Tentang Peraturan yang Kadang Terlalu Kaku Di asrama, kami punya peraturan. Tidak boleh pacaran, tidak boleh makan di kamar, harus piket kebersihan sesuai jadwal, jam malam yang ketat, dan berbagai larangan lainnya. Semuanya dibuat demi kenyamanan bersama.
Tapi kenyataannya... tidak semua orang merespons peraturan dengan cara yang sama. Ada yang patuh karena sadar, Ada yang patuh karena takut, Dan ada juga yang meremehkan peraturan, menganggap semuanya bisa dilanggar karena "hal sepele."
Aku pernah menyaksikan teman satu kamar membawa makanan ke dalam kamar. Ia santai saja, padahal jelas tertulis itu tidak diperbolehkan.
Tapi malam itu ia ketahuan oleh pembina. Menurutku? Hal itu sepele. Tapi bagi pembina, itu masalah besar karena dianggap melanggar kedisiplinan dan ketertiban yang sudah disepakati bersama.
Siapa yang Salah? Kadang aku bertanya dalam hati: "Kalau hal kecil bisa jadi besar, siapa yang sebenarnya salah?"
Terkadang kita yang mencari masalah, padahal kita tahu itu suatu pelanggaran tapi apa yang kita lakukan malah terus melanggar hanya demi kepentingan diri sendiri dan membuat  peraturan sendiri.Â
Tapi kemudian aku sadar: Mungkin bukan soal benar dan salah. Tapi soal tidak ada yang mau menjelaskan, dan tidak ada yang mau mendengarkan. Masalah muncul ketika satu pihak merasa tidak dilihat dan tidak dimengerti.
Ketika kita dipaksa patuh tanpa diberi ruang untuk bertanya atau memahami. Ketika niat baik berubah menjadi tekanan, hanya karena cara penyampaiannya salah.
Komunikasi Lebih Penting daripada Teguran
Masalah besar di asrama seringkali bukan karena niat buruk. Tapi karena komunikasi yang buruk. Bukan salah menegur, tapi cara menegurnya menyakiti. Bukan salah melanggar, tapi tidak diberi ruang untuk menjelaskan. Bukan salah membuat aturan, tapi lupa menyertakan empati di dalamnya.
Kalau saja setiap orang diberi kesempatan untuk bercerita dulu sebelum diadili, mungkin tidak akan ada konflik sebesar ini.