Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

19|Beaming Bening|

26 September 2013   13:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:22 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13801782991564839209

[image: appunti]

|o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-|

“Nduk Bening, cucuku…,“ sepasang lengan kurus keriput itu memeluk Bening dengan erat, sangat erat. “Selamat datang kembali, Sayang, cucu nenek yang cantik dan baik hati. Nenek tak ingin berhenti bersyukur karena di usia setua ini, Tuhan Yang Maha Baik masih berkenan memberikan kebahagiaan terbesar kepada nenek yaitu dipertemukan kembali dengan jiwa dan raga nenek. Kaulah itu jiwa dan raga nenek, Bening,“ kata nenek Salima diantara derai-derai air matanya. Pelukannya kian dieratkan, seolah ingin ditumpahkannya segenap syukur atas kesembuhan cucu tunggalnya, Bening.

“Nenee..kk,” isak Bening, tubuh tipis nenek Salima nampak tenggelam dalam dekapannya. “Bening sayang sekali sama nenek. Terima kasih nenek selalu ada untukku. Kalau bukan karena nenek, sungguh tak akan ada aku. Nenek tahu? Nenek jugalah yang telah menolongku di sana…”

“Nenek? Di sana? Nenek tidak mengerti maksudmu, Sayang?” Salima meregangkan pelukan, menatap Bening dengan pandang tak mengerti.

“Iya, di sana, Nek. Di tempat kecelakaan itu terjadi. Tak hanya bertemu dengan ayah dan ibu, aku juga melihat kehadiran nenek. Ayah dan ibu tak henti tersenyum kepadaku. Mereka berdua terlihat berjalan lambat, namun sulit rasanya kukejar. Dan seakan tak peduli walau telah kupanggil sekencang-kencangnya. Hanya senyum dan lambaian tangannya saja yang dapat kupandang dengan perasaan mengambang. Lalu, di tengah sedih nan hampa itu, sekonyong-konyong datanglah nenek menggapai tanganku. Nenek menggenggam erat tanganku lalu menuntunku hingga ke permukaan sungai itu. Oh, semuanya terasa seperti mimpi, Nek…”

“Anggaplah itu memang mimpi, Ning…,“ Nenek tersenyum lembut sembari tangannya terus mengelus-elus rambut Bening.

“Mimpi yang sangat nyata, Nek,” Bening menyusupkan kepalanya lebih dalam. Dan memuaskan dahaganya akan harum khas tubuh nenek yang sudah lama ia rindukan. “Oh, betapa tenteram berada dalam pelukanmu Nek, begitu hangat dan teduh,” kata hati Bening penuh syukur dan tak henti memohon ampun karena Tuhan yang kerap ia tanyakan perihal keadilanNya itu, ternyata masih berkenan mengijinkan dirinya kembali ke dalam pelukan neneknya tercinta. “Tuhan, sungguh aku ikhlas atas semua yang terjadi, karena itulah caraMu bicara denganku. Berikan saja aku segenap kekuatan agar ku tak mudah tersungkur di setiap tikungan, tak mudah terjerembab di setiap kelokan,“ Bening memejamkan matanya, khusyuk dalam doa yang bergema dalam dada.

“Masih ada yang harus kuceritakan, Nek. Tapi akankah nenek percaya?” tanya Bening setelah keduanya berhasil menguasai emosi masing-masing.

“Tak ada alasan bagi nenek untuk tidak percaya kepada cucu nenek sendiri. Ayo, kapanpun, cucu nenek siap, nenek akan mendengarkan sisa ceritamu dengan penuh rasa syukur. Hm?” ujar nenek menyambut baik tawaran Bening.

‘Begini, Nek. Selain melihat kehadiran ayah, ibu, nenek, di sana aku juga melihat Eddu, Marco dan seorang pria lain yang ehm…,” sejenak Bening ragu melanjutkan kalimatnya. “Ehm, itu loh, maksudku, yang anehnya lagi, kulihat Eddu banyak menangis, Nek. Matanya sangat sembap dengan sedu-sedan yang memilukan. Bukankah, itu sesuatu hal yang tak pernah kita lihat, benar tidak, Nek? Seingatku, dia selalu berpantang menangis. Namun entah kesedihan apa yang telah membuatnya mengumbar air mata. Sungguh tak terkira sedihku, Nek. Selamanya, aku tak ingin melihat Eddu seperti itu. Maka kudekaplah Eddu dengan sangat erat dan tekad dalam hatiku ingin menghibur dan mengembalikan dirinya di masa-masa lampau. Seperti Eddu yang selalu tertawa ceria saat kami mengejar laju lori-lori pengangkut tebu, lalu kami berdua akan berakhir terjungkal dalam sungai irigasi karena pematang itu terlalu sempit sebagai sirkuit pacuan bagi kereta angin kami. Kuingat, tawanya itu sangat lebar. Setelah mengangkat sepeda masing-masing, Eddu yang jahil masih akan mendorongku masuk ke dalam sungai. Tak akan kulupa, bagaimana ia terpingkal-pingkal. Atau seperti Eddu yang penuh semangat menanti musim penghujan, karena tanah merah kecoklatan atau hitam yang dikeruknya dari tepian tambak akan sekejap berubah menjadi beragam ciptaan hasil kreasi kami berdua. Oh, aku sangat ingin mengembalikan kebahagiaannya itu, Nek. Aku berjanji akan menyayanginya sepenuh hati, tanpa pretensi, seperti dulu pernah kulakukan, aku dan Eddu, sewaktu kami berdua masih sama-sama tak menimbang jenis rasa, hanya ada kasih sayang tulus, tanpa hasrat, tanpa asa, tapi murni sebagai dua saudara yang selamanya akan saling memiliki.’

‘Setelah Eddu, kemudian kulihat Marco yang tertawa-tawa meski darah membanjiri kepalanya. Begitulah dia selama ini. Marco selalu datang membawakan tawa kebahagiaan, betapapun aku telah mengecewakannya. Pria itu tak pernah berpikir untuk menerima, seberapa pun banyaknya dia telah memberi kepadaku. Cintanya begitu luas hingga sanggup menerima sakit yang kusebabkan. Marco tak pernah menuntut apapun meski tak terhitung lagi upaya yang sudah dia buat untukku, Nek. Marco hanya berpikir untuk memberi, memberi, dan memberi saja.  Menurutnya dengan cara itu cintanya kepadaku telah terpuaskan. Hatinya yang baik melarang adanya harapan atau sedikit saja tuntutan, sebab itu pasti akan mengoyak ketulusan cintanya. Lihat, betapa baiknya dia, Nek. Bukankah aku wanita yang merugi? Penjagal bodoh, wanita yang angkuh, sebab telah menolak keteguhan cinta Marco. Banyak waktu telah kuhabiskan bersamanya tanpa satupun yang terlewati dengan tawa bahagia. Kuingat, kami berdua pun berpelukan dengan erat, dengan segenap terima kasih, sesal dan doa-doaku semoga Tuhan akan melimpahinya dengan banyak kebahagiaan, semoga Tuhan juga takkan menghukumku karena telah menolak cintanya, Marcoku yang baik…’

‘Lalu entah darimana, perlahan muncullah bayang seseorang. Pria yang tahu-tahu kepalanya telah terkulai dengan darah yang membasahi bahuku. Sesungguhnya aku tak begitu mengenal pria ini, namun mendadak saja hadirlah rasa tak ingin sesuatu yang buruk terjadi atas dirinya. Nenek tahu, selama hidup aku didera rasa bersalah dan selalu menganggap akulah penyebab kematian ayah-bunda. Untuk kali ini, aku sungguh tak ingin lagi menjadi pencabut nyawa kehidupan orang lain atau jagal perenggut kebahagiaan orang lain. Aku tak ingin pria ini terluka karenaku. Sudah cukup aku menjadi penyebab derita bagi orang-orang di sekitarku. Sungguh kalau bukan karena kehadiranku, maka takkan ada kesedihan om Simon papa Eddu, takkan ada gurat kemurungan di raut wajah cantik Gaby, juga mustahil hadir kelabilan Eddu, dan jelas takkan ada kelelahan Marco bahkan duka lara nestapa mungkin takkan hadir dalam hidup nenek. Masih banyak lagi -walau tanpa kusadari- luka pedih yang telah kutorehkan kepada kalian semua, orang-orang tercintaku.’

‘Sejujurnya, aku tak terlalu ingat bagaimana caraku membuka pintu mobil dan menggerakkan kedua kakiku. Berenang dengan satu tangan menarik kerah baju pria itu. Yang kuingat dengan jelas, aku harus berenang, dan terus saja berenang, entah dengan mata tertidur ataukah terjaga, sebab sekelilingku gelap pekat, sunyi senyap, hanya terdengar kecipak air yang berderiap. Rasanya jarak telah kutempuh begitu jauhnya, namun aku tak ingin berhenti, walau dadaku serasa terhimpit dan sumbunya memaksa untuk keluar. Ketika akhirnya kepalaku muncul di atas permukaan air, kuhirup udara sepuas-puasnya. Di saat itulah, aku spontan berteriak dan mampu meneriakkan kata: tolong! dengan mulut yang penuh air. Aku tak peduli berapa banyak air sungai yang telah kuminum. Aku hanya ingin berteriak dan berteriak: tolong dan tolong! Hingga sayup kudengar teriakan balasan dari entah orang ataukah hantu. Yang jelas, aku sangat lega mendengar sahutan itu. Lalu kulihat terang, entah dari obor atau senter, mungkin bulan yang mereka turunkan, sebab saat itu yang kulihat terang itu begitu menyilaukan. Namun hanya sekejap, karena sesudahnya gelap lagi. Namun hatiku terasa sangat ringan, seakan tahu mimpi buruk itu berakhirlah sudah, dan entah darimana hadirnya satu keyakinan bahwa segalanya kelak akan baik-baik saja…’

Nenek terlihat khusyu dan haru mendengarkan cerita Bening. Dibelainya lembut dan perlahan sang cucu kesayangan seraya berujar, “Bening, dibalik setiap peristiwa pasti terkandung sebuah hikmah. Seperti halnya tragedi yang selalu menyimpan misteri. Kita selalu perlu waktu untuk mengetahui hikmah dan kunci misteri. Tak ada yang instan, karena itulah inti kehidupan. Tuhan sangat menyukai proses, Ning. Dalam anggapan nenek, ayah dan ibumu memang telah ditakdirkan untuk wafat dengan cara itu. Bukan untuk menghukum mereka, bukan! oh sungguh, itu bukan hukuman tapi sebagai pembelajaran bagi kita yang masih diberi kesempatan hidup lebih lama. Hanya Tuhan sajalah yang berkuasa atas datangnya kematian itu dengan segala cara. Apa yang menurut kita tragis, bagi Tuhan itulah yang terbaik untuk umat. Usah lagi disesali, hmm? Ikhlaskanlah, sebab belum tentu sayangmu pada nenek akan sebesar ini kalau masih ada ayah dan ibu di sampingmu. Benar tidak?”

Bening tersenyum mendengar wejangan nenek.

“Syukurilah segala yang telah diberikan kepadamu, Ning. Jangan berhenti bersyukur dan sekali lagi, ikhlaskan apa yang harus diambil darimu. Tak ada sesuatu yang benar-benar mutlak menjadi milik kita di muka bumi ini. Kau mengerti?” lanjut nenek.

Bening mengangguk.

“Dan ingatlah, kita manusia, selamanya tak dapat hidup sendiri. Kita akan selalu terlibat dan melibatkan orang lain. Kalau sesuatu tidak berjalan sesuai keinginan, sungguh itu diluar kendali kita, hmm?”

Bening kembali meraih tubuh renta Salima ke dalam dekapannya.

“Dan mulai hari ini, nenek minta kepada cucu nenek yang baik ini untuk berhenti menyalahkan diri sendiri atas sesuatu yang terjadi di luar batas kemampuannya. Mari kita buka lembaran hidup baru dengan penuh semangat, tawakal, cinta dan keikhlasan. Kau siap?”

Bening mantap menganggukkan kepalanya sebelum kembali menyusupkan kepalanya lebih dalam. Meski tak memiliki pertalian darah, namun nenek Salima memang ditakdirkan untuk menjadi orang tuanya, penyelamat sekaligus penopang hidupnya. Sungguh tak akan ada dirinya hari ini bila bukan karena nenek Salima.

“Hm, memangnya berapa lama aku tak sadarkan diri, Nek?”

“Mungkin dua mingguan, kalau nenek tidak salah mengingat sih. Sebab kata si Badrun, otak nenek kan bukan Pentium. Memang ada apa, Ning?”

“Hah? Dua minggu? Selama itu?!”

Nenek tersenyum kecil melihat keterkejutan di wajah Bening. Hatinya mengatakan bukan pertanyaan itu yang sesungguhnya ingin ditanyakan sang cucu, pasti ada hal lain yang ingin ditanyakan Bening tersayangnya ini.

“Oh, dua minggu ya Nek. Ehm, itu…,” sejenak Bening meragu, namun kemudian, sesuatu –yang hanya Bening saja yang tahu– membuatnya lekas kembali bertanya, “Lalu bagaimana kondisi temanku, hm..itu, Nek, sopir yang kecelakaan bersamaku waktu itu? Nenek tahu?” dengan rona memerah di pipi yang tak kuasa Bening hindari.

Senyum kecil Salima seketika melebar. Mungkin nenek itu tengah memberi poin pada kepiawaian hatinya dalam menebak yang nyaris tak pernah salah.

“Dia temanmukah? Satu kantor? Apakah dia juga pria yang kau maksud kepalanya terkulai di bahumu?” Salima tak mampu menutupi geli.

Bening meringis, memamerkan gigi kelincinya. “Ah, biarlah andainya nenek dapat menyadari sesuatu yang salah di sini,” batin Bening tanpa daya pada semburat merah di bukit pipinya yang amboi, sulit nian ditampik.

“Seperti sudah kukatakan, aku tidak terlalu mengenalnya kok, Nek. Dia kebetulan bersamaku saat kecelakaan itu karena Eddu yang menyuruhnya datang setelah ia tak bisa menjemputku sore waktu itu,” Bening mencoba peruntungannya menyelematkan muka.

”Kyaa, Bening! Nenek sekedar bertanya apakah dia teman satu kantor denganmu. Bukan sedang ingin tahu apakah kau kenal baik dengannya atau tidak. Bujubuneng! kirain orang tua saja pendengarannya suka terganggu, ternyata gadis muda pun bisa conge’an!” sebuah suara terdengar ikut nimbrung secara mengejutkan.

Bening dan Salima serempak menoleh. Senyum keduanya lantas terkembang saat melihat kedatangan wajah-wajah familiar beriak bahagia. Eddu, Marco dan juga Badrun muncul di belakangnya seraya membopong karangan bunga segar yang sangat indah. Tak terkira betapa bahagianya Bening dapat berkumpul kembali dengan orang-orang terkasihnya; merekalah hartanya yang terbaik saat ini. Bening tak ragu membalas pelukan Eddu maupun Marco. Bebannya sungguh telah terlepas, kandas, tuntas, hingga tak terasa lagi kesedihan saat menggenggam erat tangan Eddu dan tak ada lagi rasa iba saat mengelus tangan Marco. Entah kemana perginya semua rasa itu… Kini yang ada hanya perasaan seringan kembang-kembang randu terbang melayang dalam buaian bayu teriring bahagia selama-lamanya…

Eddu – Bening – Marco, ketiganya saling bertukar pandangan dengan binar dan kerjap yang menjadi duta bagi kata hati masing-masing. Menikam? Menghujam? Sinaran cinta yang membuat hati menari-nari? Siapa bersedia menerjemahkan bila hanya mereka bertiga sajalah yang dapat saling memahami makna tatapan itu…

|bersambung|

“An eye can threaten like a loaded and levelled gun, or it can insult like hissing or kicking; or, in its altered mood, by beams of kindness, it can make the heart dance for joy” [Ralph Waldo Emerson’s quotes]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun