Mohon tunggu...
Jennisa Eklesia
Jennisa Eklesia Mohon Tunggu... mahasiswa

saya suka membuat artikel artikel dan membaca beberapa berita yang menurut saya menarik

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Membaca Ulang Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, Antara Pujian dan Kritik

9 Juli 2025   21:48 Diperbarui: 9 Juli 2025   21:48 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Ketika Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh pertama kali terbit pada tahun 2001, dunia perbukuan Indonesia seperti menemukan kejutan baru. Novel karya Dewi "Dee" Lestari ini langsung mencuri perhatian karena menawarkan sesuatu yang berbeda campuran fiksi ilmiah, filsafat, spiritualitas, dan kisah cinta yang tidak klise. Banyak pembaca muda, terutama yang tinggal di kota besar, merasa menemukan bacaan yang "gue banget' Dekat dengan pergulatan identitas, pencarian makna, dan keinginan untuk terlihat intelek tapi tetap relate.

Tak heran jika sambutan publik begitu antusias. Novel ini dengan cepat menjadi best-seller, bahkan dalam waktu singkat menjadi perbincangan di berbagai forum daring, komunitas pembaca, hingga ruang-ruang diskusi akademik. Banyak yang menganggap Supernova sebagai angin segar dalam dunia sastra Indonesia, ia menghadirkan topik-topik berat seperti sains kuantum, relativitas, hingga filsafat eksistensial dalam gaya bertutur yang ringan, personal, dan mudah diakses. Dee Lestari dianggap berhasil menjembatani dua dunia yang sering kali terpisah: dunia pemikiran intelektual dan dunia cerita populer. Ceritanya tidak hanya membuat pembaca berpikir, tetapi juga menyentuh sisi emosional, terutama lewat tokoh-tokohnya yang kompleks dan penuh ambiguitas.

Namun di balik gelombang pujian, kritik pun muncul dari sejumlah kalangan. Beberapa akademisi dan pengamat sastra menilai Supernova terlalu ambisius memasukkan terlalu banyak gagasan besar tanpa eksplorasi yang mendalam. Filsafat, sains, dan spiritualitas dalam novel ini dianggap oleh sebagian sebagai sekadar "tempelan", bukan sebagai bagian organik dari narasi. Ada pula yang menyebutnya sebagai "filsafat pop" atau "sastra rasa seminar motivasi", karena menggunakan istilah-istilah canggih tapi hanya sebatas permukaan. Meski begitu, justru perdebatan semacam ini menunjukkan bahwa Supernova bukan karya yang bisa diabaikan begitu saja. Ia memicu dialog, membelah pendapat, dan menggugah rasa ingin tahu sesuatu yang jarang terjadi pada novel populer.

Dua dekade berlalu, Supernova tetap dibaca dan dibahas. Ia membuka jalan bagi karya-karya urban spiritual lain, serta penulis muda yang ingin menggabungkan narasi kontemporer dengan gagasan besar. Apa pun pendapat orang terhadapnya, apakah dianggap serius atau sekadar gaya Supernova telah memberi warna baru dalam perjalanan sastra Indonesia. Ia membuktikan bahwa bacaan yang laku di pasaran tetap bisa memantik refleksi, bukan sekadar hiburan semata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun