Mohon tunggu...
Jason Aldrich Kenan
Jason Aldrich Kenan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Heydooo! Perkenalkan saya Jason Aldrich Kenan, mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Literasi Digital: Definisi dan Implementasinya di Indonesia

27 Desember 2021   15:49 Diperbarui: 27 Desember 2021   15:51 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Jika didefinisikan kata perkata, literasi digital terdiri dari 2 kata, yaitu ‘literasi’ dan ‘digital’. Literasi sendiri dalam KBBI berarti: “Kemampuan menulis dan membaca; Pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.” Sedangkan digital mempunyai arti: “berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu; berhubungan dengan penomoran”. 

Pengertian di atas sekiranya sudah menjelaskan definisi dari literasi digital, yaitu kemampuan, keterampilan, juga pengetahuan dalam bidang tertentu, yang di mana dalam hal ini adalah media digital. Hanya saja pemaknaan kata ‘digital’ di sini berarti media yang digunakan, yang memang media tersebut akrab dengan penomoran (baca: komputer).

Prof. David Bawden dari City University, UK (dalam Thomas, 2020) mendefinisikan digital literacy sebagai kemampuan untuk membaca serta mengerti hypertextual serta multimedia text. Ia sendiri mendefinisikan secara detail apa itu ‘digital’ serta ‘literacy’.

“Literacy per se, in a digital age, means an ability to understand information presented, and that digital literacy involves the skill of deciphering images, sounds, etc. as well as text”.

Beliau menekankan digital sebagai media baru yang berbeda dari media cetak, yang di mana media ini dapat menghasilkan suara juga gambar, dsb. Media digital ini juga menjadi sarana baru pengekspresian informasi, yang kemudian dapat kita implementasikan dalam konsep presentasi yang inovatif.

Lalu kemampuan seperti apa saja yang disebut sebagai literasi digital? Eshet-Alkalai (2012) membagi literasi digital menjadi 5 bagian yaitu:

  • Photo-visual literacy: yaitu kemampuan untuk menerima dan menganilisis informasi berupa gambar visual.
  • Reproduction literacy: yaitu kemampuan untuk menggunakan teknologi digital untuk membuat karya baru atau mengkombinasikan karya yang ada sehingga menjadi karya sendiri yang baru dan unik.
  • Branching literacy: yaitu kemampuan untuk menggunakan teknologi dengan baik (bernavigasi dengan baik) dalam dunia digital yang luas.
  • Information literacy: kemampuan untuk mencari, menemukan, menilai dan mengevaluasi secara kritis informasi yang ditemukan baik dalam media web maupun rak perpustakaan.
  • Socio-emotional literacy: yaitu kemampuan untuk berkolaborasi pengetahuan seperti mampu mengevaluasi data, memiliki pemikiran abstrak, dan mampu merancang pengetahuan dengan manusia lain melalui kolaborasi virtual.

Implementasi Literasi Digital

Literasi digital dapat kita mulai dari tingkat pendidikan, dari jenjang yang paling dasar. Penerapan literasi digital ini dapat kita contoh dari China. Sejak 2010, pemerintah China lewat Ministry  of  Education  of  China, mempublikasikan Plan of The National Plan untuk mereformasi dan mengembangkan pendidikan jangka panjang China (Liu, 2020). 

Salah satu contohnya adalah: “distance learning in China  in the  form  of  radio  and  television  became  the  basis  for  the  gradual  development  of network education as the main form of modern distance learning”. Program ini diawali dalam jenjang universitas, diantaranya Tsinghua University,  Zhejiang  University,  Hunan  University, dan Peking  University  of  Posts  and  Telecommunications.

Literasi digital dalam dunia pendidikan dapat kita lihat temukan pula dalam Tan (2013) dengan judul “Informal Learning on Youtube: Exploring Digital Literacy in Independent Online Learning” ditemukan bahwa platform Youtube kini menjadi sumber ilmu pengetahuan. Youtube kini menjadi informal learning enviroment, dengan kelebihannya yaitu open-ended, non-threatening, enjoyable, and explorative. Berkat environment tersebut, dengan sendirinya Youtube menjadi tempat menemukan ilmu pengetahuan baru dengan sensasi discovery bagi para siswa. Menarik jika dilihat Youtube sebagai sumber pengetahuan informal, namun hal tersebut adalah fakta. 

Lingkungan pendidikan informal lebih menekankan kepada enjoyable namun tetap edukatif dalam pelaksanaannya, peran guru juga seakan tak ada dalam lingkungan ini, sehingga siswa sendiri yang mengarahkan atau menjadi guru bagi dirinya sendiri. Sehingga Youtube dapat kita sebut sebagai lingkungan informal karena dalam pengoperasiannya, siswa terasa tak terkekang justru lebih bebas memilih pengetahuan apa yang ingin ia ketahui dan pelajari.

Tidak hanya Youtube, platform digital lain kini sedikit-banyak memiliki dampak pendidikan yang positif. Apalagi jika kita berbicara soal Google, mesin pencari yang sudah pasti dikenal masyarakat, juga amat banyak memberi dampak positif. Bahkan saat ini masyarakat Indonesia bahkan dunia memiliki jargon “tinggal tanya mbah google” atau “just google it!” setiap kali keluarga atau kerabat bertanya soal isu yang sedang hangat. Kedahsyatan Google saat ini memang amat luar biasa. 

Bahkan dalam salah satu artikel theconversation.com (2018) ditemukan bahwa Google kini menjadi perpanjangan otak manusia atau “literal extension of our mind”. Tak heran bila dalam masa pandemi ini di mana social distancing dilakukan, membuat semakin maraknya penggunaan teknologi, tak hanya Google, Facebook, ataupun aplikasi komunikasi seperti Whatsapp ataupun Line, kini dengan maraknya pertemuan daring, membuat teknologi video conference seperti Zoom, Google Meet, Skype, dsb, menjadi semakin berkembang luar biasa cepat. Kini, pembelajaran benar-benar ada di tahap baru, yaitu pembelajaran yang berkolaborasi amat erat dengan teknologi.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Beberapa waku kebelakang, penulis berkesempatan untuk mewawancari salah satu pendidik Jakarta yaitu Ibu Fadlilah Hayati, S.Pd atau yang akrab dipanggil Bu Dila. Saat ini Bu Dila mengajar di SMPN 116 Jakarta Utara sebagai guru bahasa Indonesia kelas 8. Dalam kesempatan tersebut, penulis bertanya mengenai pendapat Bu Dila terkait dengan literasi digital serta hal yang berkaitan dengan itu, yaitu content creator.

Dengan background beliau sebagai guru bahasa Indonesia, beliau menekankan poin pada literasi secara umum adalah kemampuan berbahasa, tidak hanya membaca, namun juga menulis dan berbicara. Perbedaan literasi digital dengan literasi ‘tradisional’, Bu Dila tekankan pada media yang digunakan. 

Jika sebelumnya siswa dapat berliterasi lewat membaca buku ataupun membuat mading, kini dalam dunia digital, siswa menunjukkan literasi digitalnya lewat menulis pada laman website, membuat cerita pendek ataupun novel. Menariknya, siswa bukan hanya sekadar berliterasi, namun dari hasil karya mereka, siswa kini dapat menambah uang jajan mereka dengan berjualan apa yang mereka buat.

Pemahaman literasi digital memang secara tak langsung dan tak sadar diajarkan kepada siswa, namun karena adanya pandemi, pemahaman tersebut seakan digencarkan dengan adanya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Awalnya penulis sendiri berkesan skeptis dengan PJJ ini, karena siswa yang Bu DIla ajar adalah anak berusia 12-15 tahun. 

Bagaimana mungkin anak dengan usia tersebut dapat mengikuti pembelajaran secara online yang sama sekali tanpa pelatihan sebelumnya. Menariknya, ternyata memang anak generasi saat ini sudah begitu akrab dengan gawai. Kendala paling besar saat awal penerapan PJJ ada pada kesiapan juga niat murid serta media pembelajarannya.

Lalu bagaimana PJJ ini dapat berjalan? PJJ dilaksanakan lewat media seperti Whatsapp Group, Zoom, Google Meet, Kahoot, dsb. Pada masa awal PJJ menjadi masa yang cukup berat. Penyuluhan secara intensif dilakukan sekolah kepada para orang tua murid sebagai langkah awal PJJ. Orang tua diminta untuk lebih lagi dalam mengawasi serta memotivasi anak dalam kegiatan pembelajaran. Misal saja, masih banyak ditemukan siswa tidak hadir tepat waktu dalam ruang virtual zoom, untuk mengatasi hal ini, guru seringkali menelepon orang tua murid agar murid segera dibangunkan. Perihal buku dan bahan pembelajaran, siswa mendapatkannya dalam bentuk fisik dari perpustakaan ataupun dalam bentuk digital berupa PDF materi.

Di masa sulit sosial juga sulit ekonomi, menimbulkan pertanyaan bagi penulis mengenai bagaimana para siswa yang berasal dari keluarga berkecukupan untuk mengikuti PJJ? Fakta yang terjadi amat menarik, di antara mereka ada yang harus memakai gawai bergantian dengan orang tua, semisal orang tua pergi bekerja, pada malam hari (saat pulang kerja) saat itulah anak dapat menggunakan gawai untuk mengerjakan tugasnya. Terdapat juga mereka yang tidak mempunyai fasilitas gawai. Dalam kondisi ini, sekolah berupaya dengan menyiapkan modul yang siswa dapat gunakan per 2 minggu. Namun begitu, ditemukan pula para siswa yang malas dengan beralasan tidak ada kuota, dsb.

Akhir Kata

Perkembangan zaman dengan teknologinya, memaksa kita untuk terus berinovatif. Literasi digital menjadi kemampuan utama pada ‘zaman informasi’ ini. Pendidikan dalam hal ini juga ikut merasakan dampaknya, literasi digital harus diperkenalkan sedini mungkin kepada peserta didik. Dalam pelaksanaanya pun sering mengalami hambatan dan halangan. Dalam zaman yang serba modern, yang di mana merupakan ciri khas dari zaman tersebut, maka menjadi kewajiban bagi kita untuk berlitearasi digital. Literasi digital ini juga merupakan bentuk keberpikiran kita sebagai manusia juga sebagai hasil kebudayaan serta praktek kehidupan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Canada’s Centre For Digital and Media Literacy. (2021). Digital Literacy Fundamentals | MediaSmarts. (n.d.). Retrieved December 8, 2021, from https://mediasmarts.ca/digital-media-literacy/general-information/digital-media-literacy-fundamentals/digital-literacy-fundamentals

Chow-Thomas, A. (2020). DIGITAL LITERACY AND LIBERATIVE COMMUNITY ENGAGEMENT. Curator, 63(2), 265–274. https://doi.org/10.1111/CURA.12359

Eshet, Y. (2012). THINKING IN THE DIGITAL ERA: A REVISED MODEL FOR DIGITAL LITERACY. ISSUES IN INFORMING SCIENCE AND INFORMATION TECHNOLOGY, 9.

GOOGLE AT 20: HOW A SEARCH ENGINE BECAME A LITERAL EXTENSION OF OUR MIND. (n.d.). Retrieved December 8, 2021, from https://theconversation.com/google-at-20-how-a-search-engine-became-a-literal-extension-of-our-mind-102510

Tan, E. (2013). INFORMAL LEARNING ON YOUTUBE: EXPLORING DIGITAL LITERACY IN INDEPENDENT ONLINE LEARNING. Https://Doi.Org/10.1080/17439884.2013.783594, 38(4), 463–477. https://doi.org/10.1080/17439884.2013.783594

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun