Mohon tunggu...
Sosbud

Sampah Visual dan Ruang Publik di Yogyakarta

10 Februari 2019   02:35 Diperbarui: 10 Februari 2019   02:41 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya pernah iseng bertanya kepada seorang teman, bagaimana pandangan ia mengenai billboard yang menyesaki tiap sudut perempatan. Ia sama sekali tidak terganggu dengan itu semua. Padahal sampah visual di Yogyakarta sudah dalam tahap akut. Tata kelola ruang publik jelas sama sekali diabaikan oleh para pemangku kebijakan.

Barangkali apa yang dirasakan oleh teman saya ini dialami pula oleh banyak orang Jogja. Mereka terjangkit apa yang disebut dengan tragedy of the common. Dianggap benar karena biasa. Padahal jika dipikirkan, bagaimana bisa begitu banyak pusat perhatian ditempatkan pada ruang yang seharusnya difungsikan oleh pengendara untuk berkonsentrasi pada jalan raya. Jalan-jalan di Jogja terlalu banyak distraksi.

Barangkali telah menelan banyak korban pula. Tapi apakah kajian mengenai tingkat kecelakaan di negeri ini telah memasukkan variabel mengenai sampah visual? Bisa jadi di titik-titik tertentu yang berjubel sampah visual justru rawan kecelakaan. Hal-hal seperti ini, yang mencerminkan ketidakmampuan birokrat mengelola ruang publik, diabaikan. Kecelakaan seakan hanya soal pengendara yang kurang hati-hati. 

Atau yang ugal-ugalan. Memang faktor itu bisa juga menjadi variabel. Tapi rasanya tidak adil jika pengendara melulu yang disalahkan. Bagaimana dengan konstruksi jalan raya? Apakah sudah standar? Bagaimana dengan banyak jalan rusak sebelum waktunya? Bukankah kita perlu curiga dengan material yang digunakan, sesuai standar atau belum?

Balik ke persoalan sampah visual, pada dasarnya ruang publik tidak boleh ada yang mendominasi. Jika ada billboard tentu saja bukan tidak boleh, tapi diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu. Selain itu, perlu ada kompensasi yang setimpal yang dikembalikan ke masyarakat. Yang ada justru pembangunan di Jogja ini justru memarjinalkan warganya sendiri, sedang tamu dimanjakan. Memang mendorong pendapat di pariwisata. Tapi  balik lagi apa untungnya masyarakat kita? Apakah kesejahteraan meningkat? Apakah kemiskinan berkurang? Nyatanya tidak.

Selain itu, mengenai seni kriya yang bertebaran di tiap sudut kota, perlu juga dipertanyakan. Itu sesuatu yang menarik perhatian di jalanan yang harusnya pengendara berfokus pada kendaraannya. Bukan pada patung. Mungkin meniru banyak kota wisata budaya di luar negeri tapi terkesan dipaksakan. Di sana seni kriya dipasang di area pedestrian. Di Jogja belum ada satu pun area pedestrian. Baru jalur yang tidak lebih dari 1-2 meter itu. Jogja belum berani membersihkan barang secuil area dari kendaraan bermotor. Sekarang saja macetnya sudah minta ampun. Apalagi nanti jika dihilangkan satu jalur. Misal Malioboro saja. Apa jadinya jalanan Jogja?

Ini tentu saja berkaitan dengan masterplan Jogja. Transportasi umum perlu lebih memadai. Zonasi perlu diberlakukan dan mau tidak mau menggusur yang mana sama sekali kebijakan yang tidak populis. Kecuali memang kita kadung nyaman tiap hari mengomel macet, panas, semruweng, stress, dan terasing di daerah yang katanya berhati nyaman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun