Jujut saja, saya membeca beberapa media terkait dengan Menteri Keuangan RI yang baru, terlihat kritis dan spontan dalam penyampaian sesuatu. Berkaitan dengan kebijakan fiscal, tentu merutut saya bahwa pandanga-pandangan beliau bias dikatakan mengjundang kontrovesi tapi di lain sisi belau menagatakan semua itu muda dan gampang.
Setiap kali Menteri Keuangan meluncurkan wacana "insentif agar uang orang kaya ditempatkan di Indonesia," saya hanya bisa tersenyum getir. Kalimat itu terdengar seperti menawarkan diskon parkir di pasar tradisional kepada orang yang sudah punya garasi Ferrari di Swiss, modelnya seperti itu.
Pertanyaannya sederhana: siapa yang diajak bicara? Para konglomerat yang kekayaannya lahir dari rente CPO, batubara, nikel, dan pembangkit listrik yang penuh subsidi, konflik lahan, dan jejak karbon. Mereka bukan lagi berhitung soal IRR atau EBITDA, tapi tiket jet pribadi, paspor kedua, hingga second home di Melbourne atau Vancouver.
Minta mereka "parkir uang" di Indonesia sama saja dengan menyuruh pencuri menabung di brankas polisi.
Uang Lari, Negara Bingung
Lucunya, pemerintah berbicara seakan-akan ini sekadar urusan insentif fiskal. Padahal motif sebenarnya jauh lebih sederhana: survival pribadi. Mereka tahu asal-usul kekayaan itu rapuh secara hukum, dan bermasalah secara moral. Karena itu, uangnya lari duluan ke luar negeri bahkan sebelum aparat sempat membuat pasal baru.
Rupiah tertekan bukan karena rakyat kecil membeli beras impor, tapi karena elite memindahkan likuiditas demi rasa aman. Negara akhirnya kelabakan, seperti dokter yang bernegosiasi dengan virus agar jangan terlalu ganas. Atau seperti memohon kepada lintah: "Tolong, sedot darahnya jangan banyak-banyak, nanti pasien pucat."
Kenapa Insentif Tidak Cukup?
Mari jujur. Memberi insentif fiskal kepada konglomerat sama saja seperti menyodorkan vitamin kepada perokok berat lalu berharap paru-parunya sembuh. Tidak menyentuh akar masalah.
Insentif hanya efektif kalau ada trust, kepercayaan. Dan trust tidak lahir dari potongan pajak atau bunga deposito tinggi, melainkan dari tata kelola negara yang bersih, adil, dan konsisten. Tanpa itu, konglomerat tetap akan membawa kabur uangnya, bahkan jika tarif pajak di Indonesia lebih rendah sekalipun.