Oleh Jamaludin Mahulette (Koordinator LSP Geospasial Maluku)
Maluku,-- Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku baru saja merilis data yang cukup mengejutkan: terjadi deflasi month-to-month (m-to-m) sebesar 0,09 persen pada Agustus 2025. Sekilas, deflasi mungkin terdengar positif karena dianggap meningkatkan daya beli masyarakat. Namun, dari kacamata perencanaan wilayah dan kota, fenomena ini justru menyimpan warning sign serius bagi arah pembangunan ekonomi Maluku.
Analisis Mendalam
Sebagai praktisi perencanaan wilayah dan kota, saya menilai deflasi ini bukan sekadar penurunan harga, melainkan cerminan adanya ketidakseimbangan ekonomi yang perlu dicermati.
- Sektor Transportasi Mengkhawatirkan
Deflasi terbesar terjadi di sektor transportasi, yakni -2,39 persen (y-on-y). Penyebabnya adalah turunnya tarif angkutan udara dan harga bensin. Namun, di balik itu, ada indikasi turunnya mobilitas masyarakat serta melemahnya aktivitas ekonomi antarwilayah. Transportasi yang sepi bukan pertanda efisiensi, melainkan sinyal lesunya konektivitas ekonomi. - Inflasi Menggerus Dapur Rumah Tangga
Ironisnya, inflasi justru menghantam sektor esensial: makanan, minuman, dan tembakau (8,44 persen), kesehatan (4,50 persen), serta perawatan pribadi (4,13 persen). Artinya, meskipun harga tiket pesawat turun, dapur keluarga di Maluku tetap panas oleh mahalnya harga kebutuhan pokok. Tekanan terbesar tentu dirasakan kelompok berpenghasilan rendah. - Disparitas Antarwilayah
Data juga menunjukkan perbedaan mencolok: inflasi tertinggi ada di Kota Ambon (3,38 persen), sedangkan terendah di Kota Tual (2,96 persen). Perbedaan kecil di angka statistik ini sesungguhnya menggambarkan kesenjangan besar dalam struktur ekonomi antarwilayah, yang bila dibiarkan bisa memperlebar jurang pembangunan.
Solusi Konkret dari Kacamata Perencana Wilayah dan Kota
Fenomena deflasi Agustus ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah daerah. Ada beberapa langkah strategis yang bisa ditempuh:
- Penguatan Ekonomi Lokal
Dorong sektor berbasis potensi wilayah---perikanan, pertanian, hingga pariwisata. Berikan pelatihan, akses modal, serta pasar bagi UMKM agar ekonomi tidak hanya bergantung pada sektor konsumtif. - Infrastruktur sebagai Penyambung Nadi Ekonomi
Perbaikan transportasi darat--laut--udara harus jadi prioritas, khususnya di daerah terpencil. Infrastruktur dasar---air bersih, sanitasi, listrik---perlu diperkuat agar disparitas harga bisa ditekan. - Stabilisasi Harga Pangan
Pemda harus berkolaborasi dengan petani dan pedagang untuk memperpendek rantai pasok. Subsidi transportasi pangan serta peningkatan efisiensi produksi menjadi kunci agar harga di pasar tetap terkendali. - Investasi pada SDM
Pendidikan dan pelatihan vokasi harus menyesuaikan kebutuhan pasar kerja. Beasiswa, peningkatan kualitas guru, hingga kurikulum adaptif adalah fondasi agar SDM Maluku tidak tertinggal. - Tata Ruang yang Adaptif
Rencana tata ruang perlu menyesuaikan dinamika ekonomi dan sosial terbaru. Tata ruang harus menjadi instrumen untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan pelestarian lingkungan.
Kesimpulan
Deflasi Agustus 2025 bukan sekadar kabar "harga turun", melainkan cermin rapuhnya fondasi ekonomi Maluku. Sementara masyarakat menanggung beban inflasi pangan, sektor transportasi justru melemah. Tanpa intervensi kebijakan yang cermat, deflasi bisa jadi pintu masuk menuju stagnasi bahkan resesi regional.
Dengan strategi perencanaan wilayah yang tepat, Maluku bisa mengubah krisis menjadi momentum perbaikan. Tantangannya jelas: apakah pemerintah daerah berani menjadikan deflasi ini sebagai wake-up call untuk membangun ekonomi yang lebih inklusif, tangguh, dan berkelanjutan? **(Al"Pm")
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI