Nabire, tanah yang selalu kita kenal dengan keramahan masyarakatnya dan keindahan Teluk Cenderawasih, kembali diguncang kenyataan pahit. Jumat dini hari, 19 September 2025, pukul 01.19 WIB, bumi bergetar cukup keras. BMKG mencatat magnitudo 6,6 dengan pusat gempa 12 km Barat Daya Nabire, kedalaman hanya 24 km. Tidak ada potensi tsunami, tetapi guncangan terasa hingga Wasior dan Timika.
Bayangkan, saat orang-orang masih terlelap, bumi tiba-tiba bergoyang hebat. Dinding rumah berderak, kaca bergetar, orang-orang berhamburan keluar rumah dengan wajah panik. Itu bukan adegan film, melainkan kenyataan yang dialami saudara-saudara kita di Nabire.
Gempa Bumi Bukan Sekadar Data Angka
Setiap kali ada gempa, kita selalu mendengar angka: magnitudo sekian, kedalaman sekian, koordinat sekian. Tapi sesungguhnya, di balik angka itu ada kisah manusia: seorang anak yang menangis mencari ibunya, pedagang pasar yang cemas kehilangan barang dagangan, atau pasien di rumah sakit yang harus dievakuasi dengan terburu-buru.
Gempa bumi bukan sekadar fenomena geologi. Ia adalah ujian sosial---bagaimana masyarakat bertahan, bagaimana pemerintah hadir, dan bagaimana solidaritas tumbuh.
Papua, Daerah Cincin Api
Kita tahu, Papua termasuk wilayah rawan gempa karena berada di jalur "Ring of Fire". Bagi masyarakat, ini berarti hidup berdampingan dengan ancaman yang bisa datang kapan saja. Sejarah sudah mencatat, Nabire pernah mengalami gempa besar pada 2004 yang menyebabkan korban jiwa dan kerusakan cukup parah.
Kini, 21 tahun setelah itu, bumi seolah mengingatkan kita kembali. Apakah kita sudah siap?
Solidaritas Sosial, Kekuatan Papua
Namun ada hal yang selalu membuat saya bangga: setiap kali ada bencana di Papua, solidaritas masyarakat langsung terasa. Orang-orang saling bantu, tidak menunggu perintah. Tetangga menjadi saudara, sahabat menjadi keluarga.