Mohon tunggu...
Jelita Anggraini
Jelita Anggraini Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Binus University

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Analisis Keabsahan Pembatalan Kontrak akibat Force Majeur Coronavirus

10 Mei 2020   17:16 Diperbarui: 10 Mei 2020   17:06 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masifnya penyebaran wabah corona tentunya memberikan pengaruh negatif bagi sektor perekonomian di Indonesia. Penerapan pembatasan sosial berskala besar oleh kementerian kesehatan melalui PERMEN Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 mengakibatkan berhentinya beberapa kegiatan perekonomian karena mayoritas aktivitas perkantoran ditiadakan (work from home). Efek samping pemberlakukan PSBB dirasakan langsung oleh para pengusaha sebagai akibat tersendatnya sejumlah industri.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan adanya wabah corona ini serta merta dapat dijadikan dasar bagi para pihak yang berkontrak sebagai alasan daya paksa/force majeur?  

Force majeur atau yang lazin dikenal dengan daya paksa atau keadaan memaksa merupakan kondisi dimana debitur/pihak yang dimintakan prestasinya tidak dapat/terhalang dalam menunaikan prestasinya yang dikarenakan kondisi atau keadaan yang tidak terduga pada saat berjalannya kontrak. 

Yang dimaksudkan keadaan memaksa atau peristiwa yang tidak terduga sehingga menimbulkan akibat yang besar misalnya banjir, gempa bumi, kebakaran, angin topan, peperangan,wabah penyakit, huru hara dan peristiwa lainnya yang dapat memberhentikan kontrak akibat barang yang musnah sehingga pemenuhan tidak dapat dilakukan.

Selain itu, perlu diketahui bahwa Perjanjian di Indonesia memuat 2 (dua) jenis klausul keadaan daya paksa/force majeur, yaitu:

  • Klausul yang tidak eksklusif; dimana dalam tipe klausa ini, keadaan yang dianggap sebagai keadaan kahar adalah tidak dibatasi, sehingga suatu pihak dapat mengklaim keadaan kahar sepanjang adanya kondisi-kondisi yang disetujui untuk berlakunya keadaan kahar; atau
  • Klausul yang eksklusif, dimana dalam tipe klausa ini, keadaan kahar terbatas pada keadaan-keadaan yang disebutkan di dalam perjanjian

Disamping itu, akibat beberapa peristiwa di Indonesia (dulu pada masa reformasi) ditemukan perjanjian yang menghendaki kondisi daya paksa/force majeur. Kondisi ini hanya sah apabila pemerintah menghendaki dan menetapkan bahwa peristiwa/kondisi tersebut melahirkan force majaeur. 

Berdasarkan penjelasan singkat diatas dapat ditarik sintesis sementara bahwa pihak-pihak yang terdampak Covid-19 dapat mengajukan klaim force majeur. Akan tetapi perlu disadari bahwa jika suatu perjanjian secara tegas mengecualikan wabah virus atau pandemi atau tindakan pemerintah yang terkait dengannya, maka tidak ada pihak yang dapat mengklaim kejadian force majeure karena wabah Covid-19. Akibatnya, para pihak harus terus melakukan kewajibannya masing-masing berdasarkan perjanjian yang relevan.

Memburuknya kinerja perusahaan karena terdampak pandemic covid-19 sepatutnya dapat dimaafkan jika dapat berhasil membuktikan di pengadilan bahwa Covid-19 adalah peristiwa force majeure dan mampu membuktikan bahwa ada hubungan sebab akibat langsung antara pandemi dan tidak dipenuhinya kewajiban. 

Meskipun demikian, mungkin sulit untuk menggunakan Covid-19 untuk mengklaim force majeure tanpa adanya kebijakan pemerintah, seperti pembatasan perjalanan atau penguncian yang telah menciptakan hambatan untuk operasi bisnis, karena akan sulit untuk menentukan pada titik mana tepatnya Covid-19 dapat dikategorikan sebagai acara force majeure. 

Adapun konsekuensi dari penggunaan klausula force majeure yang disebabkan Covid-19 haruslah dipahami dengan asas keadilan bagi masing-masing pihak, khususnya pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut. 

Penghentian pelaksanaan kewajiban harus sepadan dengan pelaksanaan pemenuhan hak dalam perjanjian, contohnya menuntut pelakasanaan penyelesaian pekerjaan konstruksi menjadi terlambat akan tetapi tidak dapat pula menuntut pembayaran yang sesuai dengan perjanjian sebelumnya.

Lalu pembahasan berikutnya mengenai keabsahan pembatalan perjanjian akibat force majeur covid 19. Apakah sebuah kontrak dapat dibatalkan dengan alasan force majeur covid 19? Baru-baru ini penulis sempat memperhatikan di salah satu laman applikasi berita elektronik dimana Bapak Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM yang menyampaikan pendapat hukum terkait Pandemi Covid-19 tidak dapat dijadikan alasan force majeure untuk membatalkan suatu kontrak.

Hal ini menjadi menarik untuk dibahas, adapun batal/berakhirnya suatu Perjanjian disebabkan oleh beberapa hal: 

  • Perjanjian tersebut dibatalkan karena disepakati Para Pihak dalam Perjanjian ;
  • Objek yang diperjanjikan telah hilang/hangus/lunas ;
  • Karena salah satu Pihak dalam perjanjian telah melakukan wanprestasi
  • Karena putusan Pengadilan yang memutuskan perjanjian tersebut telah batal/berakhir ;
  • Karena Perjanjian Batal Demi Hukum ;
  • Karena salah satu subjek dalam Perjanjian meninggal (hanya terhadap perjanjian-perjanjian tertentu).

Setelah penulis membahas permasalahan yang ada mengenai force majeure, maka dapat disimpulkan bahwa meskipun didalam asas hukum perjanjian atau kontrak dikatakan bahwa setiap orang yang membuat suatu kontrak, maka kontrak yang dibuatnya itu berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, bahwa pihak harus melaksanakan kewajiban atau prestasi yang telah mereka sepakati, meskipun tidak dapat dihindari terjadi suatu permasalahan dalam pelaksanaanya. 

Pihak yang melakukan perjanjian terkadang menghadapi permasalahan didalam pelaksanaannya, bila salah satu pihak kreditur merasa dirugikan dapat melakukan penuntutan kepada pihak debitur yang dianggap wanprestasi yang tidak melakukan pemenuhan yang menjadi kewajibannya baik sengaja ataupun kelalaiannya. 

Namun jika debitur menganggap bahwa kelalaiannya bukan karena kesengajaan dan bukan karena iktikat buruknya maka dapat dibebaskan dari ganti kerugian yang diatur didalam Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata yang mengatur keadaan memaksa (force majeure). 

Apabila keseluruhan pembahasan tersebut dikaitkan dengan pendapat dari Bapak Menkopolhukan tersebut di atas, maka sangatlah beralasan covid-19 tidak serta merta dapat membatalkan perjanjian, keseluruhan tersebut tergantung bagaimana klausula-klausula yang telah diatur dalam Perjanjian, dimana Prinsip perjanjian berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak berlaku sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, sehingga apabila di dalam perjanjian tersebut telah mengatur secara ekslusif tentang force majeure, maka Para Pihak harus tunduk dalam perjanjian tersebut. 

Apabila Perjanjian tersebut tidak mengatur secara ekslusif tentang force majeure dan salah satu pihak berniat untuk membatalkan perjanjian yang disebabkan force majeure, maka Penulis berpendapat Para Pihak harus membuktikan Objek tersebut menjadi hilang/hangus karena peristiwa force majeure tersebut.

Referensi:

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak cetakan ke tiga,Jakarta, Rajawali Pers,  2010, hlm 67

Ahmadi Miru , Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta, rajawali pers, 2011, hlm 74

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun