali jembatan antara dua generasi memang tidak mudah. Tapi bukan berarti mustahil. Dibutuhkan keberanian dari anak untuk tetap bersuara meski sering tak didengar, dan kerendahan hati dari orang tua untuk kembali belajar mendengar, bukan sekadar mendikte. Komunikasi bukan soal siapa yang paling lama hidup, tapi siapa yang mau membuka hati lebih dulu.

Mungkin tak semua orang tua siap berubah, dan tidak semua anak sanggup terus mencoba. Tapi selama masih ada cinta, masih ada harapan. Mulailah dari percakapan kecil, dari saling menahan ego, dari keberanian untuk mendengar tanpa langsung menilai.

Karena anak bukan musuh. Anak adalah cermin. Dan hubungan yang utuh bukan dibentuk oleh siapa yang paling benar, tapi oleh dua hati yang saling berusaha memahami.

Penulis berharap, semoga lewat tulisan ini, ada hati yang mulai terbuka. Baik dari sisi anak yang mulai lelah, maupun orang tua yang mungkin belum sepenuhnya sadar. Jika hari ini bicara masih terasa sulit, semoga esok lebih ramah. Dan jika tak bisa saling memeluk lewat kata, semoga hati tetap mampu menyampaikan bahwa cinta itu tetap ada—meski dalam diam, meski dengan luka.

Tulisan ini bukan sekadar keluh, tapi seruan pelan dari hati yang ingin dipahami. Untukmu yang pernah diam karena lelah, atau untuk para orang tua yang mungkin belum sadar: ini saatnya membuka telinga… dan hati.

Bagaimana denganmu? Pernahkah kamu merasa tak didengar oleh orang tuamu? Atau justru sebagai orang tua, kamu sedang berusaha belajar mendengar?

Yuk, bagikan pandanganmu di kolom komentar. Siapa tahu, suaramu bisa mewakili banyak hati yang selama ini diam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun