Oleh: Jemi Kudiai
Beberapa bulan terakhir, dunia kembali diguncang oleh gelombang protes sosial, kerusuhan di kota-kota besar, hingga ketegangan politik internasional yang kian memanas. Dari Amerika Serikat, Eropa, hingga Asia, bayang-bayang krisis kapitalisme kembali menghantui. Indonesia tentu tidak berdiri di ruang hampa. Setiap gejolak global selalu punya resonansi ke tanah air. Pertanyaannya: apakah kita siap menghadapi badai?
Kapitalisme dan Krisis: Sebuah Pola yang Berulang
Kapitalisme sering digambarkan sebagai sistem yang paling adaptif, fleksibel, dan inovatif. Ia bisa tumbuh dalam berbagai bentuk masyarakat, dari yang otoriter hingga demokratis, dari negara industri maju hingga dunia berkembang. Namun, sejak awal abad ke-20, satu hal yang konsisten: kapitalisme selalu membawa serta krisis.
Krisis bukan sekadar "kecelakaan ekonomi". Ia adalah bagian dari denyut nadi kapitalisme itu sendiri. Seperti yang dikatakan Joseph Schumpeter, krisis adalah wujud creative destruction penghancuran kreatif yang menghancurkan struktur lama untuk membuka jalan bagi struktur baru.
Di tahun 2008, kita menyaksikan bagaimana krisis subprime mortgage di AS meluluhlantakkan ekonomi dunia. Ratusan juta orang kehilangan pekerjaan, triliunan dolar lenyap dalam hitungan minggu. Pandemi COVID-19 (2020) mengulang pola serupa: guncangan global membuat jutaan orang miskin baru, sementara para miliarder justru kian kaya.
Amerika Serikat: Dari Superpower ke Chaos Sosial
Contoh paling nyata adalah Amerika Serikat. Negara adidaya ini kini menghadapi triple crisis: krisis ekonomi, krisis politik, dan krisis sosial.
Ekonomi: Utang publik AS menembus rekor, industri manufaktur merosot, dan kesenjangan sosial makin melebar.
Politik: Polarisasi tajam antara kubu liberal dan konservatif, diperparah oleh retorika populisme Donald Trump.
Sosial: Protes anti-imigran, kerusuhan di kota-kota besar, hingga meningkatnya kasus overdosis opioid menjadi gambaran rapuhnya "American Dream".
Tak heran, banyak pakar menyebut kapitalisme Amerika sedang memasuki fase interregnum seperti kata Gramsci: tatanan lama sekarat, tatanan baru belum lahir. Chaos pun muncul sebagai tanda zaman.
Tiongkok dan Asia: Kapitalisme Negara sebagai Alternatif?
Sementara itu, Tiongkok justru menjadikan krisis global sebagai momentum untuk mengukuhkan pengaruh. Melalui proyek Belt and Road Initiative (BRI), investasi besar-besaran infrastruktur, dan penguasaan rantai pasok teknologi, Tiongkok menawarkan model state capitalism kapitalisme dengan kendali kuat negara.
Banyak negara berkembang tergiur, termasuk Indonesia. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar solusi atau justru jebakan ketergantungan baru?
Global South: Krisis sebagai Jalan Masuk Neoliberalisme
Naomi Klein menyebut fenomena ini sebagai disaster capitalism. Setiap kali terjadi bencana atau krisis, lembaga internasional (IMF, Bank Dunia, WTO) kerap masuk membawa "obat" berupa privatisasi, deregulasi, dan austerity. Faktanya, resep ini sering memperparah ketimpangan, bukan menyelesaikan masalah.
Negara-negara di Global South Asia, Afrika, Amerika Latin seringkali menjadi korban paling parah. Ketika terjadi krisis, utang membengkak, aset publik dijual murah, rakyat kehilangan akses atas tanah, air, dan energi.
Indonesia: Belajar dari Gejolak Dunia
Indonesia tidak imun terhadap badai kapitalisme global. Ada beberapa titik kerentanan yang patut diwaspadai:
1. Ketergantungan pada Ekspor Komoditas
Nikel, batubara, sawit itulah tulang punggung ekspor kita. Jika harga jatuh karena krisis global, penerimaan negara langsung goyah.
2. Utang dan Defisit
Pasca pandemi, utang pemerintah melonjak. Pembayaran bunga makin besar, sehingga ruang fiskal untuk subsidi rakyat semakin sempit.
3. Ketimpangan Sosial
Data BPS menunjukkan 1% orang terkaya menguasai hampir separuh kekayaan nasional. Kelas menengah hidup "gaji ke gaji", tanpa tabungan memadai. Krisis global bisa membuat jutaan orang turun kelas dalam sekejap.
4. Polarisasi Politik
Seperti AS, Indonesia juga rawan politik populis yang memanfaatkan krisis. Polarisasi agama dan identitas bisa menjadi pemicu chaos sosial.
5. Ekologi dan Iklim
Krisis iklim memperparah kerentanan. Banjir, kebakaran hutan, dan gagal panen dapat memicu konflik agraria dan migrasi paksa.
Interregnum Indonesia: Tatanan Lama Belum Usai, yang Baru Belum Jelas
Indonesia saat ini juga sedang mengalami fase "interregnum". Demokrasi elektoral berjalan, tetapi oligarki ekonomi makin kuat. Pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi ketimpangan makin tajam. Elite politik masih wajah lama, sementara generasi muda menuntut perubahan.
Kondisi ini rawan chaos bukan karena rakyat "suka ribut", tetapi karena ada kekosongan hegemoni. Jika negara tidak mampu memberi arah jelas, ruang kosong itu akan diisi oleh populisme, politik identitas, bahkan kekerasan sosial.
Jalan ke Depan: Jangan Jadi Korban "Disaster Capitalism"
Pertanyaannya: apakah Indonesia akan mengikuti pola krisis-kerusuhan seperti Amerika, atau bisa keluar dari jebakan?
Ada beberapa langkah yang perlu dipikirkan:
1. Bangun Ekonomi Berdaulat
Hilirisasi industri jangan hanya jargon, tapi harus benar-benar menciptakan lapangan kerja rakyat.
Diversifikasi energi dan pangan agar tidak terguncang harga global.
2. Perkuat Negara yang Demokratis
Negara harus hadir melindungi rakyat, bukan hanya elite bisnis.
Tapi kuatnya negara bukan berarti otoriter; ia harus demokratis, transparan, dan akuntabel.
3. Narasi Alternatif Ekonomi
Indonesia perlu membangun model ekonomi solidaritas: koperasi, BUMDes, ekonomi hijau.
Jangan terjebak dikotomi neoliberalisme vs kapitalisme negara. Ada jalan lain yang berbasis kedaulatan rakyat.
4. Kelola Polarisasi Politik
Pemimpin harus bisa merangkul, bukan mengadu domba.
Jika krisis datang, retorika pemecah belah hanya akan mempercepat chaos.
Penutup
Kapitalisme, krisis, dan chaos adalah satu paket yang terus berulang dalam sejarah dunia. Amerika sedang mengalaminya, Eropa pun demikian. Indonesia harus belajar agar tidak terseret ke pusaran yang sama.
Kita membutuhkan kepemimpinan visioner, kebijakan ekonomi berdaulat, dan narasi politik yang menyatukan. Jika tidak, kita akan menjadi korban "disaster capitalism", di mana setiap krisis hanya menjadi alasan bagi elite untuk menambah kekayaan, sementara rakyat makin menderita.
Sejarah memberi kita pilihan: menjadi bangsa yang tangguh menghadapi krisis, atau bangsa yang kembali terpecah oleh chaos. Pilihan itu ada di tangan kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI