Di atas kertas, lembaga ini dirancang untuk mempercepat koordinasi dan sinkronisasi kebijakan Otsus agar lebih efektif dan terpadu. Namun jika komposisi dan orientasinya tetap berputar di lingkaran elit yang sama, maka lembaga ini hanya akan mengulang kegagalan lembaga-lembaga sebelumnya.
Pertanyaannya sederhana tapi mendasar: apakah Komite Eksekutif benar-benar akan turun ke tanah dan mendengar suara rakyat Papua, atau hanya akan menjadi ruang baru bagi elit untuk bernegosiasi kepentingan?
Dari Politik Akomodatif ke Politik Partisipatif
Untuk mengembalikan marwah Otsus Papua, arah kebijakannya harus bergeser dari politik akomodatif menuju politik partisipatif.
Perubahan paradigma ini membutuhkan keberanian politik dan desain kelembagaan baru yang berpihak pada rakyat, bukan pada elit.
Tiga langkah penting perlu diprioritaskan:
1. Partisipasi substantif masyarakat Papua -kebijakan Otsus harus melibatkan masyarakat adat, tokoh gereja, akademisi lokal, perempuan, dan pemuda dalam proses perencanaan dan pengawasan.
2. Evaluasi berbasis kinerja, bukan kedekatan politik - figur dalam lembaga Otsus harus dipilih karena kapasitas dan integritasnya, bukan karena afiliasi atau kompromi kekuasaan.
3. Transparansi dan akuntabilitas publik -masyarakat Papua berhak tahu bagaimana dana Otsus dikelola, siapa yang bertanggung jawab, dan apa hasil nyatanya bagi rakyat.
Menyentuh Tanah, Mendengar Rakyat
Papua tidak membutuhkan banyak lembaga baru; Papua membutuhkan pemimpin yang mau turun ke tanah, menyentuh rakyat, dan mendengar suara yang sering diabaikan.