Krisis Representasi: Elit yang Tak Lagi Menyapa Rakyat
Salah satu kegagalan paling serius dalam pelaksanaan Otsus adalah krisis representasi.
Banyak elit Otsus tampil sebagai "wakil Papua" di ruang rapat dan meja kebijakan, tetapi mereka tidak lagi hadir di tengah rakyat.
Kebijakan disusun tanpa konsultasi yang bermakna dengan komunitas adat, gereja, pemuda, perempuan, dan kaum intelektual lokal. Aspirasi masyarakat di kampung dan distrik jarang diterjemahkan menjadi keputusan strategis. Akibatnya, kebijakan Otsus kehilangan jiwa dan makna sosialnya.
Fenomena ini melahirkan elitisme administratif  di mana pembangunan menjadi urusan segelintir pejabat, sementara masyarakat hanya menjadi objek dari program yang tidak mereka pahami. Dalam situasi seperti itu, Otsus kehilangan daya transformasinya dan berubah menjadi sekadar instrumen legitimasi kekuasaan.
Pembangunan Tanpa Akar Sosial
Papua tidak kekurangan program, melainkan kekurangan keterhubungan sosial antara kebijakan dan kebutuhan nyata masyarakat. Banyak proyek besar gagal karena tidak memperhitungkan konteks lokal, budaya kerja, dan sistem sosial adat yang menjadi basis kehidupan masyarakat Papua.
Ketika masyarakat tidak dilibatkan sejak perencanaan, proyek pembangunan hanya menimbulkan alienasi. Rakyat melihat pembangunan sebagai "barang dari luar" yang datang dengan janji besar, tetapi pergi tanpa hasil nyata.
Sementara itu, sebagian elit politik dan birokrasi Otsus tumbuh menjadi kelas baru yang menikmati posisi dan fasilitas, tapi kehilangan empati sosial terhadap rakyat yang mereka wakili.
Komite Eksekutif: Peluang Baru atau Ulangan Pola Lama?
Pembentukan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otsus Papua di era pemerintahan Prabowo-Gibran kembali menimbulkan harapan sekaligus kekhawatiran.