Mohon tunggu...
Jemi Kudiai
Jemi Kudiai Mohon Tunggu... Pemerhati Governace, Ekopol, Sosbud

Menulis berbagi cerita tentang sosial, politik, ekonomi, budaya dan pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Nawacita-Astacita: Jalan Panjang Visi Indonesia

13 September 2025   18:13 Diperbarui: 13 September 2025   18:13 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Istana rilis capaiaan program Asta Cita. IDN.doc

(Analisis Kebijakan Transmigrasi, Koperasi Meraputi dari Perspektif Keindonesiaan)

Dalam perpaduan dua pandangan pemimpin bangsa, era Jokowi dengan visi Nawacita dan Era Prabowo dengan visi Astacita. Visi dari keduanya sama, tujuannya demi kemakmuran rakyat Indonesia. Mengambarkan kebijakan taransmigrasi sering bersifat top-down (istruksi dari pusat). Sementara itu koperasi Merah Putih harus bersifat bottom-up (inisiatif rakyat). Prinsipnya bahwa keduanya diintegrasikan agar saling menopang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Program Nawacita yang digagas Jokowi--Jusuf Kalla (2014--2019) merupakan tonggak penting dalam meneguhkan arah pembangunan nasional. Salah satu agenda prioritasnya adalah pemberantasan kemiskinan melalui program transmigrasi, yakni pemindahan penduduk dari daerah padat ke wilayah yang masih longgar. Ide ini bukan hal baru, tetapi dalam Nawacita diposisikan sebagai instrumen strategis untuk pemerataan pembangunan sekaligus memperkokoh eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Namun, program transmigrasi bukan sekadar soal pemindahan penduduk. Ia menyentuh aspek mendasar penyiapan lahan, hak ulayat masyarakat adat, regulasi daerah, hingga potensi konflik sosial. Pemerintah pusat kerap menekankan pentingnya percepatan, tetapi pemerintah daerah sering kali terbebani. Di Papua dan Kalimantan, misalnya, program ini berhadapan langsung dengan kompleksitas tanah adat. Pertanyaan krusial muncul apakah kebijakan ini benar-benar mengindonesiakan, atau justru melahirkan kesan "jawa-sentris" dalam pembangunan nasional?

Desakan dan Keharusan

Setidaknya ada dua dimensi penting yang dapat dibaca dari kebijakan transmigrasi dalam kerangka Nawacita. Pertama, desakan pemerintah pusat agar daerah segera menyiapkan lahan. Kedua, keharusan bagi pemerintah daerah untuk menindaklanjuti instruksi tersebut melalui aturan dan mekanisme lokal. Inilah titik rawan kebijakan yang lahir dari visi pusat sering kali tidak sinkron dengan realitas sosial, budaya, dan hukum adat di daerah.

Pasal 33 UUD 1945 memang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara. Namun, dalam praktiknya tanah adat tetap memiliki posisi kuat di hadapan masyarakat lokal. Ketika program transmigrasi dijalankan tanpa mekanisme partisipatif, potensi konflik sosial menjadi ancaman nyata.

Mengindonesiakan atau Membebani?

Program Rp 1,4 miliar per desa per tahun sesuai amanat UU Desa 2014 adalah contoh lain bagaimana visi besar pemerintah pusat perlu diterjemahkan dengan cermat di daerah. Konsep "membangun dari desa" sejatinya sejalan dengan Nawacita. Namun, dalam implementasi transmigrasi, sering kali terjadi paradoks di satu sisi ingin memeratakan pembangunan, di sisi lain berpotensi mengikis kultur masyarakat asli.

Kebijakan ini kerap dianggap melanjutkan pola pembangunan ala Orde Baru yang seragam dan "Jawa-sentris". Jika tidak hati-hati, transmigrasi bisa berubah menjadi instrumen asimilasi paksa alih-alih pemberdayaan. Pertanyaannya, apakah visi besar ini benar-benar mengindonesiakan, atau sekadar melestarikan pola lama yang mengabaikan pluralitas etnik dan kearifan lokal?

Dari Nawacita ke Astacita

Kini, di era Prabowo--Gibran dengan visi Astacita, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan serupa bagaimana memastikan program nasional benar-benar berpihak pada rakyat, bukan sekadar simbol pencitraan politik atau proyek pembangunan top-down. Transmigrasi, bila dijalankan dengan prinsip Trisakti Bung Karno berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan akan menjadi jalan panjang untuk memanusiakan bangsa, bukan sekadar memindahkan penduduk.

Menegaskan bahwa Nawacita dan Astacita sama-sama membawa visi besar untuk Indonesia. Namun, implementasi kebijakan transmigrasi sebagai salah satu instrumennya harus dijalankan dengan hati-hati. Pemerintah pusat perlu memahami realitas sosial-budaya lokal, sementara pemerintah daerah harus aktif merancang regulasi yang adil dan partisipatif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun