Tak heran, banyak pakar menyebut kapitalisme Amerika sedang memasuki fase interregnum seperti kata Gramsci: tatanan lama sekarat, tatanan baru belum lahir. Chaos pun muncul sebagai tanda zaman.
Tiongkok dan Asia: Kapitalisme Negara sebagai Alternatif?
Sementara itu, Tiongkok justru menjadikan krisis global sebagai momentum untuk mengukuhkan pengaruh. Melalui proyek Belt and Road Initiative (BRI), investasi besar-besaran infrastruktur, dan penguasaan rantai pasok teknologi, Tiongkok menawarkan model state capitalism kapitalisme dengan kendali kuat negara.
Banyak negara berkembang tergiur, termasuk Indonesia. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar solusi atau justru jebakan ketergantungan baru?
Global South: Krisis sebagai Jalan Masuk Neoliberalisme
Naomi Klein menyebut fenomena ini sebagai disaster capitalism. Setiap kali terjadi bencana atau krisis, lembaga internasional (IMF, Bank Dunia, WTO) kerap masuk membawa "obat" berupa privatisasi, deregulasi, dan austerity. Faktanya, resep ini sering memperparah ketimpangan, bukan menyelesaikan masalah.
Negara-negara di Global South Asia, Afrika, Amerika Latin seringkali menjadi korban paling parah. Ketika terjadi krisis, utang membengkak, aset publik dijual murah, rakyat kehilangan akses atas tanah, air, dan energi.
Indonesia: Belajar dari Gejolak Dunia
Indonesia tidak imun terhadap badai kapitalisme global. Ada beberapa titik kerentanan yang patut diwaspadai:
1. Ketergantungan pada Ekspor Komoditas
Nikel, batubara, sawit itulah tulang punggung ekspor kita. Jika harga jatuh karena krisis global, penerimaan negara langsung goyah.