Mohon tunggu...
Zahra El Fajr
Zahra El Fajr Mohon Tunggu... Penulis - a melancholist

Teacher | Fiksiana Enthusiast | Membaca puisi di Podcast Konstelasi Puisi (https://spoti.fi/2WZw7oQ) | Instagram/Twitter : zahraelfajr | e-mail: zahraelfajr@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[RINDU] Cerpen|Rindu Merindu

7 September 2016   01:33 Diperbarui: 31 Maret 2020   00:43 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustration/Source: Weheartit

Aku mengubur kesedihanku di wc, menumpahkan air mataku disana agar tersamar gebyuran kran. Aku malu merasa angkuh selama ini menganggapnya bukan apa-apa kuperlakukan begitu. Aku memikirkan pengorbanan-pengorbanannya untukku, tentang hari itu ia melihatku keberatan lalu esoknya ia tak menggangguku lagi. Padahal itu masa-masa terakhir aku di rumah, aku malah membuat keruh kenangan buram kusut tak keruan hari itu. Sesal menumpangi aku.

Aku berniat menelpon Bunda lewat telepon umum di sekolah,

“Halo,”

“Halo Bunda, Bunda sehat?”
 “Ah, Kina, ada apa Kina? Bunda sehat, semoga Kina selalu sehat disana ya” bulir-bulir bening membersihkan bola mataku tak dapat ku cegah.

“Kina sehat Bunda, Kina ingin pulang”

“Kenapa ingin pulang nak? Disana menyenangkan bukan?”
 “Kina janji nggak akan susah disuruh lagi, Bunda.”


“Kina, Bunda ingin Kina jadi orang yang sukses dan baik,”

“Kina bisa jadi yang Bunda inginkan tanpa harus dibuang jauh kesini”
 “Karena Bunda sayang, Bunda harus rela melepasmu nak, ini demi Kina”

Suara isakan itu datangnya dari aku, tak kututup-tutupi lagi. Kudengar suara Bunda berat disana. Bunda pasti sudah tak tahan ingin menangis. Aku putuskan sambungan telepon, aku melengos dari telepon umum ke asrama.

Saat hendak tidur, aku kepikiran Bunda. Semakin kulupakan, ingatan tentang Bunda berulang dan tak terbilang. Kutimang, senyuman Bunda bersanding dengan penyesalanku, meskipun lautan maafnya tak akan surut, aku tetap tak bisa berhenti menangis mengingatnya. Kerinduan ini membuatku insaf, aku lebih membutuhkannya. Aku sadar ketika aku berpura-pura tak membutuhkannya. Aku rindu Bunda, yang selalu menyuruhku ini itu karena akulah yang ia andalkan, akulah satu-satunya anak perempuan Bunda. Akulah yang seharusnya lebih mengerti Bunda. Sela ruang yang panjang ini membuatku tersadar, aku menyayanginya bahkan kalaupun aku tak pernah ada. Aku hanya bisa menekadkan serius belajar di sekolah, melakukan hal terbaik lainnya demi membalas pengorbanan Bunda dan tentu saja Ayah. Karena aku sayang, aku tak akan mengecewakan mereka.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun