Mohon tunggu...
Jason Aldrich Kenan
Jason Aldrich Kenan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Heydooo! Perkenalkan saya Jason Aldrich Kenan, mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Literasi Digital: Definisi dan Implementasinya di Indonesia

27 Desember 2021   15:49 Diperbarui: 27 Desember 2021   15:51 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Tidak hanya Youtube, platform digital lain kini sedikit-banyak memiliki dampak pendidikan yang positif. Apalagi jika kita berbicara soal Google, mesin pencari yang sudah pasti dikenal masyarakat, juga amat banyak memberi dampak positif. Bahkan saat ini masyarakat Indonesia bahkan dunia memiliki jargon “tinggal tanya mbah google” atau “just google it!” setiap kali keluarga atau kerabat bertanya soal isu yang sedang hangat. Kedahsyatan Google saat ini memang amat luar biasa. 

Bahkan dalam salah satu artikel theconversation.com (2018) ditemukan bahwa Google kini menjadi perpanjangan otak manusia atau “literal extension of our mind”. Tak heran bila dalam masa pandemi ini di mana social distancing dilakukan, membuat semakin maraknya penggunaan teknologi, tak hanya Google, Facebook, ataupun aplikasi komunikasi seperti Whatsapp ataupun Line, kini dengan maraknya pertemuan daring, membuat teknologi video conference seperti Zoom, Google Meet, Skype, dsb, menjadi semakin berkembang luar biasa cepat. Kini, pembelajaran benar-benar ada di tahap baru, yaitu pembelajaran yang berkolaborasi amat erat dengan teknologi.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Beberapa waku kebelakang, penulis berkesempatan untuk mewawancari salah satu pendidik Jakarta yaitu Ibu Fadlilah Hayati, S.Pd atau yang akrab dipanggil Bu Dila. Saat ini Bu Dila mengajar di SMPN 116 Jakarta Utara sebagai guru bahasa Indonesia kelas 8. Dalam kesempatan tersebut, penulis bertanya mengenai pendapat Bu Dila terkait dengan literasi digital serta hal yang berkaitan dengan itu, yaitu content creator.

Dengan background beliau sebagai guru bahasa Indonesia, beliau menekankan poin pada literasi secara umum adalah kemampuan berbahasa, tidak hanya membaca, namun juga menulis dan berbicara. Perbedaan literasi digital dengan literasi ‘tradisional’, Bu Dila tekankan pada media yang digunakan. 

Jika sebelumnya siswa dapat berliterasi lewat membaca buku ataupun membuat mading, kini dalam dunia digital, siswa menunjukkan literasi digitalnya lewat menulis pada laman website, membuat cerita pendek ataupun novel. Menariknya, siswa bukan hanya sekadar berliterasi, namun dari hasil karya mereka, siswa kini dapat menambah uang jajan mereka dengan berjualan apa yang mereka buat.

Pemahaman literasi digital memang secara tak langsung dan tak sadar diajarkan kepada siswa, namun karena adanya pandemi, pemahaman tersebut seakan digencarkan dengan adanya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Awalnya penulis sendiri berkesan skeptis dengan PJJ ini, karena siswa yang Bu DIla ajar adalah anak berusia 12-15 tahun. 

Bagaimana mungkin anak dengan usia tersebut dapat mengikuti pembelajaran secara online yang sama sekali tanpa pelatihan sebelumnya. Menariknya, ternyata memang anak generasi saat ini sudah begitu akrab dengan gawai. Kendala paling besar saat awal penerapan PJJ ada pada kesiapan juga niat murid serta media pembelajarannya.

Lalu bagaimana PJJ ini dapat berjalan? PJJ dilaksanakan lewat media seperti Whatsapp Group, Zoom, Google Meet, Kahoot, dsb. Pada masa awal PJJ menjadi masa yang cukup berat. Penyuluhan secara intensif dilakukan sekolah kepada para orang tua murid sebagai langkah awal PJJ. Orang tua diminta untuk lebih lagi dalam mengawasi serta memotivasi anak dalam kegiatan pembelajaran. Misal saja, masih banyak ditemukan siswa tidak hadir tepat waktu dalam ruang virtual zoom, untuk mengatasi hal ini, guru seringkali menelepon orang tua murid agar murid segera dibangunkan. Perihal buku dan bahan pembelajaran, siswa mendapatkannya dalam bentuk fisik dari perpustakaan ataupun dalam bentuk digital berupa PDF materi.

Di masa sulit sosial juga sulit ekonomi, menimbulkan pertanyaan bagi penulis mengenai bagaimana para siswa yang berasal dari keluarga berkecukupan untuk mengikuti PJJ? Fakta yang terjadi amat menarik, di antara mereka ada yang harus memakai gawai bergantian dengan orang tua, semisal orang tua pergi bekerja, pada malam hari (saat pulang kerja) saat itulah anak dapat menggunakan gawai untuk mengerjakan tugasnya. Terdapat juga mereka yang tidak mempunyai fasilitas gawai. Dalam kondisi ini, sekolah berupaya dengan menyiapkan modul yang siswa dapat gunakan per 2 minggu. Namun begitu, ditemukan pula para siswa yang malas dengan beralasan tidak ada kuota, dsb.

Akhir Kata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun