Longsor di tambang Grasberg, Papua, milik PT Freeport Indonesia pada September 2025 menjadi tragedi yang meninggalkan luka mendalam. Puluhan pekerja dinyatakan tewas, sebagian masih hilang, dan ribuan keluarga kehilangan sosok pencari nafkah. Namun, tragedi ini bukan hanya soal statistik kematian. Ia juga mengguncang fondasi ekonomi, politik, dan tata kelola pertambangan nasional. Produksi anjlok hingga 70 persen, negara berpotensi kehilangan puluhan triliun rupiah, dan Smelter Gresik yang baru diresmikan ikut terganggu karena pasokan konsentrat tidak stabil.
Peristiwa ini seakan menampar kesadaran kita: di balik gemerlap angka investasi dan penerimaan negara, ada rapuhnya sistem keselamatan, lemahnya pengawasan, dan abainya kepedulian terhadap nyawa manusia.
Kegagalan Sistem Keselamatan
Longsor Grasberg 2025 memperlihatkan bahwa sistem keselamatan di salah satu tambang emas dan tembaga terbesar dunia ternyata tidak sekuat yang dibayangkan. Deteksi dini longsor gagal, sistem komunikasi darurat tersendat, dan proses evakuasi tidak berjalan optimal. Padahal, regulasi nasional seperti PP No. 50 Tahun 2012 tentang SMK3 dan Permen ESDM No. 18 Tahun 2023 tentang keselamatan pertambangan sudah jelas mewajibkan standar tinggi.
Jika dibandingkan dengan negara-negara tambang besar seperti Australia, Kanada, atau Chili, sistem kita jauh tertinggal. Di sana, teknologi geoteknik modern, sensor tanah, hingga simulasi skenario bencana dipakai secara rutin untuk mengurangi risiko. Ironisnya, di Freeport yang selalu dipuji karena teknologi canggih, tragedi longsor masih bisa menelan korban begitu banyak. Artinya, persoalan bukan sekadar teknologi, melainkan tata kelola, budaya keselamatan, dan keberanian perusahaan menempatkan nyawa pekerja di atas target produksi.
Dampak Ekonomi: Dari Papua hingga Jawa
Tidak bisa dipungkiri, kerugian ekonomi dari longsor ini sangat besar. Produksi turun hingga 70 persen berarti pasokan konsentrat emas dan tembaga ke dalam negeri dan luar negeri ikut tersendat. Negara kehilangan potensi penerimaan puluhan triliun rupiah dari pajak, royalti, dan dividen.
Yang lebih serius, Smelter Gresik yang baru saja dipuji sebagai tonggak hilirisasi nasional ikut terguncang. Tanpa bahan baku dari Grasberg, smelter tidak bisa beroperasi optimal. Artinya, hilirisasi yang selalu dibanggakan sebagai jalan menuju kemandirian ekonomi nasional masih sangat rapuh, karena tergantung pada satu sumber utama: Freeport.
Dampak ke Papua pun nyata. Ribuan pekerja lokal kehilangan mata pencaharian sementara, ekonomi sekitar tambang lumpuh, dan ketidakpuasan sosial meningkat. Di sisi lain, hilangnya aliran dana ke kas negara berimbas pada program pembangunan, baik di pusat maupun daerah.
Dinamika Politik: Nasionalisasi atau Reformasi?
Tragedi Grasberg juga mengundang gemuruh politik. DPR mulai mendesak pemerintah untuk mengevaluasi ulang perjanjian dengan Freeport. Beberapa fraksi bahkan menyerukan peningkatan kepemilikan saham pemerintah, hingga opsi nasionalisasi penuh. Tekanan publik makin keras karena longsor dianggap bukti bahwa manajemen Freeport tidak menempatkan keselamatan sebagai prioritas utama.
Kementerian ESDM juga berada di bawah sorotan. Apakah pengawasan mereka terlalu lemah? Apakah ada kompromi terhadap standar keselamatan demi menjaga produksi? Tidak menutup kemungkinan tragedi ini akan memicu perombakan di tubuh kementerian, terutama pada pos-pos yang bertanggung jawab langsung terhadap pengawasan tambang.
Bagi Papua sendiri, isu ini bukan hanya soal Freeport. Lebih dalam, ia menghidupkan kembali perdebatan lama tentang keadilan. Selama puluhan tahun tanah Papua dikeruk, emas dan tembaga diangkut keluar, tetapi masyarakat sekitar masih hidup dengan segala keterbatasan. Kini, ketika nyawa pekerja melayang, wajar bila tuntutan keadilan kembali menguat.
Tiga Skenario Masa Depan
Melihat kondisi ini, ada tiga skenario yang bisa dipertimbangkan untuk masa depan Freeport: Pertama, Freeport bisa tetap beroperasi dengan catatan harus melakukan reformasi total dalam hal keselamatan, transparansi, dan tata kelola. Pemerintah perlu memperketat pengawasan, melibatkan lembaga independen, serta memastikan standar internasional benar-benar dipatuhi. Kedua, emerintah mengambil alih saham lebih besar dan secara bertahap menasionalisasi tambang. Langkah ini akan memperbesar kontrol negara, meski risikonya adalah keterbatasan manajemen dan modal untuk mengelola tambang sebesar Grasberg.
Ketiga, Opsi paling ekstrem, tetapi tidak boleh diabaikan. Jika keselamatan tidak pernah dibenahi, dan korban terus berjatuhan, maka penutupan permanen demi menyelamatkan nyawa dan lingkungan adalah pilihan moral.
Data historis menunjukkan korelasi negatif antara kecelakaan kerja dan produktivitas. Semakin sering kecelakaan terjadi, semakin rendah produksi. Ini membuktikan bahwa keselamatan bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga kunci keberlangsungan ekonomi.
Tragedi sebagai Titik Balik
Longsor Grasberg 2025 harus dipandang sebagai titik balik. Kita tidak bisa lagi menutup mata dengan alasan "resiko alam". Betul, tambang terbuka memang rentan longsor, tetapi itu justru alasan mengapa sistem keselamatan harus paling ketat.
Nyawa manusia tidak bisa ditukar dengan berapa pun ton konsentrat yang berhasil diangkut. Apalagi jika kerugian akhirnya bukan hanya nyawa, tetapi juga triliunan rupiah, stabilitas politik, hingga kepercayaan masyarakat Papua kepada negara.
Hilirisasi yang dibanggakan, penerimaan negara yang dikejar, dan investasi yang dielu-elukan tidak akan berarti jika di atas semua itu berdiri di atas nyawa pekerja yang terabaikan.
Kelayakan operasional Freeport pasca longsor kini benar-benar dipertanyakan. Reformasi menyeluruh pada sistem keselamatan, tata kelola, dan pengawasan adalah syarat mutlak. Pemerintah harus berani menegakkan aturan tanpa kompromi, sementara Freeport wajib menempatkan keselamatan di atas target produksi.
Jika reformasi gagal, maka nasionalisasi atau bahkan penutupan permanen bukan lagi sekadar wacana, melainkan pilihan moral dan politik yang harus diambil. Tragedi Grasberg telah memberi pelajaran mahal: tambang bukan hanya soal emas dan tembaga, melainkan tentang nyawa, keadilan, dan masa depan bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI