Jakarta - Kompasiana -Â Direktur Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM) Yogyakarta sekaligus Kaprodi Hukum Keluarga Islam Program Magister Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Dr. Drs. Yusdani, M.Ag, menegaskan urgensi pembentukan Pengadilan Niaga Syariah di lingkungan Peradilan Agama. Pandangan ini ia sampaikan dalam Kuliah Umum di hadapan para Hakim Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Jumat (15/8/2025) di Gedung Sekretariat MA, Jakarta Pusat.
Kuliah umum bertema "Pembentukan Peradilan Niaga Syari'ah di Lingkungan Peradilan Agama: Perspektif Sosio-Historis dan Yuridis" ini menjadi bagian dari rangkaian penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Direktorat Jenderal Peradilan Agama MA RI dan UII. Hadir pula Rektor UII Prof. Fathul Wahid, ST., M.Sc., Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Agama Islam Dr. Drs. Asmuni, M.A., serta Kaprodi Hukum Islam Program Doktor Dr. Anisah Budiwati, M.Si.
Landasan Yuridis Kuat
Dalam paparannya, Prof. Yusdani menegaskan bahwa pembentukan Pengadilan Niaga Syariah memiliki landasan hukum yang jelas. Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 telah memberi kewenangan absolut kepada Peradilan Agama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah.
Namun, kenyataannya, kewenangan ini kerap tumpang tindih dengan Pengadilan Niaga umum, terutama dalam perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) lembaga keuangan syariah. Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga umum juga memiliki kompetensi absolut di bidang ini, sehingga sering terjadi perkara syariah yang disidangkan tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum Islam.
"Dalam sejumlah kasus, seperti putusan No. 26 Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Medan, sengketa yang melibatkan bank syariah tetap disidangkan di peradilan umum. Padahal, akad yang digunakan jelas berbasis syariah," ujarnya.
Perspektif Sosio-Historis
Dari sisi sejarah, Prof. Yusdani menilai perkembangan peradilan agama di Indonesia telah mengalami perluasan kewenangan signifikan, terutama sejak amandemen UU Peradilan Agama pada 2006 dan 2009. Perubahan ini menjadi tonggak penting karena memasukkan sengketa ekonomi syariah ke dalam ranah Peradilan Agama.
Secara sosiologis, pertumbuhan pesat sektor ekonomi syariah --- mulai dari perbankan, koperasi, asuransi, hingga instrumen keuangan Islam --- menuntut adanya lembaga peradilan khusus yang memahami seluk-beluk prinsip syariah. Sengketa niaga yang muncul tidak hanya memerlukan penyelesaian hukum positif, tetapi juga pemahaman mendalam terhadap nilai dan norma Islam.