Mohon tunggu...
Janet Wakanno
Janet Wakanno Mohon Tunggu... Penulis - janet

Pelajar yang menyukai sastra dan gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cangkir Tua

1 November 2021   19:56 Diperbarui: 1 November 2021   20:10 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku menggeleng-geleng. Manusia itu tidak tahu diuntung. Tidak hanya ia yang merasa kesepian. Masih banyak jiwa-jiwa kesepian di luar sana. Setidaknya sang wanita masih memiliki teman untuk diajak bicara, serta secangkir teh untuk menghangatkan. Namun tidak denganku. Aku kesepian dan akan selalu seperti itu. Tiada orang untuk aku tumpahkan apa yang aku lihat atau dengar. Maka bukan hanya sang wanita yang kesepian. Haruslah ia bersyukur telah dilahirkan. Mungkin kehadirannya telah mengisi kesepian orang lain, hanya saja, ia tidak menyadarinya.

*

Suatu hari, seorang pria datang bersama anak gadis kecilnya. Mereka duduk tidak jauh dari pandanganku. Kala itu kedai sepi, sehingga aku dapat mendengar perbincangan mereka dari tempat aku duduk.

"Apa boleh aku tahu, apa yang terjadi pada ibu?" si anak bertanya.

"Celine, sebelum menjawab pertanyaanmu, ada yang ingin ayah katakan." Sang ayah menatap anaknya. "Dalam hidup, manusia pasti akan datang dan pergi untuk selamanya. Semua hanya masalah waktu. Menunggu. Menanti kapan waktu kita masing-masing untuk pergi. Waktu ibu telah tiba. Ibu telah menghabiskan banyak waktu di dunia, dan kini waktunya ibu pergi untuk selamanya."

"Jadi ibu pergi. Untuk selamanya. Tetapi kemana?"

"Surga. Tempat yang begitu indah dan penuh kedamaian. Ibu telah menjadi salah satu bidadari penghuni surga."

Aku tidak mengerti apa yang mereka perbincangkan. Tapi sepertinya aku memahami sesuatu. Manusia dan cangkir tua sepertiku tidak ada bedanya. Kita semua hanya menunggu. Walau mungkin aku menghabiskan waktuku menunggu di balik rak dinding ini sementara manusia sembari berjalan menyusuri pantai. Namun sesederhana itu perbedaan diantara kita.

*

Aku memandang ke depan. Hari mulai gelap. Pengunjung berlalu keluar masuk pintu kedai. Sudah beberapa hari ini aku tidak melihat Paolo. Aneh. Biasanya pada jam seperti ini, Paolo akan datang dan duduk di pojok ruangan. Sesekali ia membahas sesuatu dengan pegawai kedai. Kini pojok ruangan itu terisi orang lain. Sepasang muda mudi yang duduk berhadapan sembari berbincang.

Pada sisi lain ruangan, seorang wanita muda duduk. Ia sibuk dengan dunianya sendiri. Sebuah buku tebal serta headset tertancap pada telinganya. Entah apa yang ia dengar, kaki wanita itu terus menghentak-hentak pelan pada lantai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun