Mohon tunggu...
Al Mahulette
Al Mahulette Mohon Tunggu... Koord Regional/LSP Geospasial

Lulusan Perencanaan Wilayah dan Kota, terampil menggunakan ArcGIS, ArcGIS Pro, dan CorelDraw. Memiliki minat besar pada penulisan dan desain sebagai media untuk mengkomunikasikan data dan ide perencanaan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Papalele Square : Wajah Kota Baru, Luka Rakyat Lama

15 September 2025   15:19 Diperbarui: 15 September 2025   15:19 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar Area Pantai Mardika (Sumber : Design Al Mahulette)

Oleh: Jamaludin Mahulette,ST

Revitalisasi Pantai Mardika kini menjadi ikon ambisi Pemerintah Kota Ambon. Dengan label "Papalele Square" dan parkir modern, proyek ini dijual sebagai upaya menciptakan kawasan pesisir berkelanjutan. Namun, di balik klaim itu, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: apakah ini benar-benar revitalisasi, atau sekadar betonisasi yang mengorbankan ekologi dan meminggirkan rakyat kecil?

Ekonomi Rakyat yang Terpinggirkan

Pantai Mardika bukan sekadar ruang publik, ia adalah nadi ekonomi rakyat. Ratusan papalele pedagang kecil yang sebagian besar perempuan bertahun-tahun menggantungkan hidup di kawasan ini. Data mencatat, sebelum relokasi, mereka bisa meraup Rp75.000--Rp150.000 per hari. Kini, setelah dipindahkan ke lokasi sementara yang jauh dari pusat keramaian, pendapatan anjlok hingga 70%.

Alih-alih ditata, mereka justru terlempar dari ekosistem sosial-ekonomi yang telah menopang keluarga dan budaya lokal. Jika ini dibiarkan, Papalele Square berpotensi menjadi ironi: ruang modern tanpa ruh budaya ekonomi rakyat.

Ekologi yang Tergadai

Betonisasi pesisir Mardika adalah ancaman serius. Kawasan ini sejatinya benteng alami dari banjir rob. Vegetasi pantai yang menyerap gelombang akan diganti dengan dinding beton. Pengalaman kota lain Jakarta, Semarang, hingga Palu menunjukkan, betonisasi pesisir justru memperparah banjir dan erosi. Ambon berisiko mengulang kesalahan yang sama, apalagi dengan ancaman kenaikan muka air laut 15--25 cm pada 2050.

Apakah pantas kita mengorbankan ekosistem pesisir demi wajah kota yang instagramable?

Paradigma Pembangunan Top-Down

Revitalisasi Mardika memperlihatkan pola lama: pembangunan ditentukan elite pemerintah-investor, dengan partisipasi publik nyaris nihil. Papalele dan warga sekitar hanya jadi penonton. Padahal, UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengalami perubahan melalui UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menegaskan perencanaan kota harus partisipatif.

Jika suara rakyat hanya dijadikan formalitas, hasilnya adalah ruang eksklusif rapi di brosur, tetapi sunyi dari denyut sosial. Apakah Papalele Square benar-benar untuk rakyat, atau untuk investor?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun