Mohon tunggu...
Jelita Anggraini
Jelita Anggraini Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Binus University

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Analisis Keabsahan Pembatalan Kontrak akibat Force Majeur Coronavirus

10 Mei 2020   17:16 Diperbarui: 10 Mei 2020   17:06 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lalu pembahasan berikutnya mengenai keabsahan pembatalan perjanjian akibat force majeur covid 19. Apakah sebuah kontrak dapat dibatalkan dengan alasan force majeur covid 19? Baru-baru ini penulis sempat memperhatikan di salah satu laman applikasi berita elektronik dimana Bapak Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM yang menyampaikan pendapat hukum terkait Pandemi Covid-19 tidak dapat dijadikan alasan force majeure untuk membatalkan suatu kontrak.

Hal ini menjadi menarik untuk dibahas, adapun batal/berakhirnya suatu Perjanjian disebabkan oleh beberapa hal: 

  • Perjanjian tersebut dibatalkan karena disepakati Para Pihak dalam Perjanjian ;
  • Objek yang diperjanjikan telah hilang/hangus/lunas ;
  • Karena salah satu Pihak dalam perjanjian telah melakukan wanprestasi
  • Karena putusan Pengadilan yang memutuskan perjanjian tersebut telah batal/berakhir ;
  • Karena Perjanjian Batal Demi Hukum ;
  • Karena salah satu subjek dalam Perjanjian meninggal (hanya terhadap perjanjian-perjanjian tertentu).

Setelah penulis membahas permasalahan yang ada mengenai force majeure, maka dapat disimpulkan bahwa meskipun didalam asas hukum perjanjian atau kontrak dikatakan bahwa setiap orang yang membuat suatu kontrak, maka kontrak yang dibuatnya itu berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, bahwa pihak harus melaksanakan kewajiban atau prestasi yang telah mereka sepakati, meskipun tidak dapat dihindari terjadi suatu permasalahan dalam pelaksanaanya. 

Pihak yang melakukan perjanjian terkadang menghadapi permasalahan didalam pelaksanaannya, bila salah satu pihak kreditur merasa dirugikan dapat melakukan penuntutan kepada pihak debitur yang dianggap wanprestasi yang tidak melakukan pemenuhan yang menjadi kewajibannya baik sengaja ataupun kelalaiannya. 

Namun jika debitur menganggap bahwa kelalaiannya bukan karena kesengajaan dan bukan karena iktikat buruknya maka dapat dibebaskan dari ganti kerugian yang diatur didalam Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata yang mengatur keadaan memaksa (force majeure). 

Apabila keseluruhan pembahasan tersebut dikaitkan dengan pendapat dari Bapak Menkopolhukan tersebut di atas, maka sangatlah beralasan covid-19 tidak serta merta dapat membatalkan perjanjian, keseluruhan tersebut tergantung bagaimana klausula-klausula yang telah diatur dalam Perjanjian, dimana Prinsip perjanjian berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak berlaku sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, sehingga apabila di dalam perjanjian tersebut telah mengatur secara ekslusif tentang force majeure, maka Para Pihak harus tunduk dalam perjanjian tersebut. 

Apabila Perjanjian tersebut tidak mengatur secara ekslusif tentang force majeure dan salah satu pihak berniat untuk membatalkan perjanjian yang disebabkan force majeure, maka Penulis berpendapat Para Pihak harus membuktikan Objek tersebut menjadi hilang/hangus karena peristiwa force majeure tersebut.

Referensi:

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak cetakan ke tiga,Jakarta, Rajawali Pers,  2010, hlm 67

Ahmadi Miru , Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta, rajawali pers, 2011, hlm 74

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun