Mohon tunggu...
Kris Budiharjo
Kris Budiharjo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Jemparingan Mataraman gaya Keraton dan gaya Pakualaman Jogja

Pegiat Jemparingan Mataraman gaya Kraton Yogyakarta dan gaya Pakualaman, owner www.JEMPARINGAN.Com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Jemparingan Mataram di Kraton Jogja [1]

14 Agustus 2022   16:03 Diperbarui: 27 Januari 2023   00:52 1270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Busana janggan untuk jemparingan Mataram. Dok. Kris Budiharjo, 30/07/2022

Sejarah jemparingan 

(30 Juli 2022) Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat kembali mengulang sejarah jemparingan di Alun-alun Kidul. Para abdi dalem dan beberapa diantaranya adalah prajurit karaton Jogja, berbaur dengan masyarakat Umum duduk bersila di alun-alun sambil berlomba, bersenda-gurau dengan santun sambil melepas jemparing ke sasaran berbentuk wong-wongan (boneka orang-orangan dari jerami), yang digantung di dekat pohon Beringin kembar di tengan lapangan.

Siang ini lapangan Kagungan Dalem Alun-alun  Kidul, karaton Ngayogyakarta Hadiningrat tampak ramai dipenuhi para pemanah dari berbagai daerah, seperti Sumedang, Surabaya, Surakarta dan sekitarnya, daerah-daerah lain, dan tentunya dari ke-4 kabupaten dan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mereka mengenakan busana daerah masing-masing. kebanyakan pemanah putri memakai kebaya, jarit panjang, dan rambut disanggul atau ditutup kerudung; sedangkan pemanah pria mengenakan baju taqwa atau surjan. 

Yang spesial di LOMBA Jemparingan Mataraman gaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang Perdana ini, selain lomba panahan ini tingkatnya NASIONAL, tampak di jajaran abdi dalem estri ada yang mengenakan baju janggan (lihat foto).

Baju taqwa / surjan untuk pria - baju janggan untuk wanita, adalah busana Jawa ciptaan Sunan Kalijaga. Bentuk modelnya persis sama, yang membedakan adalah kalau baju taqwa bagian depannya menutup ke dada kanan, sedang baju janggan kain depan menutup ke dada sebelah kiri.

Di dalam kraton Jogja, baju taqwa atau surjan masih dan hanya boleh dipakai oleh Sultan atau dengan seijin Sultan; sedang baju janggan masih dipakai menjadi salahsatu model busana abdi dalem putri, disamping model kebaya tangkeban (kebaya tanpa kutubaru).

Bukan (lagi) Senjata Perang :

Sejak jaman Sultan Agung di era Mataram islam, busur dan panah sudah dikenal sebagai salahsatu senjata untuk berperang, berburu, dan membela diri. Hal ini bisa dilihat di salahsatu lukisan pemanah saat pertempuran Mataram menyerang Batavia.

Di budaya Jawa, panah identik dengan jemparing atau anak-panahnya. Di pewayangan maupun model pusaka panah di Yogyakarta kita kenal panah Pasupati, senjata Cakra, panah Bramastra (brama, brahma = api; astra = panah), dll. Bentuk fisiknya seperti apa bisa dilihat di buku The History of Java-nya Thomas Stanford Raffless (1817).

Yang menarik dari Jemparingan Mataram lama, adalah penggunaan busur atau gendewo (ditulis dalam bahasa jawa: gandhewa) yang juga berfungsi sebagai senjata. Hal bisa mudah dikenali dari penggunaan bahan sayap busur dari kayu Walikukun, Secang, atau kayu keras tapi lentur lainnya. Khusus kayu Walikukun adalah bahan untuk landeyan / batang tombak yang sangat bagus. Saat jemparing habis, busur gendewo bisa difungsikan sebagai lembing / towok, baik untuk menusuk maupun dilemparkan ke musuh.

Sebagai catatan: saya pribadi belum pernah menemukan busur jemparingan Mataraman kuno, di Yogyakarta dan Jawa Tengah, yang menggunakan bahan sayap busur dari bambu. Baik busur di ndalem kapangeranan, di museum, koleksi keluarga / pribadi, bahkan yg sudah 'hilang' diboyong ke Jerman pun ... bahannya dari kayu keras seperti di atas. Bahkan ada yang dibagian ujung busur dilapisi dengan kuningan atau emas / perak. selain berfungsi sebagai penguat juga bisa untuk menusuk. 


Busur dan anak-panah lengkap dengan endhong (quiver / tabung panah) milik Sultan Agung pun, yang sekarang menjadi salahsatu regalia di Kraton Jogja bernama kanjeng Kyai Ampilan, juga memiliki bedhor (mata panah) yang khas untuk membunuh musuh. 

Beragam bentuk bedhor yang bentuknya mirip dengan mata tombak kecil ini, tiap waktu-waktu tertentu masih dijamasi (dimandikan) sebagaimana pusaka-pusaka kraton lainnya.

Yang menarik dan menjadi ciri KHAS jemparingan gaya Mataram (Sultan Agungan atau mataraman) adalah cara memegang busur secara melintang / horisontal.

Peninggalan budaya panahan gagrag (gaya) Mataraman ini masih kental ditemui di hampir seluruh wilayah Mataraman : Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. 

Berbeda dengan Kasunanan Mataram Surakarta yang masih menggunakan prajurit panah sampai era PB ke-4, atau kadipaten Mangkunegaran yang memiliki 15 legiun bersenjata panah, di Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat sejak mula berdiri sudah tidak menggunakan panah lagi sebagai senjata perang, berburu atau pun membela diri. 

Memang Kraton Yogyakarta memiliki bregodo prajurit Nyutro yang bersenjata (salahsatunya) busur panah, namun... di buku Ensiklopedi Kraton Yogyakarta jelas disebutkan : Prajurit Nyutra hanya untuk prajurit 'kelangenan', tidak untuk maju berperang.

Ada juga prajurit putri Langen Kusumo, di era Sri Sultan HB.II yang sangat terkenal jago memanah, menembak, dan berkuda. Namun prajurit ini sifatnya lebih ke pengawal pribadi (bodyguard) Sultan.

Prajurit NYUTRO. Tepas Dwarapura. dok.pribadi Kris Budiharjo (23/04/2021)
Prajurit NYUTRO. Tepas Dwarapura. dok.pribadi Kris Budiharjo (23/04/2021)

Panahan, atau dalam bahasa kromo-inggil biasa disebut dengan istilah 'jemparingan', memang sudah dikenal sebagai dolanan / permainan untuk pembentukan karakter ksatria Mataram, sejak AWAL kasultanan Yogyakarta ini berdiri, pada tahun 1755 M.

Dahulu, jemparingan hanya boleh dimainkan oleh para bangsawan dan abdi-dalem karaton Yogyakarta saja. Namun sekarang, sejak 6 Januari 2018 masyarakat luas SUDAH diijinkan untuk ikut nguri-uri / melestarikan budaya panahan, warisan Sri Sultan Hamengku Buwono ke-1 ini.

Sekolah TAMANAN

Selain sumber dari Buku "The History of Java" karya TS. Raffless (1817), di dalam karaton Yogyakarta sendiri masih megah berdiri bangunan bangsal (rumah tanpa dinding) di komplek Kraton Kilen yang bernama Bangsal TAMANAN.

Di bangsal Tamanan yg dibangun tahun 1757 inilah Sri Sultan Hamengku Buwono ke-1 mendirikan sekolah bagi putra dan putri Dalem, dan keluarga abdi dalem berpangkat tinggi kraton Yogyakarta, dimana salahsatu mata pelajarannya adalah : memanah.

... kembali ke AWAL >>

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun