Sebuah hal menarik dalam berpemerintahan di Papua dan perbandingan di daerah lain di Indonesia, saya ini menganalisis melalui opini ini bahwa: camat adalah pejabat perangkat daerah yang memimpin kecamatan di Papua di sebut distrik sebagai perpanjangan tangan bupati atau wali kota. Dalam sistem nasional, camat dipandang sebagai figur strategis karena menjadi penghubung antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Jabatan ini tidak sekadar simbol administrasi, melainkan ujung tombak pelayanan publik, koordinasi pembangunan, hingga pembinaan kehidupan sosial politik di tingkat local bersentuhan lansung dengan masyarakat.
Namun di Papua, posisi camat yang lazim disebut kepala distrik, memiliki kekhususan tersendiri dengan pandangan afiirmatif bagi orang Papua. Kehadiran Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (yang diperbarui dengan UU No. 2 Tahun 2021) memberi ruang afirmasi agar jabatan kepala distrik diutamakan untuk orang asli Papua (OAP). Syarat kompetensi disiplin ilmu pemerintahan tidak lagi menjadi hal yang mutlak. Siapa pun putra daerah, selama berstatus ASN, ia bisa diangkat sebagai kepala distrik, meski latar belakangnya disiplin ilmunya kesehatan, ekonomi, pendidikan, planologi, atau pertanian.
Di sinilah muncul dilema antara profesionalisme ASN yang dituntut oleh sistem nasional, dengan afirmasi OAP yang dijamin oleh kebijakan Otsus.
Camat Menurut UU Pemerintahan Daerah
Dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, camat merupakan perangkat daerah kabupaten/kota yang menjalankan sebagian kewenangan bupati/wali kota. Tugas pokok camat antara lain: Pertama, menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah kecamatan. Kedua, mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Ketiga, membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan. Keempat, melaksanakan pelayanan publik. Kelima, menegakkan perda serta menjaga ketenteraman dan ketertiban umum.
Karena itu, jabatan camat secara normatif menuntut kompetensi administrasi pemerintahan daerah di Indonesia. Pengangkatan camat dilakukan berdasarkan prinsip merit system dalam ASN jenjang kepangkatan, kompetensi, dan pengalaman di bidang pemerintahan, namum kasus ini pengangkatan barupun boleh diangkat jadi camat dengan catatan berorientasi kepentingan politik dengan bupati adalah mitlak dan mengikat untuk diankat jadi camat, istilahnya yang penting timses bupati/walikota.
Dengan kata lain, jabatan camat dirancang untuk profesional. Latar belakang pendidikan hukum, pemerintahan, administrasi publik, atau disiplin terkait biasanya dianggap paling sesuai, agar menyatuh dan berjalan efektif.
Camat di  Papua dalam Kerangka Otsus
Berbeda dengan norma nasional, Papua memiliki kekhususan melalui kebijakan Otsus. UU No. 21 Tahun 2001 jo. UU No. 2 Tahun 2021 menegaskan bahwa jabatan kepala distrik diutamakan untuk putra asli Papua. Prinsip ini lahir dari semangat afirmasi dan pengakuan terhadap hak politik orang asli Papua agar mereka terlibat langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Disinilah nampak jelas bahwa, prombel ini berimbas patologi birokrasi yang tidak efektif, efesien, dan transparan dalam menjalankan roda pemerintahan kecamatan, problemnnya adalah bukan latar displin ilmu yang paham dan mengikat dengan kepentingan politik. Oleh sebab itu perluh ada kesamaan pandangan bagi para bupati/walikota agar meningkatkan SDM di bidang pemerintahan yang siap di pakai, ini adalah tugas utama pemerintah daerah.
Konsekuensinya, disiplin ilmu tidak lagi dipersoalkan, adalah masalah. Seorang ASN berlatar belakang sarjana kedokteran, teknik, pendidikan, bahkan ekonomi bisa saja menjabat kepala distrik. Yang penting, ia adalah OAP dan diterima oleh masyarakat setempat. Sehingga hal ini bebanar-benar tugas pemerintah agar menyelengarak pemerintahan dengan baik.
Secara politik, kebijakan ini memperkuat legitimasi sosial. Kepala distrik yang berasal dari putra daerah dianggap lebih diterima, lebih dipercaya, dan lebih mampu memahami kultur masyarakat atau usulan masyarakat itu sendiri. Tetapi dari aspek teknis administrasi, kebijakan ini menimbulkan sejumlah persoalan yang mengkotak-kotakan sesame orang Papua atau sesame anak bangsa yang mampu diabaikan dengan alas an yang penting putra daerah asal dari distrik tersebut menjadi syarat untuk di terima.
Problem Efektivitas Pelayanan Publik
Kepala distrik dengan latar belakang non-pemerintahan sering membutuhkan waktu lama untuk memahami regulasi, tata kelola, dan mekanisme birokrasi. Proses adaptasi ini kadang memperlambat pelayanan administrasi kependudukan, koordinasi pembangunan, hingga penegakan perda, ini nyata.
Bagi masyarakat, keterlambatan pelayanan ini tentu menjadi keluhan. Publik tidak melihat apa disiplin ilmu kepala distrik, tetapi mereka merasakan langsung kualitas pelayanan. Ketika proses surat menyurat berlarut, atau koordinasi antar instansi tersendat, masyarakat yang dirugikan.
Kendala Efisiensi dan Adaptasi Pada Tupoksi
Efisiensi pemerintahan di tingkat kecamatan menuntut kecepatan, koordinasi, dan ketepatan regulasi. Namun dalam praktik, kepala distrik yang bukan dari disiplin pemerintahan harus belajar banyak hal: menyusun laporan administrasi, memahami struktur APBD, hingga mengkoordinasikan penyusunan RPJMD. Proses adaptasi ini tidak sebentar, bahkan bisa memakan masa jabatan itu sendiri.
Ketidakefisienan ini menimbulkan beban tambahan bagi perangkat teknis. Sekretaris distrik, kepala seksi, hingga staf administrasi sering harus bekerja lebih keras untuk menutupi kelemahan kompetensi kepala distrik. Dalam jangka panjang, ini berpotensi menurunkan kualitas tata kelola pemerintahan.
Dilema Regulasi: Afirmasi vs Profesionalisme
Dilema ini tidak sederhana, dari sisi keadilan politik, Otsus memang hadir untuk memberi ruang istimewa bagi orang asli Papua. Tetapi dari sisi hukum administrasi, UU 23/2014 menuntut profesionalisme ASN agar pelayanan publik berjalan efektif.
Pertanyaan yang muncul: apakah afirmasi boleh mengorbankan profesionalisme? Ataukah profesionalisme bisa dipaksakan tanpa mempertimbangkan legitimasi sosial budaya di Papua?
Di sinilah dilema regulasi itu nyata. Otsus memberikan ruang afirmatif, tetapi pelayanan publik tidak bisa ditawar. Afirmasi yang tidak diimbangi kompetensi justru berisiko memperburuk citra pemerintahan di mata masyarakat.
Solusi Reflektif
Mencari jalan tengah adalah keharusan. Putra asli Papua tetap perlu diberi prioritas sebagai kepala distrik demi penghormatan terhadap Otsus. Namun syarat kompetensi dan disiplin ilmu pemerintahan harus diperkuat.
Caranya, pemerintah daerah perlu menyiapkan kaderisasi ASN putra asli Papua melalui pendidikan, pelatihan, dan penempatan karier yang terarah di bidang pemerintahan. Dengan demikian, afirmasi tetap berjalan, tetapi profesionalisme tidak diabaikan.
Refleksi pentingnya: UU Pemerintahan Daerah (UU 23/2014) seharusnya ditegakkan lebih kuat ketimbang ketentuan afirmasi dalam UU Otsus. Afirmasi hanyalah jalan menuju keadilan politik, tetapi pelayanan publik adalah kebutuhan nyata masyarakat sehari-hari. Jika dilema ini tidak segera diatasi, Otsus bisa kehilangan makna, karena tujuan utamanya kesejahteraan masyarakat Papua tidak tercapai.
Afirmasi tanpa kompetensi hanya akan menciptakan jabatan simbolis, bukan pemerintahan yang efektif. Sebaliknya, profesionalisme tanpa afirmasi bisa mengabaikan hak politik OAP. Karena itu, keduanya harus dipadukan dalam kerangka hukum yang jelas, dengan menegakkan UU Pemerintahan Daerah sebagai pedoman utama.
Dengan cara ini, dilema camat di Papua bisa diubah menjadi solusi: jabatan kepala distrik tetap diisi putra asli Papua, namun dengan bekal profesionalisme pemerintahan yang kuat. Masyarakat pun akan mendapatkan pelayanan publik yang adil, cepat, dan bermutu, sesuai cita-cita Otsus itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI