Aku tersenyum dengan menahan sesak di dadaku. Aku terlihat santai walau sebenarnya menanggung beban yang menyakitkan. Ingin aku teriak dan mengungkapkan semuanya kepada mereka  tetapi apa daya bibir ini tak kuasa bersuara dan  tangan tak mampu untuk menulis.
Ditengah keluarga yang menjunjung tradisi dan hidup dilingkuangan masyarakat yang masih klasik pastinya aku memiliki tuntutan untuk menikah muda sedangkan aku sendiri sudah meninjak kepala 3. Aku banyak berkenalan dengan lelaki tetapi tetap saja belum ada yang sesuai  kriteria dan standarku.
Sempat aku goyah akan tuntutan keluarga yang semakin hari semakin intens ditambah lagi sejak satu tahun terakhir ini aku menjadi pengangguran dan kembali kerumah orang tuaku, tetapi disisi lain aku juga takut akan kegagalan dalam rumah tangga atau ketidak siapan mentalku dalam membina rumah tangga.
Pernikahan menurutku bukan hanya mengikat hubungan didepan penghulu tetapi lebih kearah mengikat hubungan dengan disaksikan tuhan dan didampingi keluarga. Jangan hanya karena takut membuat malu orang tua atau gunjingan tetangga membuatku menikah terburu-buru dan setelah berjalan beberapa saat aku bercerai dengan sedikit masalah yang dihadapi.
Ketakutanku akan pernikahan juga disebabkan karena mendengar cerita teman-temanku yang memiliki seribu satu macam permaslahan dalam rumah tangga baik itu ketidaksiapan ekonomi, perbedaan pandangan, berselisih dengan keluarga pasangan, ketidaksiapan memiliki anak dan sebagainya. Jika boleh jujur penyesalan terbesarku adalah menjadi pendengar cerita masalah rumah tangga mereka tetapi disisi lain aku juga mendapat pelajaran dari mereka yang membuatku sedikit banyak mengetahui  dan menyiapkan mental untuk membina rumah tanggaku sendiri.
TetaPI Semakin hari semakin sering dorongan dari keluargaku untuK menyuruhku menikah bahkan adikku yang selisih lima tahun dariku sudah mulai didesak untuk menikah, bahkan pernah bebrapa kali aku dibercandai untuk didahului adekku untuk menikah dengan harapan agar aku segera mencari pasangan dan menikah terlebih dahulu. Tetapi apa daya yang dapat aku lakukan aku hanya bias berserah atas ketentuan tuhan entah kapan dan dengan siapa kelak aku menikah tetapi aku yakin dan percaya tuhan akan senantiasa bersama orang-orang yang sabar, ya aku hanya bisa bersabar bukan berpasrah tetapi memang hingga detik ini aku belum menemukan pasangan yang terbaik menurutku.
Apabila ditanya bagaimana tanggapanku atas keinginan orang tuaku untuk pernikahan adikku aku hanya bias menjawab dengan penuh keiklasan bahwa aku mengizinkan adekku mendahuluiku karena menurut pandanganku tidak mungkin aku menghambat jodoh orang disaat aku sendiri belum punya pasangan dan aku juga tidak mau disalahkan atas terhambatnya pernikahan adekku dikemudian hari.
Tetapi hingga detik ini adekku juga belum mengenalkan kekasihnya pada keluargaku karena takut hubungan gagal melangkah ke pernikahan. Sedangkan aku tahu bahwasanya adikku memiliki laki-laki yang mendekatinya dan sedang akrab dengannya. Aku juga sadar bahwasanya alasan adekku belum mengenalkan sang kekasih karena dia tidak enak ataus egan denganku, bahkan dia sudah berusaha mencarikan laki-laki yang akan dikenalkan denganku tetapi tetap saja aku belum memiliki kecocokan dengan mereka, mereka bukan lelaki yang buruk apalagi wajahnya tidak dapat dikatakan jelek dan pekerjaan mereka juga baik dan baik secara ekonomi tetapi tetap saja hatiku belum tergerak pada mereka.
Dahulu aku sempat dekat seorang laki-laki bernama Randi yang secara ekonomi belum dianggap mampu, dari tampang juga tidak dapat dibilang tampan walaupun tidak jelek juga tetapi dia memperlakukanku dengan rasa hormat, menghargai pendapatku, mengajak mempelajari agama dan syariat karena keluarganya memang berasal dari keluarga yang bisa dianggap paham agama di tambah keluarganya juga menerima aku dalam keluarga mereka. Tetapi saat itu aku hanya terfokus pada penampilan dan materi hingga aku hanya menganggapnya sebagai teman, kakak, pendengar dan sahabat yang baik.
Disisi lain aku juga memiliki kekasih bernama Dewa, Dewa seorang laki-laki yang tampan dan ekonomi keluarganya  dapat dianggap baik walaupun dia belum bekerja. Dia laki-laki yang royal hanya saja dia yang menentukan semuanya dalam hubungan kami, sedangkan aku sendiri tidak memiliki suara sama sekali dan aku tak ada bedanya dengan hanya sekedar pajangan.
Hari demi hari berlaku aku tetap menikmati kebersamaanku dengan Randi dan menerima segala jenis kebaikan dan perhatiannya tetapi disisi lain aku tetap menjalani hubungan dengan Dewa kekasihku. Hingga setelah setahun berlalu tiba-tiba aku tidak dapat menghubungi sahabatku dan aku merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupku. Walaupun aku memiliki kekasih yang tampan dan kaya aku tetap merasa kosong dan hatiku merasakan kerinduan terhadap dia sahabatku. Tetapi disisi lain aku juga gak tau bagaimana aku untuk menghubunginya karena aku merasa malu untuk bergantung sama dia disaat aku menolak perasaannya.